Medan (ANTARA) - Pekan Olahraga Nasional (PON) pertama yang diadakan di dua provinsi berakhir sudah, pada Jumat (20/9) malam.
Dibuka oleh Presiden Joko Widodo pada 9 September di Aceh, ketika medali sudah dibagikan sejak beberapa hari sebelumnya, PON Aceh-Sumatera Utara 2024 ditutup oleh Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy.
Jawa Barat untuk tiga edisi berturut-turut sejak PON ke-19 pada 2016 menjadi kontingen yang memperoleh medali terbanyak, dengan 540 medali yang 195 di antaranya medali emas.
Jawa Barat mengungguli 38 kontingen lain, baik dalam jumlah medali emas, medali perak, maupun medali perunggu.
Mempertandingkan 65 cabang olahraga, PON 2024 adalah PON terbesar sepanjang sejarahnya karena mengikutkan 12.919 atlet, melebihi 11.000-an atlet pada PON Riau 2012 yang sebelumnya disebut yang terbesar.
Sebagaimana dalam PON-PON sebelumnya, rekor-rekor baru tercipta, debutan-debutan membuat gebrakan, sementara para juara bertahan meneruskan atau bahkan diakhiri dominasinya.
Tetapi PON 2024 juga menyingkapkan sejumlah masalah dan catatan kritis, terutama dalam kaitan dengan fasilitas pertandingan, yang beberapa hari lalu membuat heboh seisi negeri.
Itu mulai dari venue yang bocor, sampai venue yang belum tuntas dibangun, yang dalam hal ini adalah Sumut Sports Centre di Sumatera Utara. Kritik dan dugaan mengenai adanya laku tidak baik dalam menyelenggarakan perhelatan itu muncul, sampai polisi pun mendalaminya. Semuanya berpangkal pada anggaran.
Selama ini pembiayaan PON menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Anggaran dari pemerintah pusat yang bersumber dari APBN lebih besar besar ketimbang dari anggaran daerah (APBD).
Dari berbagai catatan media dan juga data Kementerian Pemuda dan Olahraga, PON 2024 menyedot total dana APBN sekitar Rp2,2 triliun, sedangkan dana APBD yang terhisap untuk PON edisi ke-21 ini mencapai Rp1,7 triliun. Jadi, total sekitar Rp3,9 triliun.
Demi kualitas lebih baik
Dana sebesar itu dialokasikan untuk dua hal. Pertama, untuk hal-hal yang berkaitan dengan pertandingan, upacara, dan peralatan. Kedua, untuk renovasi dan pembangunan venue.
Angka yang didapatkan Aceh dan Sumatera Utara memang jauh lebih kecil dibandingkan dengan PON 2020 di Papua tiga tahun lalu, yang menghabiskan anggaran sekitar Rp8 triliun. Tetapi itu tetap uang besar bagi pembayar wajib, rakyat secara keseluruhan.
Terlebih lagi, setiap acara PON sudah ditentukan jauh-jauh hari, sehingga semestinya tak boleh memunculkan pandangan tidak siap dari masyarakat. Aceh dan Sumatera Utara sendiri ditetapkan sebagai tuan rumah PON 2024 delapan tahun lalu sewaktu berlangsung PON 2016 di Jawa Barat.
Waktu delapan tahun seharusnya lebih dari cukup untuk menyiapkan segalanya agar PON terselenggara dengan baik, yang jika tidak bisa sempurna, maka paling tidak minim catatan tidak baik, entah itu berkaitan dengan pertandingan, maupun yang berkaitan dengan venue.
Tetapi kemudian muncul masalah yang terungkap ke publik. Beberapa venue ternyata bermasalah, bahkan belum selesai, seperti Sumut Spors Centre di Deli Serdang. Sejumlah kalangan, termasuk atlet, mengeluhkan akomodasi untuk beberapa venue dan cabang olahraga.
