"Kami tidak sedang pesta politik, kata "hore-hore" tidak tepat ya, kami tidak sedang bereuforia menghadapi satu tantangan ini," kata dia, kepada wartawan usai diskusi bertajuk "Capres 2024 dan Cita-citanya untuk Indonesia" di Jakarta, Sabtu.
Menurut dia, sikap delapan parpol itu merupakan bentuk keseriusan. Lantas, ia pun menyatakan keprihatinannya karena publik tidak peduli dengan isu tersebut.
"Iya (serius) dong karena ini bukan cuma soal partai tetapi juga soal partisipasi rakyatnya. Saya merasa prihatin karena publik tidak merasa waspada dengan isu ini," ujar dia.
Jika sistemnya tertutup, lanjut dia, masyarakat tidak akan mengetahui siapa calon anggota legislatif sehingga program-program yang ditawarkan juga tidak bisa diketahui.
"Padahal, ini melibatkan suara mereka, kalau sistemnya tertutup ya mereka tidak tahu calon-calonnya siapa saja tetapi kalau terbuka kaya gini paling tidak semua caleg bisa turun dan publik bisa mendapatkan pendidikan politik secara langsung," tuturnya.
Ia mencontohkan masyarakat bisa aja komplain kepada caleg tersebut jika tidak komitmen terhadap program-program yang ditawarkan.
"Program bisa ditanyakan, kemudian komitmennya bisa dipertanyakan, dia paling tidak bisa kenal siapa yang mau dipilih. Istilahnya, kalau saya memilih anda, terus anda tidak komit, saya kan bisa komplain atau bahkan tidak memilih lagi. Kalau sekarang kalau sistemnya berubah, tidak bisa lagi seperti itu," ujar dia.
Sebelumnya, Ketua DPP PDI Perjuangan, Bambang Wuryanto, menyebut pernyataan sikap delapan partai politik parlemen yang menolak sistem pemilu proporsional tertutup hanya sekadar "hore-hore" atau sekedar memeriahkan suasana.
"Ini diskursus biasa saja. Soal penolakan monggo (silakan). Pengambil keputusan adalah sembilan hakim MK. Kalau ini (pernyataan sikap delapan parpol) saja hanya untuk 'hore-hore', kata pria yang akrab disapa Bambang Pacul di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (11/1).