Bogor (Antara Babel) - Menteri Agama (Menag), Suryadharma Ali menyatakan, dirinya kecewa terhadap miskinnya data kelembagaan pendidikan di lingkungan kementerian yang dipimpinnya sehingga upaya peningkatan kualitas bagi penyelenggaraan program pendidikan terasa tidak maksimal.
"Kita miskin data," kata SDA, sapaan akrab Suryadharma Ali ketika memberi pengarahan pada Rapat Kerja Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi DKI Jakarta, di Royal Safari Garden Resort, Jalan Raya Puncak, Bogor, Kamis malam.
Pada Rapat Kerja (Raker) yang berlangsung selama tiga hari, menurut Kakanwil Kemenag Provinsi DKI Jakarta, H. Akhmad Murtado, diikuti 278 peserta yang berasal dari kantor urusan agama (KUA), madrasah dan pejabat struktural tersebut.
SDA yang juga Ketua Umum DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada Raker itu mengaku dirinya yang sudah empat tahun memimpin kementerian tersebut terasa baru belajar di lingkungan Kementerian Agama.
"Ternyata, beban dan tanggung jawab di kementerian ini sangat besar," ia menjelaskan.
Namun ia merasa kecewa dengan program penyelenggaraan pendidikan keagamaan. Pasalnya, anggaran di Direktorat Pendidikan Agama Islam (Pendis) demikian besar tetapi tidak seksi, tidak menarik bagi media massa.
Padahal di Ditjen Penyelenggaraan Haji dan Umroh (PHU), meski anggaran sedikit, tetapi demikian besar menarik publik dan kalangan pengelola media massa.
Anggaran di Ditjen Pendis mencapai Rp43 triliun. Di Ditjen lain, seperti haji dan Bimas Islam, sangat kecil. Karena itu Ali minta agar penyelenggaraan pendidikan ini mendapat perhatian serius.
Data harus lengkap dan akurat, jangan sampai tidak diketahui berapa jumlah ruang kelas siswa yang rusak. Madrasah mana yang rusak, dimana lokasinya. Selama ini sulit diketahui. Sebabnya, karena kita miskin data.
Akibat miskin data, lanjut dia, berlanjut pada kerja serabutan dan mementingkan besarnya anggaran untuk mendukung program kerja. Itu bisa terjadi ketika memberi bantuan komputer pada sekolah yang tak memiliki listrik.
Memberi bantuan komputer, sementara tidak ada yang mampu mengoperasikannya. Lantas, komputer pun disimpan. Lama kelamaan, komputer hanya teronggok di atas meja dipenuhi debu.
Ada program pengiriman buku. Padahal sekolah yang menerima tak memintanya. Ini sangat mencolok.
Karena itu, ia minta agar penyelenggaraan pendidikan mendapat perhatian besar. Sebab, kualitas umat di masa depan tergantung pada pendidikannya. Seluruh warga di Indonesia, termasuk di Jakarta, berhak mendapat pendidikan.
Pemberian bea siswa bagi anak miskin harus dilanjutkan. Demikian pula para guru. Perhatian pemerintah pun demikian besar. Sampai-sampai Pemerintah "kedodoran" utang Rp1,9 triliun pascasertifikasi guru. Diharapkan dana tersebut sudah terbayar pada 2014.
"Itu di Kemenag, Di Dikbud lebih besar lagi, sekitar Rp8 triliun," ia menjelaskan.