Jakarta (ANTARA) -
Setelah gempa bumi 24 tahun silam yang merenggut 18.000 nyawa di Turki barat laut itu, penegakan aturan mendirikan bangunan yang lemah dan korupsi, dianggap biang kerok untuk begitu banyaknya korban jiwa dalam gempa berkekuatan Magnitudo 7,6 tersebut.
Tahun itu, harian terkemuka Turki, Hurriyet, dengan sarkastis menulis, "Lagi-lagi bangunan busuk, lagi-lagi kontraktor bangunan pencoleng nan tak bermoral."
Ternyata, fenomena bangunan rapuh yang didirikan serampangan, ditambah wabah korupsi, sudah lama mengharu biru Turki jauh sebelum 1999.
Kini, dalam gempa 6 Februari 2023 yang sudah merenggut lebih dari 45.000 jiwa, kontraktor bangunan yang gegabah dan pejabat publik yang korup, kembali disebut sebagai biang keladi untuk puluhan ribu nyawa manusia yang direnggut oleh gempa ini.
Sudah lebih dari 160 ribu gedung ambruk atau rusak parah. Bencana ini luar biasa pedih, tetapi juga menciptakan ironi besar karena begitu banyak gedung yang ambruk atau rusak berat.
Sebanyak 184 orang ditangkap karena dianggap bertanggung jawab atas runtuhnya ribuan gedung itu, termasuk wali kota Nurdagi di Provinsi Gaziantep.
Banyak warga Turki yang sudah muak oleh praktik korup dalam proyek-proyek pemerintah dan program pembangunan daerah perkotaan.
Ironisnya, rasa muak seperti ini pernah dirasakan Recep Tayyip Erdogan kala masih menjadi salah satu politisi kubu oposisi yang mengkritik pemerintah Turki saat itu dalam menangani dampak gempa 1999.
Gempa 1999 itu pula yang dianggap turut mengantarkan Erdogan dan partainya, Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP), memenangkan pemilu 2002.
Begitu berkuasa pada 2003, Erdogan langsung mengoreksi keadaan. Dia memacu pembangunan ekonomi Turki dalam kecepatan tinggi.
Program pembangunan infrastruktur besar-besaran pun diluncurkan, mulai dari membangun jalan raya sampai perumahan rakyat. Turki pun mendapatkan pujian dari mana-mana, termasuk dari investor asing.
Sayang, lama kelamaan, di balik semua hal baik dan kemajuan besar yang dicapai Erdogan, berkembang sistem rente dalam proyek pembangunan di mana koneksi politik menjadi penentu dalam mendapatkan proyek-proyek pemerintah.
Itu pula yang acap ditudingkan kubu oposisi kepada Erdogan. Mereka mengkritik bahwa gedung-gedung yang ambruk itu adalah buah dari politik rente yang sistemik.
Akibat amnesti
Erdogan balik menyerang oposisi karena sejumlah daerah yang terdampak parah oleh gempa ternyata dipimpin oleh para kepala daerah yang berasal dari partai oposisi.
Dalam kata lain, politik rente ini sudah tak mengenal batas kelompok politik dan kepentingan.
Tapi sebenarnya lima tahun setelah berkuasa, pada 2007, pemerintahan Presiden Recep Tayyip Erdogan menerbitkan aturan ketat dalam bidang konstruksi yang mengharuskan setiap gedung baru yang dibangun tahan dari gempa.
Sebaliknya, gedung lama diwajibkan mendapatkan penguatan, terlebih gedung yang sudah berulang kali diguncang gempa.
Izin mendirikan bangunan pun diperketat dengan kewajiban memenuhi syarat tahan gempa. Bahkan, pada 2018, pengembang wajib memperbanyak kolom dan balok baja dalam gedung yang dibangun agar dampak gempa bisa dikendalikan sehingga gempa tak bisa meruntuhkan gedung.
Sayang, dalam tahun yang sama, pemerintah Turki mengeluarkan amnesti kepada pemilik bangunan lama untuk boleh tak mengikuti aturan wajib memperkuat konstruksi gedung.
Uang lagi-lagi menjadi faktornya. Menurut Reuters, Turki mendapatkan pemasukan 3 miliar dolar AS dari amnesti yang tak gratis itu.
Amnesti telah membuat banyak gedung yang seharusnya direhabilitasi menjadi tak diperkokoh. Padahal, menurut data yang kemudian dikutip Reuters pertengahan Februari lalu, separuh dari total 13 juta bangunan di Turki didirikan dengan menyalahi aturan.
Apa daya, pemerintah lebih membutuhkan uang, ketimbang konsisten menerapkan izin ketat dalam mendirikan bangunan baru dan merawat gedung lama.
Alih-alih, amnesti itu disampaikan kepada parlemen yang dikuasai partai-partai koalisi pemerintah, agar menjadi undang-undang.
