Jakarta (ANTARA) - Kualitas udara DKI Jakarta, pada Rabu berada pada kategori tidak sehat dan masuk dua terburuk di dunia di bawah Kota Medan, Sumatra Utara, untuk itu masyarakat direkomendasikan untuk mengenakan masker ketika beraktivitas di luar.
Pada laman resmi IQAir yang dipantau di Jakarta, Rabu, pukul 06.30 WIB, indeks kualitas udara (AQI) di Jakarta berada di angka 173, dengan angka partikel halus (particulate matter/PM) 2,5 di angka konsentrasi 86 mikrogram per meter kubik.
Konsentrasi tersebut setara 17,4 kali nilai panduan kualitas udara tahunan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Situs pemantau kualitas udara dengan waktu terkini tersebut, mencatatkan bahwa Jakarta sebagai kota dengan kualitas udara peringkat kedua terburuk di dunia setelah Kota Medan dengan angka 213.
Berikut kota dengan kualitas udara terburuk di dunia pada Rabu, yaitu Kota Medan (Indonesia) di angka 213, Jakarta (Indonesia) 173, dan Dhaka (Bangladesh) di angka 171.
Masyarakat direkomendasikan untuk menghindari aktivitas di luar ruangan, mengenakan masker saat di luar, menutup jendela untuk menghindari udara luar yang kotor, serta menyalakan penyaring udara.
Sementara itu, data dari Sistem Informasi Lingkungan dan Kebersihan Dinas Lingkungan Hidup Provinsi DKI Jakarta menyebutkan dari lima titik pemantau menunjukkan bahwa kualitas udara di Jakarta untuk polusi udara PM2,5 berada pada kategori sedang, dan hanya satu titik pos pantau kualitas udara ada pada kategori tidak sehat.
Untuk lokasi pemantau kualitas udara yang berada di Kelapa Gading menunjukkan bahwa pada Rabu pagi di angka 99 kategori sedang, Kebon Jeruk di angka 131 atau tidak sehat, Bundaran HI 89 kategori sedang, dan Jagakarsa di angka 77 atau sedang.
Kategori sedang berarti tingkat kualitas udara yang tidak berpengaruh pada kesehatan manusia ataupun hewan tetapi berpengaruh pada tumbuhan yang sensitif.
Sementara untuk kategori tidak sehat yaitu tingkat kualitas udara yang bersifat merugikan pada manusia ataupun kelompok hewan yang sensitif atau bisa menimbulkan kerusakan pada tumbuhan ataupun nilai estetika.
Sebelumnya, BMKG mengungkapkan bahwa Jakarta mulai memasuki musim kemarau pada Mei dan diprediksi mencapai puncaknya pada Juni 2024. Bersamaan dengan itu, Jakarta diprediksi kembali dilanda polusi udara.
Koordinator Sub Bidang Informatif Gas Rumah Kaca BMKG Albert Nahas mengatakan fenomena iklim global berupa El Nino, La Nina dan Dipole Mode Positif/Negatif turut mempengaruhi partikel polutan di Indonesia, termasuk di Jakarta.
Albert mengungkapkan La Nina mempengaruhi konsentrasi PM2.5 di Indonesia dan membagi wilayah Indonesia menjadi Timur dan Barat berdasarkan respon PM2.5 terhadap La Nina. Salah satu dampaknya, konsentrasi PM2.5 cenderung tinggi pada malam hingga pagi hari dan rendah pada siang hari.