Zurich, Swiss (ANTARA) - Pemberontak di Republik Demokratik Kongo mengikatkan sabuk bahan peledak kepada sepasang bayi kembar sebagai jebakan untuk pasukan keamanan, kata Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada Jumat.
PBB menyatakan hal itu merupakan salah satu insiden dari meningkatnya kekerasan terhadap anak di sana.
Kedua anak perempuan, berusia satu tahun, ditemukan di desa di utara Kivu, daerah di mana kelompok militan dikenal sebagai Pasukan Demokratik Sekutu (ADF) meningkatkan serangan bom, menurut badan anak-anak PBB, UNICEF.
Bahan peledak itu dilepaskan dari kedua bayi oleh ahli ranjau tanpa meledak.
"Tujuannya adalah dengan kedatangan polisi atau militer Kongo, mereka (pemberontak) akan memicu ledakan yang ditujukan pada pasukan keamanan," kata perwakilan dari Dana Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNICEF) di Kongo, Grant Leaity, dalam pengarahan media di Jenewa, Swiss.
Peningkatan penggunaan alat peledak yang telah direkayasa hanya salah satu dari beberapa "tren keji" seiring dengan meningkatnya kekerasan terhadap anak hingga tingkat yang belum pernah dilihat sebelumnya di bagian timur Kongo, ujar Leaity.
"Dalam sehari-hari, anak-anak diperkosa dan dibunuh. Mereka diculik, direkrut dan digunakan oleh kelompok bersenjata, dan kita tahu bahwa laporan-laporan yang ada saat ini hanya mengungkap puncak gunung es saja," paparnya.
Kekerasan di Kongo telah menyebabkan salah satu kondisi gawat darurat kemanusiaan yang paling parah dan paling lama dengan lebih dari 27 juta orang menghadapi kekurangan pangan dan hampir 5,5 juta orang dipaksa mengungsi, menurut PBB.
Dari jumlah itu, lebih dari 2,8 juta anak menanggung beban krisis.
Sementara itu, kedua saudara kembar yang tidak diidentifikasi saat ini sedang dalam pemulihan dari kurang gizi di kantor PBB sebelum ditempatkan di keluarga asuh.
Orang tua mereka tewas dalam serangan yang diyakini dilakukan oleh ADF.
Meski mengalami pemulihan dari kekurangan gizi, luka mental mereka disebut bisa bertahan seumur hidup. "Anda tidak akan bisa membayangkan apa yang mereka alami," kata Leaity.
Sumber: Reuters