Pangkalpinang (ANTARA) - Kilau bisnis tambang timah di Pulau Bangka yang menghasilkan gelimang pundi-pundi materi ternyata berbanding terbalik dengan tingginya prevalensi stunting di wilayah tersebut.
Berdasarkan data Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) per Juli 2020, Pulau Bangka merupakan penghasil timah terbesar di Indonesia yang mencapai 10,05 miliar ton dengan cadangan 6,81 miliar ton.
Jumlah produksi timah yang dihasilkan ini tidak hanya berasal dari Perusahaan Timah saja namun juga dari aktivitas tambang Timah Inkonvensional (TI) yang merupakan kategori tambang rakyat ilegal.
Tambang Inkonvensional (TI) yang beroperasi di seluruh wilayah Pulau Bangka mencapai ribuan unit ini merupakan bentuk eksploitasi masyarakat lokal Bangka terhadap sumber daya alam timah. Adanya TI timah ini memberikan dampak positif, namun disatu sisi juga menimbulkan dampak negatif.
Sebagai salah satu mata pencaharian utama masyarakat di Bangka Belitung, timah memberikan dampak positif pada peningkatan perekonomian serta kesejahteraan masyarakat karena menjadi cara cepat untuk mendapatkan uang. Namun, disatu sisi juga memberikan dampak negatif pada kerusakan lingkungan dan sosial. Eksplorasi timah bahkan terus meningkat sejak harga timah naik hingga Rp200 ribu lebih per kilogram.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, pada tahun 2021 Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Bangka Belitung mencapai 71,69 masuk dalam kategori status pencapaian tinggi. Angka kemiskinan di Bangka Belitung berada di posisi terendah keempat nasional dengan persentase 4,90 persen.
Saat ini tidak hanya orang dewasa saja yang melakukan kegiatan tambang ini. Anak remaja atau usia sekolah pun ikut menambang bahkan sampai rela putus sekolah lantaran ingin mendapatkan uang dengan mudah serta ikut membantu ekonomi keluarga. Sepanjang tahun 2021, sebanyak 390 siswa/siswi putus sekolah. Pada tahun 2020, kasus pernikahan dini Bangka Belitung berada pada peringkat pertama nasional dengan persentase 18,76%.
Kepala Perwakilan BKKBN Bangka Belitung Fazar Supriadi Sentosa telah berupaya menurunkan angka pernikahan dini dan stunting melalui penulisan buku saku Keramunting sebagai materi tambahan pada jenjang pendidikan menengah. Buku ini telah dibagikan dan disosialisasikan ke sekolah-sekolah menengah khususnya di Kabupaten Bangka Barat.
“stunting yang ada di Bangka Belitung lebih karena tingginya pernikahan dini serta kesalahan pada pola asuh. Maka dari itu perlu pendewasaan usia pernikahan, laki-laki berumur 25 tahun dan perempuan minimal 21 tahun,” kata Fazar.
Kabupaten Bangka Barat menempati posisi tertinggi dengan 312 kasus. Kabupaten Bangka Barat saat ini merupakan daerah terdampak stunting tertinggi di Bangka Belitung dengan prevalensi balita stunting di 14 desa berada di atas 20% berdasarkan data Elektronik-Pencatatan dan Pelaporan Gizi Berbasis Masyarakat (EPPGBM) tahun 2020.
Dengan kasus pernikahan dini yang tinggi berpengaruh pada kasus perceraian yang juga tinggi, Bangka Belitung masuk 5 besar se-Indonesia.