Jakarta (ANTARA) -
Dari riuhnya gempuran sampah produksi umat manusia, beberapa manusia rupanya memilih jalan tak biasa untuk membatu umat manusia, terkait persoalan sampah. Sebagian manusia itu berhasil memanfaatkan sampah itu menjadi sesuatu yang berguna.
Salah satu manusia itu adalah Nurohmad (48), pria paruh baya yang dengan kemampuan seninya merajut sampah menjadi berkah, khususnya dalam dunia perbatikan.
Meningkatnya permintaan akan batik di tengah masyarakat membuat keberadaan batik cap, dan yang terbaru mesin cetak batik otomatis, semakin dibutuhkan.
Dari situ, Nurohmad berhasil menemukan inovasi baru, yakni membuat alat cap batik dengan memanfaatkan bungkus rokok, kalender dan limbah sejenis yang sudah terbuang, menjadi alat cap batik.
Dalam pengakuannya, biaya produksi alat cap batik dari limbah bungkus rokok tersebut lebih hemat hingga berkali-kali lipat dibandingkan dengan biaya produksi alat cap batik dari logam, seperti tembaga.
Jika biaya produksi alat cap batik dari tembaga mencapai Rp500 ribu-Rp800 ribu, tapi untuk alat cap batik inovasinya hanya berkisar antara Rp100 ribu-Rp200 ribu.
Mengenai ketahanan dan kualitas alat cap batik tersebut, Nurohmad menjaminnya dengan penjelasan yang cukup teknis. Sebagian orang, meragukan kualitas alat cap batik tersebut, karena terbuat dari bahan dasar kertas.
Alat cap batik yang ia temukan akan menjadi semakin kuat seiring lamanya penggunaan. Hal tersebut karena unsur lilin batik yang kian mengisi pori-pori kertas yang membuatnya semakin berisi dan kuat.
Kualitas alat cap batik temuannya tersebut terbukti, setelah beberapa waktu lalu dirinya menerima pesanan dari Jakarta sepanjang 1.000 meter kain bati cap, dan ia menggunakan alat cap batik dari kertas tersebut untuk memenuhi pesanan tersebut.
Lebih lagi, meskipun bukan dalam jumlah yang masif, ia mengaku telah memasarkan produk batik capnya hingga ke mancanegara, seperti Australia, Amerika, Vietnam, Prancis, dan beberapa negara lainnya.
Selain itu, dengan ketekunannya mendalami batik cap dan batik tulis, sejumlah seniman dari luar negeri, seperti India dan Prancis juga pernah datang belajar padanya di studio seninya di Bantul, Yogyakarta.
Meskipun menerima cukup banyak pesanan batik, pria lulusan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta tahun 2002 tersebut lebih memilih menjual "kegiatan" dari pada menjual produk barang batik.
Ia diundang kemana-mana untuk mempraktikkan langsung membuat batik tulis dan batik cap, salah satunya di acara #MelokalDenganBatik di Yogyakarta pada 5 Februari 2024 yang diadakan oleh sebuah platform toko digital.
Dalam acara tersebut, Nurohmad mempraktikkan cara melukis pada kain atau membuat batik tulis secara langsung. Saat itu, ia tidak membawa perlengkapan batik capnya, lantaran ia diminta untuk membuat batik tulis.
Inovasi alat cap batik dari kertas yang ia temukan pada tahun 2015 dan telah memenangkan kompetisi teknologi tepat guna tingkat Kabupaten Bantul pada tahun 2017 tersebut akan segera ia patenkan.
Mengenai gempuran batik impor, Nurohmad mengaku tidak takut sama sekali akan hal itu, lantaran ia punya ciri khas dalam setiap karyanya dan juga tidak hanya menjual barang, tetapi tontonan dan edukasi mengenai produksi batik.
Hanya saja, kata dia, filterisasi dari pemerintah tetaplah dibutuhkan untuk melindungi keberadaan pembatik lokal. Lebih jauh, jika pemerintah terbuka pada perdagangan batik yang sudah mendunia, maka persaingan tidak dapat dipungkiri.
Satu-satunya cara, selain filterisasi adalah memperkuat pebatik lokal, baik dari segi kekhasan pembatikan, izin usaha dan juga pemahaman pemasaran yang memadai. Dengan demikian, pebatik lokal dapat bersaing dalam perdagangan global.
Pria dua anak tersebut mengaku bahwa setiap hari ia berusaha menemukan pola-pola baru dan khas untuk batik capnya.
Dengan demikian, akan semakin banyak sampah yang akan ia manfaatkan, akan semakin banyak pikiran yang ia buka dengan "sampah" dan tentunya akan semakin menambah pundi-pundi penghidupan keluarganya.
Mengenai gempuran batik impor, Kepala Dinas Koperasi dan UKM Daerah Istimewa Yogyakarta Srie Nurkyatsiwi mengaku batik impor tidak dapat dhilangkan begitu saja, karena telah memiliki pasarnya tersendiri.
Namun, hal tersebut telah diupayakan melalui upaya pemerintah setempat dengan melakukan "Cobranding Yogja Max" atau 100 persen Yogja. Bagaimanapun banyaknya batik yang diproduksi melalui metode printing, batik tulis tetap eksklusif dan khas.
Melalui upaya tersebut, batik tulis dipermudah mendapatkan sejumlah akses legalitas berupa sertifikat, sehingga mempermudah pemasaran. Ia juga meminta masyarakat agar tidak menyebut batik impor sebagai batik, karena pada dasarnya batik impor hanya tekstil bermotif batik.
Sementara itu, Asisten Setda Bidang Pemberdayaan Sumber Daya Masyarakat DI Yogyakarta Sugeng Purwanto mengatakan bahwa dalam pemberdayaan pebatik lokal, Pemprov DIY berperan sebagai fasilitator.
Fasilitator dalam hal ini berarti pendampingan, baik personal ataupun kelompok melalui pengembangan UMKM dan selalu membuka kemungkinan kolaborasi pihak swasta, seperti halnya yang dilakukan platform toko digital bagi pengusaha batik di Yogyakarta pada 5 Februari 2024.
Lebih lanjut, Sugeng juga menekankan pentingnya akses legalitas bagi UMKM batik, misalnya Nomor Induk Berusaha (NIB). Menurutnya, apapun produknya perizinan adalah kewajiban pengusaha dan seharusnya juga akan difasilitasi oleh pemerintah.