Jakarta (ANTARA) - Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa konsultan Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), dr. Feranindhya Agiananda SpKj(K) mengatakan pasien penderita kanker kepala dan leher bisa mengalami gangguan psikiatri dengan angka yang lebih tinggi dibandingkan dengan kanker lainnya seperti paru-paru dan payudara.
"Ternyata kanker kepala leher angka kejadian depresi itu bisa mencapai 50 persen pada populasi pasien dengan kanker kepala leher," ucapnya dalam diskusi Terapi Suportif Pada Kanker Kepala dan Leher, yang diikuti secara daring di Jakarta, Kamis.
Hal ini karena kanker kepala dan leher terjadi di area yang terlihat seperti benjolan jika menderita kanker lasofaring di leher. Dan terapi yang dilakukan biasanya juga mengubah bentuk fisik sehingga pasien merasa bukan dirinya lagi.
"Tentunya berdampak besar pada kondisi psikologis dari pasiennya dan juga keluarga tentunya yang mendampingi jadi memang besar sekali peranan dari aspek kesehatan mental ini," ujar dokter yang biasa disapa Fera itu.
Depresi yang dirasakan pasien kanker kepala dan leher bisa membuatnya tidak semangat dalam menjalani perawatan, putus asa, kehilangan daya juang untuk melawan kanker dan bisa memperburuk hasil dari tatalaksana yang sudah direncanakan.
Fera menjelaskan, tidak semua pasien kanker harus menjalani terapi psikiatri. Sebelum melakukan terapi, biasanya dokter penanggung jawab akan mengobservasi permasalahan yang mungkin dihadapi oleh pasien kanker.
Jika dirasa ada hal-hal yang penting untuk dikelola, dokter penanggung jawab akan menghubungi tim untuk melakukan tatalaksana secara bersama-sama.
"Selalu akan mulainya dari satu pintu dulu terkait dengan masalah utamanya apa, jadi bisa saja datangnya ke THT, atau karena nyeri datangnya ke rehab medik dulu atau ke mana dulu, nanti akan dilihat permasalahannya ada di sebelah mana, ada apa aja masalahnya kemudian timnya akan diaktivasi sehingga apapun permasalahan yang dihadapi itu bisa kita kelola secara optimal," kata Fera.
Ia juga menjelaskan terapi psikiatri tidak selalu akan diberi obat. Biasanya yang awam dilakukan adalah psikoterapi yaitu terapi berbincang-bincang untuk melihat masalah yang sedang dihadapi oleh pasien maupun keluarganya, seperti kecemasan karena tidak tahu apa yang akan dihadapi dan masih dalam tahap rasional atau tidak.
"Itu kita akan cari tahu apa yang membuat dia cemas, seringkali orang cuma karena tidak tahu apa yang akan dihadapi karena khawatir akan masa depannya, sering kali kita ruwet sama pikiran kita mikirnya udah jauh duluan padahal belum tentu apa yang seperti kita bayangkan," tambahnya.
Dalam proses psikoterapi, psikiater mengajak pasien berdiskusi bagaimana cara-cara berpikir secara lebih realistis dan tidak membuat pasien menjadi mudah cemas. Namun jika psikoterapi tidak cukup karena gejala kecemasan yang cukup hebat sampai mengganggu tidur dan aktivitas sehari-hari, psikiater bisa memberi obat yang sesuai gejalanya.
"Obat-obatan yang diberikan itu pasti ada tujuannya dan akan dipantau oleh teman-teman dari psikiatri. Selama dipantau oleh dokter tidak perlu khawatir akan terjadi kecanduan atau akan terjadi ketergantungan karena semuanya sudah dipantau," dokter Fera memaparkan.