Mendapatkan pendidikan di lembaga yang baik merupakan hak setiap warga negara. Menimba ilmu di sekolah negeri menjadi harapan setiap orang tua dan peserta didik. Meskipun tidak ada jaminan mutu pendidikan sekolah negeri lebih baik dibandingkan swasta, sekolah negeri tetap menjadi primadona. Apalagi biayanya rata-rata juga lebih terjangkau.
Sejauh ini, status sekolah berlabel negeri atau swasta menimbulkan kesenjangan. Tidak hanya itu, di masyarakat muncul istilah “sekolah favorit” atau unggulan yang menunjukkan adanya kastanisasi pendidikan. Namun, label favoritisme ini harus dihapuskan agar peserta didik dari kalangan apa pun bisa mendapatkan pendidikan yang lebih bermutu.
Tidak dapat dimungkiri, favoritisme sekolah itu ada dan dianggap biasa dalam masyarakat. Kondisi kastanisasi pendidikan sudah memfosil dan dianggap sebagai realitas bahkan dibanggakan oleh sebagian besar masyarakat.
Kastanisasi tersebut menggiring peserta didik bersekolah di sekolah favorit karena dianggap lebih unggul dan berkualitas sehingga secara tidak sadar malah menarik mundur pendidikan Indonesia pada zaman kolonial di mana ada kelompok superior menindas mereka yang inferior.
Ada semacam arogansi yang muncul dari sekolah yang dilabeli favorit, sementara yang bukan sekolah unggul justru semakin tidak bisa bersaing.
Sekolah favorit berlomba-lomba mempertahankan predikatnya dengan memforsir para siswa agar terus mengejar prestasi. Mereka menghabiskan waktu untuk mengerjakan seabrek PR atau tugas dibarengi rasa takut dan haru agar dapat selesai dengan sempurna.
Sebaliknya, siswa yang merasa tidak duduk di sekolah favorit terus tenggelam dalam paradigma bahwa diri mereka adalah “siswa biasa” sehingga tidak perlu giat belajar. Tak jarang mereka justru terlibat dalam kenakalan remaja hingga mengalami semacam sindrom disorientasi setelah lulus sekolah.
Akhirnya terdapat sekolah yang hanya diisi oleh peserta didik yang prestasi belajarnya tergolong baik dan tinggi dengan latar belakang keluarga bersatus ekonomi dan sosial baik. Sementara di lain sisi, ada juga titik ekstrem yaitu sekolah yang memiliki peserta didik dengan tingkat prestasi belajar yang tergolong rendah serta berasal dari keluarga kurang mampu.
Ketimpangan mutu dalam dunia pendidikan itulah yang memerlukan adanya reformasi besar yang dimulai dari pemerataan sarana dan prasarana, redistribusi dan pembinaan guru, serta pembinaan siswa demi optimalisasi kualitas pendidikan.
Demi memberi kesempatan setara siswa menikmati pendidikan bermutu, jangan sampai ada penumpukan sumber daya manusia berkualitas hanya di titik-titik tertentu saja.
Salah satu upaya dan solusi pemerataan itu adalah dengan memberlakukan sistem zonasi pada penerimaan peserta didik baru (PPDB) di seluruh Indonesia.
Menurut Permendikbud Nomor 1 tahun 2021, jalur pendaftaran PPDB untuk SD, SMP, dan SMA dibagi menjadi empat bagian yaitu jalur zonasi, afirmasi, perpindahan tugas orang tua/wali, dan jalur prestasi. Berdasarkan peraturan tersebut, penerimaan jalur zonasi SD paling sedikit 70 persen dari daya tampung sekolah. Adapun jalur zonasi SMP dan SMA paling sedikit 50 persen dari daya tampung sekolah.
Pro kontra zonasi
Namun demikian, sistem zonasi PPDB yang sudah dirancang sejak 2017 tidak berjalan mulus, pro dan kontra terus terjadi setiap memasuki tahun ajaran baru.