Semua hal itu sampai mengundang polisi turun tangan untuk menyelidiki dugaan adanya korupsi, yang tiga tahun lalu di Papua pun muncul.
Memang masih dugaan, dan memang kekurangan atau catatan buruk dalam PON 2024 hanya terjadi di sejumlah kecil venue atau kesempatan. Tapi, bahkan kesalahan atau kekurangan sekecil pun dapat merusak citra keseluruhan acara olahraga, sehingga siapa pun tak boleh mendiamkannya.
Ini terutama untuk kualitas penyelenggaraan PON yang meningkat dari masa ke masa, dan dikelola semakin baik dari waktu ke waktu.
Acara ini memang memiliki dampak lanjutan yang luas, tetapi tidak boleh mengesampingkan domain utamanya, yakni olahraga, atlet dan prestasi atlet.
Ya benar, PON tak hanya diunjukkan untuk olahraga semata, karena juga menjadi wadah untuk memupuk dan merawat persatuan bangsa. Tapi orang sering lupa bahwa menyelenggarakan acara olahraga nyaris tanpa catatan buruk akan mendorong atlet nyaman bertanding.
Esok harus lebih baik
Ketika sudah nyaman, maka atlet dapat mengeluarkan kemampuan terbaiknya yang pada akhirnya bermanfaat besar bagi olahraga secara nasional, karena menjadi bekal besar untuk ajang-ajang olahraga level lebih tinggi.
Fasilitas yang baik dan berstandar, serta perlakuan kompetisi yang profesional, akan membuat atlet terdorong mencetak prestasi yang lebih baik yang akhirnya menarik untuk disaksikan.
Ketika itu terjadi, maka masyarakat pun terikat dengan PON. Mereka akan antusiatis mengikuti PON, seperti PON-PON puluhan tahun lalu, ketika PON terlihat semenarik panggung SEA Games, Asian Games, dan bahkan Olimpiade.
Masa-masa hampir seluruh penduduk Indonesia tercurah kepada PON, sepertinya telah pudar sejak belasan atau bahkan dua dekade lalu.
Padahal ada banyak cara untuk memeriahkan lagi PON, apalagi era ini banyak platform yang membuat masyarakat bisa menikmati momen dan acara olahraga, seperti IOC dan UEFA memanfaatkan platform populer seperti TikTok, YouTube, dan Instagram untuk membuat Olimpiade Paris dan Piala Eropa 2024 yang semakin luas dan semakin menarik disaksikan orang.
Seharusnya model seperti itu diadopsi Indonesia untuk PON, mengingat PON adalah hajat nasional yang mesti dinikmati masyarakat seisi negeri.
Dana yang besar seharusnya juga menciprat ke pola-pola baru bagaimana acara olahraga dinikmati seluas mungkin oleh masyarakat.
Jika terlalu berat untuk melakukan hal itu, maka mendorong swasta mendapatkan tempat lebih luas bisa menjadi langkah yang patut dicoba, demi meningkatkan kualitas penyelenggaraan PON sehingga masyarakat menikmati PON seantusiastis dulu.
Untuk sampai ke sana, apa yang kurang pada PON 2024 tak boleh lagi terulang di Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur empat tahun mendatang.
Keluhan tentang fasilitas dan venue tak boleh lagi muncul, sehingga atlet kian diutamakan, oleh suasana lapangan dan kompetisi yang baik dan profesional, bahkan berstandar turnamen internasional. Dengan begitu mereka makin terdorong mengeluarkan terbaik, yang pasti menarik disaksikan oleh masyarakat lebih luas.
Semoga publik bisa menikmati acara PON yang semenarik ajang-ajang level di atasnya, termasuk Olimpiade. Dan itu bisa diawali dengan bagaimana pembiayaan PON dikawal dengan baik, dan merenungkan lagi partisipasi luas masyarakat, termasuk swasta dan kalangan profesional.