Jakarta (Antara Babel) - Sebanyak 147 perkara sengketa pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak 2015 terdaftar diajukan ke Mahkamah Konstitusi, namun tidak semua permohonan perkara dapat dikabulkan oleh MK.
Hanya yang gugatan yang memenuhi persyaratan formil saja yang dapat lolos ke pokok perkara. Syarat formil yang dimaksud adalah perkara yang dimohonkan memenuhi syarat tenggang waktu, selisih penetapan perolehan suara, pemohon memiliki kedudukan hukum, serta persentase perbedaan perolehan suara sesuai Pasal 158 UU Pilkada dan Pasal 6 PMK 1-5/2015.
Pada Selasa (26/1) sebanyak 140 perkara dari 147 permohonan tersebut telah diputus oleh Mahkamah Konstitusi.
"Hari ini pembacaan putusan sela terakhir, tujuh sisa perkara lainnya akan disidangkan mulai Senin (1/2) nanti," ujar Juru Bicara Mahkamah Konstitusi Fajar Laksono di Gedung Mahkamah Konstitusi Jakarta, Selasa (26/1).
Dari 140 perkara tersebut, MK sudah mengeluarkan lima ketetapan karena Mahkamah mengabulkan penarikan kembali permohonan pemohon. Selanjutnya 134 perkara dinyatakan 'tidak dapat diterima' dengan rincian 35 perkara dinyatakan permohonan yang diajukan melewati tenggang waktu 3x24 jam sejak penetapan hasil perolehan suara diumumkan.
Tiga perkara dinyatakan salah objek, yaitu Kabupaten Kepulauan Meranti, Kabupaten Tanah Bumbu, dan Kabupaten Wonosobo. Satu putusan sela untuk permohonan dari Kabupaten Halmahera Selatan, dimana Mahkamah memerintahkan KPU Provinsi Maluku Utara untuk melakukan penghitungan suara ulang hasil perolehan suara di Kecamatan Bacan, Kabupaten Halmahera Selatan.
Sementara itu 96 perkara dinyatakan bahwa pemohonnya tidak memiliki kedudukan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 158 Undang Undang Pilkada Tahun 2015 dan Pasal 6 PMK 1-5 Tahun 2015, yaitu tidak memenuhi persyaratan ambang batas selisih perolehan suara antara pihak pemohon dengan pihak terkait atau pasangan yang ditetapkan mendapat perolehan suara terbanyak.
Hal inilah yang kemudian disesalkan oleh beberapa pihak, bahwa akibat dari Pasal 158 UU Pilkada tersebut dugaan kecurangan dalam Pilkada sulit untuk diusut hingga tuntas.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraeni menyebutkan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait ambang batas selisih suara justru mempersulit pemohon untuk ajukan permohonan.
"MK tersandera oleh putusannya sendiri yang menyebutkan persentase selisih sebagai 'open legal policy'," kata Titi melalui pesan singkat yang diterima di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Ia mengatakan pernyataan terebut menanggapi sebagian besar permohonan perkara sengketa Pilkada Serentak 2015 yang ditolak oleh Mahkamah Konstitusi, dengan alasan tidak memenuhi syarat selisih perolehan suara sebagaimana ditentukan dalam Pasal 158 Undang Undang Pilkada.
Titi menilai bahwa atas dalih "open legal policy" dan wujud kepastian hukum maka MK harus konsisten menjalankan putusan tersebut. Kendati demikian Titi mempertanyakan apakah konsekwensi dari putusan MK tersebut layak diterima sebagai wujud kepastian hukum.
"Dalam hal ini, MK menggunakan logika bahwa hasil pilkada itu tercipta sebagai buah dari sebuah proses yang luber, jurdil, demokratis, dan kemampuan pengaruh atas hasil hanya boleh dalam persentase tertentu," ujar Titi.
Lebih lanjut Titi berpendapat bahwa potensi kecurangan selalu ada dan terjadi dalam penyelenggaraan tahapan Pilkada, sehingga tidak bisa dibatasi hanya dalam persentase semata.
"Seharusnya hukum itu futuristik, berdiri di atas semua kondisi dan situasi," pungkas Titi.
Sependapat dengan Titi, Ketua Mahkamah Konstitusi periode 2003-2008, Jimly Asshiddiqie mengatakan bahwa Pasal 158 UU Pilkada tersebut menghambat demokrasi.
"Pembatasan dua persen itu tidak sehat dan tidak baik, terbukti itu menghambat demokrasi," kata Jimly ketika ditemui di Gedung Mahkamah Konstitusi Jakarta, Kamis (21/1).
Jimly berpendapat bahwa bila angka 0,5 hingga dua persen sebagai ambang batas selisih itu bernilai besar di Pulau Jawa, bisa jadi angka tersebut menjadi sangat kecil untuk wilayah di luar Pulau Jawa.
"Kalau di Jawa angka dua persen itu besar. Tapi kalau di luar Jawa dua persen itu hanya bisa 1.000 orang," ucap Jimly.
Lebih lanjut Jimly mengatakan bahwa pembatasan dua persen sebagaimana diatur dalam Pasal 158 Undang Undang Pilkada, semata-mata bukanlah hal yang substansial. Dia menganggap bahwa ketentuan tersebut merupakan prosedur administrasi yang serta merta membatasi orang yang berperkara, sehingga tidak sehat untuk demokrasi.
"Ini terlalu membatasi hak rakyat, hanya karena evaluasi terkait dengan kasus pilkada di MK yang sebelumnya menimbulkan masalah nasional karena adanya kecurangan suap," ujar Jimly.
Menurut Jimly ketentuan dalam Pasal 158 tersebut menjadi semangat dalam membatasi perkara, namun tidak dalam proses pembuktian kecurangan dalam Pilkada tersebut.
"Jadi memang perlu direvisi, jangan terlalu ketat dan kaku," tambah dia
Sementara itu Komisioner Komisi Pemilihan Umum Hadar Nafis Gumay menyatakan pihaknya menghormati putusan Mahkamah Konstitusi terkait perkara-perkara sengketa Pemilihan Kepala Daerah Serentak 2015.
"Saya kira kita semua sudah mendengar, dan sebagai pihak termohon penyelenggara kami tentu menghormari putusan tersebut," kata Hadar di Gedung Mahkamah Konstitusi Jakarta, Kamis (21/1).
Terkait dengan ketentuan dalam Pasal 158 Undang Undang Pilkada mengenai ambang batas selisih suara, Hadar menyebutkan bahwa MK sudah memutuskan untuk mematuhi ketentuan tersebut sehingga pihaknya tentu juga menghormatinya.
Mahkamah Konstitusi melalui juru bicaranya, Fajar Laksono, mengemukakan bahwa Pasal 158 memang berpotensi menyusutkan gugatan sengketa Pilkada di MK.
"Kalau Pasal 158 masih seperti sekarang, tidak ada perubahan, saya yakin pengajuan sengketa pilkada akan berkurang karena secara sosial sudah terekayasa," ujar Fajar di Gedung Mahkamah Konstitusi Jakarta, Selasa (26/1).
Fajar menjelaskan bahwa Mahkamah hanya menjalankan tugas dan fungsinya sebagaimana diamanatkan oleh Undang Undang.
"Karena kewenangan tambahan, dalam pelaksanaannya MK tunduk dan patuh pada yang memberi kewenangan itu, yakni UU Pilkada. Jika pembuat UU mengubah Pasal 158, maka MK siap menjalankannya," pungkas Fajar.