Bahkan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, dan Ristek kerap mendapatkan protes dari berbagai pihak dan hingga saat ini. Polemik PPDB zonasi belum berakhir. Berbagai kalangan berargumen bahwa kelahiran sistem zonasi minus kajian serius. Padahal, bisa jadi banyak yang belum memahami tujuan sistem zonasi.
Kisruh PPDB zonasi kian melebar. Ada kekhawatiran orang tua dan guru tentang kualitas pengajaran. Orang tua khawatir anaknya tidak mendapatkan pendidikan berkualitas. Begitu pula dengan para guru yang merasa canggung ketika harus mengajar anak-anak yang memiliki kemampuan intelegensi tinggi atau sebaliknya.
Sebagian orang tua menganggap zonasi menghambat prestasi anak, adanya ketidakadilan, anak depresi karena tidak dapat sekolah favorit, hingga indikasi kecurangan. Permasalahan lain yang ditimbulkan akibat pemberlakuan sistem zonasi di berbagai daerah adalah adanya peserta didik yang tidak terakomodasi karena pembatasan kuota di sekolah zonasi.
Selain itu, ada peserta didik yang terpaksa masuk sekolah kejuruan karena kuota sekolah menengah umum sudah penuh. Parahnya, bahkan ada orang tua yang memalsukan surat keterangan tidak mampu demi mendapatkan kuota afirmasi. Ada pula peserta didik yang terdaftar di dua kartu keluarga.
Fenomena tak sedap itu ditambah lagi dengan adanya tindakan suap untuk mendapatkan kursi di sekolah yang diinginkan. Realitas itu menunjukkan bahwa sesungguhnya stigma dan kastanisasi dalam pendidikan belum benar-benar musnah.
Sebenarnya, setiap kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah telah dipersiapkan secara matang sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Setiap kebijakan pasti memiliki sisi positif dan negatif. Namun, dalam proses pelaksanaan kebijakan tersebut perlu dilihat dominasi sisi baik dan buruknya. Jika ternyata lebih banyak kebaikan dari kebijakan itu, mengapa tidak terus diterapkan?
Sistem zonasi memudahkan peserta didik menuju sekolahnya karena jarak yang lebih dekat. Hal itu tentu lebih efektif dan efisien dari segi waktu dan keselamatan. Siswa tidak perlu menempuh jalan panjang dengan waktu yang lama yang akhirnya membuat letih hingga tidak semangat belajar.
PPDB zonasi yang sudah dimulai ini harus dijalankan secara gradual dan disiplin. Sebelum benar-benar mencapai kesempurnaan yang diinginkan, berbagai pembenahan harus terus dilakukan. Adanya regulasi mutasi guru-guru sesuai dengan kualifikasi pedagogik merupakan salah satu contoh baik dalam penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran yang adil dan merata.
Selain itu, pemerintah perlu memerhatikan pemerataan sarana dan prasarana sekolah yang dapat menampung sesuai dengan kuota anak usia sekolah pada zona terdekat. Pemerintah perlu gencar melakukan peningkatan kualitas tenaga pendidik dan kependidikan. Orang tua dan masyarakat harus berpikiran terbuka dan percaya bahwa tidak ada istilah “sekolah favorite”.
Kesadaran tentang tidak adanya kastanisasi dalam pendidikan diharapkan dapat menghentikan praktik-praktik suap untuk mendapatkan kursi di sekolah tertentu. Selain itu, aparat terkait diharapkan lebih jeli sehingga tidak ada yang dapat memanipulasi identitas baik itu surat keterangan tidak mampu maupun kartu keluarga.
Dengan segala tantangannya, kesenjangan pendidikan Indonesia harus diakhiri dengan pemerataan kualitas baik dari segi sarana prasarana hingga tenaga pendidik dan kependidikan. Ini adalah pekerjaan rumah bagi Pemerintah dan rakyat Indonesia untuk bahu- membahu menyukseskan program-program pendidikan. Bagaimanapun, pendidikan tetap merupakan solusi dalam membangun manusia Indonesia.