Keadaan ini bukannya tanpa kritik. Tahun lalu, Asosiasi Arsitek Turki mengecam wakil rakyat yang mendukung amnesti itu sebagai pembunuh karena cepat atau lambat gedung-gedung yang tak laik itu bakal mencelakakan penghuninya.
Benar saja, begitu gempa bumi Magnitudo 7,8 menghantam Turki pada 6 Februari itu, 160.000 gedung ambruk atau rusak parah, termasuk apartemen dan sejumlah rumah sakit.
Banyak orang terjebak atau bahkan tertimbun di bawah reruntuhan gedung-gedung yang ambruk.
Ribuan di antaranya tak terselamatkan, bahkan mungkin masih banyak yang belum ditemukan. Bayangkan saja, betapa sulit mencari korban dari balik reruntuhan gedung tinggi yang ambruk diruntuhkan gempa.
Situasi tahun ini mengingatkan sebagian orang kepada keadaan 24 tahun silam. Nyawa manusia direnggut oleh gempa yang meruntuhkan gedung-gedung rapuh yang mengabaikan ketentuan akibat korupsi dan keserakahan.
Teladan Jepang
Pada kebanyakan bencana alam, termasuk banjir, korban menjadi semakin banyak, bukan hanya karena dahsyatnya bencana alam, tapi juga oleh ulah manusia dalam bagaimana mengantisipasi bencana dan dampaknya yang kerap berulang, walau periode belum tentu terpetakan.
Beberapa negara menyadari siklus seperti ini. Mereka bersiap dengan bijak dan terukur, agar bencana alam tak menciptakan dampak lebih buruk ketimbang bencana-bencana sebelumnya.
Salah satu di antaranya adalah Jepang yang terus belajar mengenai bagaimana menekan dampak bencana, terutama dalam kaitan dengan keselamatan manusia.
Negeri ini dari masa ke masa terus memperbarui dan memperketat cara mencegah bencana tidak menelan korban banyak.
Jika aturan ketat pascagempa di Turki lama kelamaan diterabas sampai bencana berikutnya mengekspos keserakahan manusia yang membuat dampak bencana semakin parah, maka di Jepang, aturan yang ketat diterapkan konsisten dari waktu ke waktu.
Aturan mendirikan bangunan baru dan bagaimana seharusnya menguatkan kembali gedung-gedung lama, dari gedung perkantoran sampai rumah tinggal biasa, dipatuhi kuat-kuat oleh Jepang.
Tak heran, gempa bumi dahsyat bermagnitudo 9,1 dan gelombang tsunami setinggi 40 meter pada 11 Maret 2011, "hanya" merenggut 19.700 nyawa manusia. Bayangkan jika bencana sedahsyat itu terjadi di negara selain Jepang.
Sebaliknya, di beberapa negara kesadaran mengantisipasi bencana acap hanya menjadi langkah situasional yang segera terlupakan begitu derita bencana hilang dari ingatan.
Upaya-upaya menetralisir daerah-daerah jalur gempa, longsor atau banjir, untuk tidak berubah menjadi pemukiman padat, hanya dilakukan sesaat yang sirna begitu tragedi akibat bencana alam sudah menjadi cerita masa lalu.
Padahal, negara-negara ini mengeluarkan aturan yang juga ketat. Bedanya, aturan yang ketat kerap menjadi longgar saat harus diterapkan di lapangan.
Ketika bencana datang menerjang, maka itu lebih sering dipahami sebagai semata proses alam dan kehendak Tuhan tanpa disertai keinginan mencari tahu mengapa kerugian akibat bencana bisa begitu besar dan mengapa tak ada antisipasi agar dampaknya tak lagi besar.
Sikap seperti ini meniadakan kebutuhan untuk meminta pertanggungjawaban kepada mereka yang membuat daerah-daerah rawan bencana, seperti daerah jalur gempa atau daerah resapan air, dibiarkan menjadi tempat hunian padat atau situs ekonomi yang menarik banyak orang, yang berisiko tinggi saat bencana terjadi.
Koreksi pun hanya sesaat sehingga dalam setiap bencana alam, korban jiwa dalam jumlah besar terus saja terjadi.
Namun, dalam konteks gempa Turki, pemerintah Erdogan setidaknya berani menghukum mereka yang teledor tidak membangun hunian yang aman dari guncangan gempa.
Langkah tegas pemerintahan Erdogan dalam menangkapi orang-orang lalai yang juga korup dan serakah karena miskalkulasi dan mismanajemen gedung, menunjukkan ada pengakuan bahwa bencana yang menciptakan tragedi besar, tak melulu semata karena alam. Justru yang sering terjadi, keserakan manusia acap memperparah dampak bencana sehingga korban jiwa pun tetap saja banyak.