Dalam beberapa budaya, masih ada anggapan bahwa pernikahan dapat menjadi jalan keluar bagi korban pemerkosaan, dengan tujuan untuk menghapuskan aib dan memberikan solusi sosial terhadap peristiwa tragis tersebut.
Pada prinsipnya pernikahan adalah sebuah ikatan suci yang berdasarkan pada persetujuan kedua belah pihak dalam Islam. Kedua pihak, baik laki-laki maupun perempuan, harus secara sukarela dan bebas memilih untuk menikah.
Oleh karena itu, pernikahan paksa termasuk dalam kasus pemerkosaan tidak sesuai dengan prinsip dasar hukum perkawinan Islam.
Hukum Islam menuntut adanya persetujuan penuh dan kebebasan dalam memilih pasangan hidup.
Pada situasi pemerkosaan, ketika korban jelas tidak memberikan persetujuan, pernikahan dengan pelaku tidak hanya bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum Islam, tetapi juga berisiko merendahkan martabat dan hak-hak korban.
Hukum perkawinan Islam jelas memberikan pedoman tentang bagaimana pernikahan harus dilaksanakan dengan niat yang baik dan berdasarkan persetujuan kedua belah pihak. Hukum Islam melarang keras pemaksaan dalam segala bentuknya, termasuk dalam konteks pernikahan.
Sebagai solusi yang lebih adil, hukum Islam menekankan pentingnya perlindungan terhadap korban, pemulihan hak-hak korban, dan penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku pemerkosaan.
Oleh karena itu, memaksa korban pemerkosaan untuk menikahi pelaku tidak hanya bertentangan dengan hukum Islam, tetapi juga melanggar hak asasi manusia yang mendasar. Sehingga pernikahan tidak dapat dijadikan solusi yang sah dan adil dalam kasus pemerkosaan karena bertentangan dengan prinsip dasar dalam hukum Islam.
Dalam Islam, korban pemerkosaan memiliki hak-hak yang sangat penting untuk dihormati. Hak tersebut seperti hak untuk memberikan persetujuan dalam pernikahan, hak untuk mendapatkan perlindungan dan pemulihan, hak untuk mendapatkan keadilan, dan hak untuk menjaga martabat dan kehormatan mereka.
Memaksa korban untuk menikahi pelaku pemerkosaan tidak hanya merugikan korban, tetapi juga bertentangan dengan ajaran Islam yang menekankan pentingnya kebebasan, keadilan, dan martabat manusia.
Oleh karena itu, solusi yang lebih tepat dalam kasus pemerkosaan adalah penegakan hukum yang adil terhadap pelaku dan perlindungan serta pemulihan hak-hak korban.
Dasar hukum dalam menangani hak-hak korban pemerkosaan dan pernikahan paksa harus merujuk pada sumber hukum Islam yang menjadi pedoman utama dalam memuliakan manusia, mengatur kebebasan memilih pasangan hidup dan perlindungan terhadap korban kekerasan seksual. Kitab suci Al Qur'an adalah sumber hukum pertama. Kedua, hadis nabi mengenai pernikahan dapat menjadi rujukan berikutnya.
Di Al Qur'an prinsip keadilan sangat penting. Islam menuntut agar korban diberikan hak untuk memilih jalan hidupnya tanpa paksaan, mendapatkan perlindungan yang layak, dan memastikan bahwa pelaku dihukum sesuai dengan perbuatannya. QS An Nisa ayat 48 jelas memerintahkan hal tersebut:
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu untuk menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia, hendaklah kamu menetapkannya dengan adil...” (QS 4:58).
Ayat ini menegaskan bahwa keadilan harus ditegakkan dalam setiap situasi, termasuk dalam kasus pemerkosaan dan perlakuan terhadap korban. Memaksa korban untuk menikahi pelaku pemerkosaan bukanlah bentuk keadilan, karena ini mengabaikan hak korban untuk memilih jalan hidup sendiri dan melindungi martabat korban.
Martabat individu dalam hukum Islam adalah hak yang sangat dilindungi. Dalam konteks pemerkosaan, martabat korban harus dipulihkan dengan memberikan hak-hak korban untuk memilih jalan hidup tanpa paksaan, mendapatkan perlindungan yang layak, dan menerima keadilan sesuai dengan ajaran Islam.
Prinsip Keadilan
Pernikahan paksa setelah pemerkosaan jelas merendahkan martabat korban, karena hal ini tidak hanya bertentangan dengan prinsip persetujuan bebas yang merupakan syarat sahnya pernikahan dalam Islam, tetapi juga memperburuk kondisi psikologis dan sosial korban.
Islam mengajarkan bahwa setiap individu, terutama perempuan, memiliki martabat yang harus dihormati, dan pernikahan paksa tidak bisa menjadi solusi yang sah atau adil dalam kasus pemerkosaan.
Dalam hal ini, korban harus diberikan kesempatan untuk melanjutkan hidup dengan penuh martabat, mendapatkan keadilan yang mereka perlukan, dan perlindungan yang sesuai dengan prinsip-prinsip Islam yang mengedepankan hak asasi manusia dan keadilan sosial.
Islam sangat menekankan penghormatan terhadap martabat manusia, termasuk dalam hal perlindungan terhadap perempuan. Martabat ini berasal dari pengakuan Islam terhadap nilai dan kehormatan setiap individu. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur'an Surah Al-Isra ayat 70:
"...Dan sesungguhnya kami telah memuliakan anak-anak Adam; kami angkut mereka di darat dan di laut, dan kami beri mereka rezeki yang baik, dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah kami ciptakan..." (QS 17:70)
Ayat ini menegaskan bahwa setiap manusia, termasuk perempuan, memiliki martabat yang harus dihormati.
Dalam konteks pemerkosaan, penghormatan terhadap martabat korban adalah hal yang utama, dan perlindungan terhadap martabat ini menjadi dasar bagi kebijakan hukum yang adil dan berperikemanusiaan.
Dasar hukum berikutnya yaitu hadis nabi. Bukhari dan Muslim pernah meriwayatkan: “Seorang janda tidak boleh dinikahkan sampai dia dimintai persetujuannya, dan seorang gadis tidak boleh dinikahkan sampai dia dimintai persetujuannya.”
Hadis ini menekankan bahwa pernikahan dalam Islam harus berdasarkan pada persetujuan kedua belah pihak tanpa ada paksaan.
Pada kasus pemerkosaan, ketika korban tidak dapat memberikan persetujuan bebas, memaksakan pernikahan tidak hanya bertentangan dengan hadis di atas, tetapi juga merendahkan martabat korban.
Dalam kajian hukum perkawinan Islam, prinsip keadilan sangat jelas menjadi dasar untuk penegakan hukuman yang adil terhadap pelaku kejahatan.
Menyelesaikan kasus pemerkosaan dengan pernikahan paksa tidak hanya bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan ini, tetapi juga berisiko merugikan korban lebih lanjut.
*) Penulis adalah Dekan Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surabaya.