Di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel) kalangan orang tua melayangkan protes dan melakukan unjukrasa di kantor gubernur, DPRD dan dinas pendidikan setempat karena merasa ada kesenjangan yang terjadi dalam sistem zonasi.
Kendati PPBD SMA/SMK 2023 di Babel telah diumumkan hasilnya di sekolah tujuan, namun polemik penerimaan siswa baru jalur zonasi masih terus berlanjut.
Anggota Komisi IV DPRD Babel Aksan Visyawan mengatakan sistem zonasi tidak perlu dikebiri, tapi perlu solusi untuk mengatasi berbagai aksi protes terhadap sistem tersebut.
Pada prinsipnya sistem zonasi dalam PPDB tidak menyimpang dari aturan undang-undang, hanya saja butuh persiapan yang matang untuk menerapkannya.
Realita yang terjadi saat ini daya tampung tidak sebanding dengan jumlah pelajar yang lulus setiap tahunnya sehingga kondisi tersebut dapat melemahkan kekuatan kebijakan zonasi pendidikan.
"Solusinya kita harus tambah atau membangun sekolah baru baik swasta maupun negeri atau menghidupkan kembali sejumlah sekolah swasta yang sudah mulai meredup dalam menjalankan program pendidikan," katanya.
Dinas Pendidikan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung mencatat rombongan belajar (rombel) dan daya tampung pada 2023 untuk SMA/SMK terdapat sebanyak 706 rombel dengan daya tampung 23.838 orang.
Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Babel Ervawi mengatakan kuota untuk satu rombel 36 siswa kecuali ada daerah tertentu yang daerahnya sedikit, dibatasi sebanyak 34 atau 32 siswa.
Pelaksanaan PPDB mengacu pada Permendikbudristek Nomor 1 Tahun 2021. Menggunakan jalur zonasi tetap mengacu pada peraturan tersebut dan zonasi di Bangka Belitung termasuk kategorinya tiga.
Berdasarkan data pokok pendidikan (dapodik) Bangka Belitung, tercatat total jumlah SMA/SMK atau sederajat sebanyak 59 sekolah yang tersebar pada enam kabupaten dan satu kota dengan jumlah peserta didik jenjang SMA sebanyak 12.438 siswa dan SMK sebanyak 3.281 siswa.
Bangun sekolah baru
Bupati Bangka Tengah Algafry Rahman mengusulkan pada Pemprov Babel untuk membangun SMA negeri baru, untuk menyesuaikan dengan daya tampung.
Jumlah lembaga pendidikan setara SMA di daerah itu belum berbanding lurus dengan jumlah pelajar SMP/MTs menamatkan pendidikan pada 2023.
"Maka kita sudah usulkan pembangunan sekolah baru, lahan kita yang siapkan, kita cari lahan yang benar-benar layak untuk dibangun lembaga pendidikan tingkat SMA," ujarnya.
Bupati berharap Dinas Pendidikan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dapat menyikapi dan mencarikan solusi terkait anak-anak di daerah itu yang tidak bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang SMA karena daya tampung sudah penuh.
Mantan Ketua DPRD Bangka Tengah ini sudah berkomunikasi dengan Pemprov Babel, terutama rencana pendirian sekolah baru tingkat SMA di Kecamatan Koba, mengingat SMA atau SMK Negeri yang ada di Koba sudah penuh daya tampungnya sehingga tidak bisa menerima siswa baru.
Bupati mengatakan harus ada solusi karena di Koba tidak ada SMA atau sederajat, kecuali Pondok Pesantren Al-Muhajirin, namun yang non- muslim tidak mungkin bersekolah di lembaga pendidikan tersebut.
Untuk menjawab persoalan itu, Pemerintah Provinsi Bangka Belitung diminta mengambil kebijakan terbaik untuk memperkuat sistem zonasi yang memang lebih menjamin pemerataan siswa dari kalangan mana pun untuk mendapatkan pendidikan bermutu.