Jakarta (Antara Babel) - Anggota Komisi VII DPR dari Fraksi Partai Hanura Dewie Yasin Limpo disebut menggunakan skema dana aspirasi untuk mendapatkan 'fee' pengawalan anggaran dari pemerintah pusat untuk pembangunan pembangkit listrik di Kabupaten Deiyai, Papua.
"Awalnya sesuai pertemuan pertama di Plasa Senayan pada 13 Oktober itu awal terciptanya 'fee' 10 persen. Setelah selesai dari Plasa Senayan Pak Irenius pulang, dijanjikan (dana) tugas pembantuan berdasarkan pembicaraan Pak Iren dan Bu Dewie, tapi tidak ada. Setelah saya mau ambil dana di Kelapa Gading, tidak lagi melalui tugas pembantuan akhirnya dititipkan di BUMN. Bu Dewie bilang ini dititip di (Kementerian) BUMN, bilang ini titipan dari Bu Dewei, nanti dia (Dewie) akan bicara dengan bapak Dirjen," kata saksi Rinelda Bandaso dalam sidang di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat, Kamis.
Rinelda yang merupakan asisten pribadi Dewie bersaksi untuk dua terdakwa yaitu Kepala Dinas ESDM kabupaten Deiyai, Papua, Irenius Adii dan pemilik PT Abdi Bumi Cendrawasih Setiady Jusuf yang didakwa menyuap anggota DPR Dewie Yasin Limpo sebanyak 177.700 dolar Singapura.
Dalam dakwaan disebutkan Irenius meminta Rinelda untuk mengupayakan usulan bantuan dana pembangunan pembangkit listrik di Kabupaten Deiyai 2016 melalui dana Tugas Pembantuan (TP) dengan harapan pelelangan dapat dilakukan di tingkat kabupaten sehingga Irenius bisa menjamin pengusaha yang akan menyediakan dana pengawalan sebagai pelaksana pekerjaan.
Dewi selanjutnya akan membicarakan dengan anggota badan anggaran Komisi VII DPR sekaligus menyampaikan mekanisme penganggaran melalui dana aspirasi sebesar Rp50 miliar sehingga dana pengawalan yang harus disiapkan Irenius untuk Dewie adalah Rp2 miliar.
"Saya hanya pernah telepon Staf Kementerian ESDM bapak Esron dan Bapak Erik Tadung untuk mempertanyakan sudah sampai di mana proposal itu. Itu masih melalui dana tugas pembantuan, tapi setelah itu bukan lagi di tugas pembantuan. Saya tidak tahu akhirnya pakai dana apa tapi hanya dibilang dana ke (Kementerian) BUMN), itu terakhir pembicaraan saya dengan Bu Dewie," ungkap Rinelda.
"Tapi dana aspirasi juga tidak berhasil," kata Rinelda.
Upaya untuk menggunakan dana aspirasi demi kepentingan pribadi menurut Rinelda bukan hanya dilakukan oleh Rinelda tapi juga dari berbagai fraksi.
"Pak Bambang (asisten Dewie) bilang teman-teman punya dana asprirasi, itu dari Hanura, Gerindra, PAN dan kalau tidak salah Demokrat, itu lewat lisan tapi tidak telepon," tambah Rinelda.
Rinelda akhirnya mengambil "fee" sebesar 7 persen dari Irenius dan Setiady sebesar 177.700 dolar Singapura atau sekitar Rp1,577 miliar pada 20 Oktober di Resto Baji Pamai Mal Kelapa Gading Jakarta Utara.
Selain menerima untuk proposal kabupaten Deiyai, Rinelda juga pernah menerima proposal dan uang dari dua kabupaten lain di Papua yaitu kabupaten Pinai dan Nduga.
"Pernah dari Paniai dan Nduga, tapi duluan kabupaten Deiyai. Paniai dan Nduga itu dari Pak Bambang, itu katanya proyek infrastukrtur tapi sampai sekarang proyek itu tidak ada," ungkap Rinelda.
Namun Rinelda mengaku hanya menerima "fee" 7 persen dari proyek itu tanpa aktif untuk mengawal proposal.
"Sudah terima, kebetulan ada saudara saya di sana," tambah Rinelda.
Dari "fee" yang sudah diterima itu, ada sebagian dana yang sudah dijadikan uang muka pernikahan anak Dewie Yasin Limpo.
"Dari uang Rp80 juta, Rp50 juta dikembalikan ke kakak saya, sisanya untuk membayar DP (down payment) pernikahan anak Ibu Dewie," tambah Rinelda.
Dana aspirasi adalah dana bagi anggota DPR untuk daerah pemilihannya untuk memecahkan masalah yang dihadapi konstituennya. Total dana yang diketuk fraksi-fraksi di DPR untuk dana aspirasi adalah Rp 11,2 triliun dengan alokasi Rp20 miliar per wakil rakyat.
Selain Dewie, KPK juga menangkap tangan anggota Komisi V dari fraksi PDI-Perjuangan Damayanti Winsu Putranti yang diduga menerima suap terkait proyek-proyek di bidang jasa konstruksi yang dibiayai dana aspirasi DPR di provinsi Maluku yang dicairkan melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.