Jakarta (ANTARA) -
Dipimpin Raja Pirros dari Epiros, koalisi ini sukses mengalahkan tentara Romawi dalam Pertempuran Asculum. Namun, kemenangan itu dibayar mahal oleh begitu besarnya korban jiwa pada pasukan Raja Pirros.
Beberapa lama kemudian Romawi balik mengalahkan tentara Raja Pirros setelah pasukan sang raja berkurang drastis akibat perang habis-habisan di Asculum.
Ironi ini memunculkan istilah "Pyrrhic Victory" atau "Kemenangan Pirros" yang hingga kini dikenal luas dalam dunia militer Barat.
Istilah itu muncul lagi dalam perang Ukraina-Rusia setelah mantan wakil panglima Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO), Jenderal Sir Richard Shirreff, menyebut Rusia mungkin saja merebut Kota Bakhmut, tetapi keberhasilan itu akan seperti "Kemenangan Pirros."
Menurut Shirreff, kemenangan itu bakal dibayar mahal dengan terpangkasnya kekuatan Rusia sehingga menyulitkan mereka dalam melancarkan ofensif berikutnya atau bahkan membuat Rusia berada dalam posisi defensif.
Perang Ukraina-Rusia sendiri memang sudah merenggut banyak korban jiwa dan materiil di kedua belah pihak, termasuk perkakas perang.
Tak ada data pasti mengenai berapa jumlah korban tewas dari kedua belah pihak, namun sejumlah kalangan menyebut angka 200 ribu sampai 150 ribu tewas atau terluka akibat perang ini.
Kementerian pertahanan Rusia sendiri hanya menyebut 5.937 tentaranya tewas dalam perang ini, dan ini pun pernyataan yang dikeluarkan pada 21 September 2022. Dalam periode sama, Rusia mengklaim 61.000 tentara Ukraina tewas.
Sebaliknya, pihak Ukraina mendaku bahwa sampai Januari 2023 kehilangan 16.500 prajurit, sedangkan pihak musuh kehilangan 142 ribu tentara.
Tak ada yang tahu pasti berapa kerugian militer yang diderita kedua belah pihak, tetapi dalam doktrin militer, kerugian pasukan ang bertahan biasanya sepertiga dari jumlah kerugian yang diderita pasukan yang dalam posisi menyerang.
Menurut BBC Rusia yang menjadi salah satu sumber independen yang bisa dipercaya, sampai 3 Maret 2023, ada 16.000 tentara Rusia yang terdokumentasikan tewas akibat perang ini.
Ditambah tentara tewas Rusia yang tak tercatat, BBC memperkirakan Rusia kehilangan 29.500 tentara.
Batu pijakan
Jika melihat semua statistik yang menaksir jumlah korban perang ini, khususnya di pihak Rusia, jumlah tentara Rusia yang tewas di Ukraina disebut-sebut jauh lebih tinggi dibandingkan jumlah tentara Rusia yang tewas dalam perang 15 tahun melawan Chechnya, dan perang Uni Soviet-Afganistan pada 1979-1989.
Center of Strategic and International Studies (CSIS) di Washington menyatakan, rata-rata jumlah korban tewas per bulan yang diderita Rusia selama satu tahun di Ukraina adalah 25 kali lebih banyak dari pada 15 tahun perang Chechnya dan 35 kali lebih banyak dibandingkan dengan perang Soviet melawan Afghanistan.
Menurut lembaga analisis militer Oryx, berdasarkan data open-source yang mereka himpun, selama setahun invasi Rusia di Ukraina, Rusia kehilangan 1.810 unit tank, 77 pesawat tempur, 79 helikopter, 12 kapal perang, 799 kendaraan tempur lapis baja, 2.165 kendaraan tempur infantri, 301 pengangkut personel lapis baja, 179 unit peluncur roket berganda, dan 96 sistem rudal darat ke udara.
Jumlah itu terus bertambah, termasuk konsekuensi dari ofensif di Bakhmut di mana Rusia mengandalkan pasukan tentara bayaran Wagner Group.
Rusia habis-habisan mengerahkan kekuatannya untuk mengalahkan Ukraina yang juga bertahan habis-habisan di Bakhmut.
Namun, sampai tujuh bulan terakhir ini, Rusia tak kunjung merebut Bakhmut, bahkan menurut Ukraina, rata-rata 50-100 tentara Rusia tewas dalam upaya merebut kota ini sejak Agustus tahun lalu.
