Jakarta (ANTARA) -
Namun, debat calon presiden seharusnya tidak boleh sama dengan kontes mencari bakat di mana riuh rendah suara penonton di venue acara menjadi unsur penting dalam pertunjukan.
Riuh rendah suara penonton memang membuat acara menjadi makin menarik untuk disaksikan. Tapi dalam debat calon presiden, penonton bisa mengalihkan perhatian para calon sehingga sang gagal menyampaikan pesan objektif kepada masyarakat kebanyakan.
Menyadari keadaan ini, sejumlah negara merancang sawala atau debat yang membuat audiens berada dalam keadaan yang pasif.
Di Amerika Serikat bahkan selalu ada seruan kepada komisi pemilihan umumnya agar ada aturan baru untuk mengurangi kemungkinan gangguan dari penonton.
Sebagian dari mereka bahkan beranggapan mengosongkan ruang debat dari audiens akan meninggikan martabat debat karena calon presiden menjadi lebih fokus membahas isu pemilu.
Format audiens senyap juga lebih bisa membongkar pandangan jernih dan utuh dari para kandidat, selain menghilang kesempatan kandidat "terbakar" oleh emosi audiens sehingga tak terpancing untuk saling menyerang pribadi calon.
Seperti dalam setiap tayangan, termasuk bincang-bincang politik, penonton acap membuat narasumber menjadi agresif dan tidak objektif.
Faktanya, massa kerap memberi energi lebih yang membuat seseorang meninggalkan akal sehat untuk lebih mempertahankan argumen sekuat mungkin, padahal mungkin tidak masuk akal.
Inilah aspek yang disebut filsuf dan pakar psikologi terkemuka dunia, Sigmund Freud, sebagai psikologi massa.
Menurut Freud, sebagai bagian dari massa, individu memperoleh rasa kuasa tak terbatas yang membuatnya bertindak berdasarkan rangsangan yang semestinya dikendalikan oleh individu itu.
Rasa kuasa dan aman ini memang membuat individu bertindak sebagai bagian dari massa dan merasa aman dalam jumlah, tapi keadaan ini menghilangkan kesadaran kepribadian dan kecenderungan individu untuk terpengaruh emosi massa.
Padahal, massa sangat impulsif, mudah berubah, dan mudah tersinggung, karena hampir seluruhnya dikendalikan oleh alam bawah sadar.
Akibatnya, masih meminjam teori Sigmund Freud, seseorang dalam kerumunan menjadi pribadi yang terhipnotis karena setiap individu dalam kelompok menjadi bertindak berdasarkan dorongan cinta yang menyimpang dari tujuan aslinya.
Senyap tapi tetap dramatis
Dalam konteks debat calon presiden, agresivitas penonton acap menular kepada individu calon, sampai objektivitas sang calon hilang sehingga debat menjadi semata pertarungan emosi, bukan pertarungan akal sehat.
Dalam keadaan ini, "korban" terbesar adalah pemilih-pemilih yang mengikuti debat dari layar-layar televisi di rumah atau tempat-tempat yang jauh dari venue debat.
Padahal, mereka jauh lebih banyak dan mungkin jauh lebih objektif, ketimbang yang berada di dalam studio atau venue debat yang di Indonesia biasanya dihadiri tim sukses yang pastinya partisan.
Pemilih kebanyakan menjadi korban karena tak mendapatkan pandangan yang utuh dari calon presiden yang seharusnya wajib mereka dapatkan dari debat.
Inilah yang mungkin menjadi alasan negara-negara seperti Amerika Serikat, Prancis, dan Brasil, meminimalkan peran penonton di dalam studio pada debat calon presiden.
Mereka menomorsatukan masyarakat kebanyakan yang tak hadir langsung di tempat acara debat dan mencegah proses debat tercemari oleh emosi audiens di ajang atau venue debat.
Di negara-negara itu, audiens memang tetap ada, tapi dalam keadaan senyap, tak seperti dalam debat calon presiden di Indonesia dan Filipina, yang tak pernah sepi dari riuh rendah suara penonton.
Bahkan mereka menata suasana panggung debat yang mengaburkan kehadiran audiens debat.
Para penyelenggara debat di negara-negara itu, termasuk stasiun televisi, tak terpaku pada adagium bahwa debat juga showbiz, setidaknya tak dianggap sebagai showbiz biasa.
Dengan membuat audiens debat senyap, jutaan penonton yang jauh lebih banyak dari audiens di dalam studio bisa lebih jernih menyelami pesan, pandangan dan visi para calon presiden.
Demi pemilih kebanyakan
Bahkan audiens debat yang senyap tak menghilangkan unsur drama dalam debat calon presiden sehingga tayangan tetap menarik untuk disaksikan.
Lihat saja debat-debat calon presiden di Amerika Serikat, Brasil, Prancis, dan lainnya. Bahkan pada 2020, Amerika Serikat menggelar debat calon presiden antara Joe Biden dan Donald Trump yang nyaris tanpa audiens karena pandemi COVID-19.
Ternyata, debat malah menjadi lebih menarik karena para kandidat dapat berpikir lebih jernih dan lebih bebas menawarkan gagasan-gagasan mereka.
Suasana hampir sama terjadi di Prancis pada pemilu 2022 antara Emmanuel Macron dan Marine le Pen. Juga terjadi dalam debat calon presiden Brasil pada 2022, baik pada putaran pertama yang mengikutkan banyak calon, maupun debat putaran kedua yang mempertemukan Jair Bolsonaro dan Luiz Inacio Lula da Silva.
Debat calon presiden pun menjadi terlihat memuliakan masyarakat kebanyakan, yang ingin mendapatkan pandangan-pandangan utuh dari para calon pemimpin bangsanya.
Dengan cara itu pula, debat menjadi bagian esensial dalam proses pemilu, bukan lagi pelengkap proses pemilu.
Sedemikian pentingnya menomorsatukan pemilih kebanyakan, para calon presiden di beberapa negara acap langsung menatap kamera, untuk berbicara dengan rakyatnya.
Baik Trump, Biden, Bolsonaro maupun Lula da Silva, berulang kali menatap kamera televisi untuk berbicara langsung kepada pemilih kebanyakan yang membutuhkan keutuhan argumen mereka tanpa dikipasi audiens di dalam studio layaknya terjadi di negara-negara seperti Indonesia dan Filipina.
Bisakah Indonesia merangkul format debat dengan penonton yang tak begitu agresif?
Mungkin tidak untuk saat ini, tapi patut direnungkan untuk diadopsi pada pemilu-pemilu berikutnya. Bukan untuk siapa-siapa, tapi demi pemilih kebanyakan dan pendewasaan proses politik.