Gaza (ANTARA) -
"Saya mendirikan tenda ini setelah tentara Israel memaksa kami meninggalkan Rafah tanpa membawa barang-barang pribadi apa pun," tutur ibu tujuh anak berusia 55 tahun itu.
Tempat penampungan sementara milik Om Fadi dalam kondisi yang buruk karena hanya menggunakan kain usang dan sisa terpal nilon yang diperoleh dari truk bantuan. "Akibat perang, kami terpaksa tinggal di tenda-tenda sementara, hak-hak dasar kami dirampas. Kami hidup dalam ketakutan terus-menerus terhadap pemboman Israel yang masih berlangsung, tidak yakin apakah kami akan selamat," keluhnya.
Israel melancarkan serangan berskala besar terhadap Hamas di Jalur untuk membalas serangan Hamas pada 7 Oktober 2023, yang menyebabkan sekitar 1.200 warga Israel tewas dan sekitar 250 orang disandera. Sementara itu, jumlah warga Palestina yang tewas di daerah kantong pesisir yang terkepung tersebut bertambah menjadi 41.495, menurut data terbaru dari otoritas kesehatan Gaza. "Jika organisasi internasional tidak mampu memberi kami tenda, kami akan menghadapi musim dingin yang keras, yang dapat mengakibatkan kematian para pengungsi karena kedinginan dan kurangnya tempat berlindung," kata Om Fadi.
Konflik tersebut menyebabkan kekurangan yang parah dalam hal pangan, obat-obatan, dan kebutuhan kemanusiaan lainnya. Situasi ini mendorong banyak organisasi internasional mengeluarkan peringatan tentang kondisi kritis di Gaza. Hujan yang turun baru-baru ini mengakibatkan jalan di kamp-kamp pengungsian tergenang air, dan banyak tenda pengungsi yang rusak sehingga mereka harus terpapar cuaca buruk.
"Jika organisasi internasional tidak mampu memberi kami tenda, kami akan menghadapi musim dingin yang keras, yang dapat mengakibatkan kematian para pengungsi karena kedinginan dan kurangnya tempat berlindung," kata Om Fadi.
Jihan Ziyara, warga Palestina lainnya yang mengungsi di Deir al-Balah, berbagi kekhawatiran serupa. Tinggal bersama tujuh anggota keluarganya di sebuah tenda berukuran hanya 14 meter persegi, Jihan mengenang masa ketika musim dingin membawa kegembiraan.
"Kini, kami berdoa agar musim dingin tidak datang dan hujan tidak turun, karena kami tidak punya sarana untuk melindungi diri agar tidak tenggelam dalam banjir," tutur wanita berusia 45 tahun itu.
Para wanita ini termasuk di antara lebih dari 1,7 juta warga di Gaza yang terpaksa tinggal di tenda-tenda sementara, menurut pihak otoritas pembangunan sosial. Mereka memperingatkan bahwa ribuan anak-anak, warga lansia, dan warga yang sakit berisiko meninggal akibat kedinginan dan kurangnya pemanas selama musim dingin mendatang. "Setiap detik penderitaan rakyat Gaza bertambah dan mengancam nyawa mereka," kata otoritas tersebut.