Kabar terakhir menyebutkan presiden dan angkatan bersenjata Ukraina sepakat untuk terus mempertahankan Bakhmut, padahal pemimpin Wagner Group, Yevgeny Prigozhin, menyatakan Bakhmut sudah dikepung oleh pasukannya.
Bakhmut yang jumlah penduduknya menyusut hingga 10 persen dari total 70.000 orang sebelum perang, dianggap sebagai simbol perjuangan Ukraina, bahkan Presiden Ukraina Volodymir Zelensky menyebutnya benteng yang harus dipertahankan mati-matian.
Pihak Ukraina beranggapan, keberhasilan mempertahankan Bakhmut akan menjadi batu pijakan untuk melancarkan serangan balik terhadap posisi-posisi Rusia.
Sebaliknya, jika Rusia menduduki kota ini, maka Rusia mendapatkan kemenangan terbesar setelah beberapa bulan terakhir ini tak mencapai kemajuan di medan perang, bahkan kehilangan Kherson di Ukraina selatan.
Kemenangan di Bakhmut akan didaku oleh Presiden Vladimir Putin sebagai kemenangan terbesar yang menepis kritik terhadap ketidakefektifan militernya di Ukraina.
Apalagi, Putin tak berhasil memanfaatkan cuaca musim dingin untuk melancarkan ofensif besar-besaran yang sampai kini tak terwujud.
Padahal, dari catatan sejarah yang ada, musim ini selalu berpihak kepada Rusia, seperti saat Rusia menggagalkan invasi Napolen Bonaparte pada 1812 dan Operasi Barbarossa yang dilancarkan Jerman pada Juni 1941.
Simbol perjuangan
Bagi Zelenskky sendiri, keberhasilan Rusia akan menjadi malapetaka karena Rusia menjadi memiliki batu loncatan untuk merangsek ke sisi barat wilayah Donbas sampai Slovyansk dan Kramatorsk. Situasi ini bisa membahayakan posisi Ukraina di kawasan timurnya yang sudah menyatakan memisahkan diri itu.
Rusia sendiri, sebagaimana diutarakan wakil duta besar mereka di PBB, Dmitry Polyanskiy, mustahil membiarkan Bakhmut tak mereka duduki.
Kota yang memiliki rangkaian terowongan bawah tanah dan benteng peninggalan era kuno itu tadinya tak dianggap strategis oleh Ukraina sebelum Rusia berhasil menduduki Severodonetsk dan Lysychansk di Provinsi Luhansk.
Bakhmut berubah menjadi ikon dan simbol setelah Zelenskyy mengunjungi Amerika Serikat dan berpidato di Washington dengan menyamakan pertempuran di Bakhmut dengan Pertempuran Bulge pada Perang Dunia Kedua.
Pertempuran Bulge pecah ketika Nazi Jerman untuk terakhir kalinya melancarkan ofensif di front Barat yang berakhir dengan kegagalan dan merenggut banyak tentara Jerman, sampai kemudian mempercepat kekalahan Jerman dalam Perang Dunia Kedua.
Bakhmut terletak di jalur logistik perang yang sangat penting, antara dua kota terbesar Ukraina di Provinsi Donetsk, yakni Kramatorsk dan Sloviansk. Kramatorsk adalah bekas ibu kota kelompok separatis Republik Rakyat Donetsk sebelum dibebaskan pada 2014.
Apakah Ukraina berhasil mempertahankan Bakhmut atau Rusia bisa mengulangi keefektifan strategi mereka kala mengurung Mariopol dari 24 Februari sampai 20 Mei 2022?
Namun, Bakhmut bukan Mariupol, karena letaknya lebih terbuka sehingga bisa terus mendapatkan pasokan bantuan dari front-front Ukraina lainnya, ketimbang Mariupol yang jauh di tenggara dan berada di dalam wilayah yang sudah dikuasai Rusia.
Yang jelas, pertempuran di Bakhmut akan semakin sengit yang n bisa berakhir seperti Pertempuran Asculum pada 279 SM di mana Rusia mungkin menang tapi menanggung kerugian yang amat besar, atau bisa berakhir seperti Pertempuran Bulge yang bisa menjadi antiklimaks untuk ofensif Rusia.
Dengan semua skenario itu, Bakhmut pun menjadi kunci yang menentukan arah perang di Ukraina.