Selama ini, pengeluaran konsumsi rumah tangga selalu menjadi penyumbang terbesar dalam perekonomian nasional.
Pada triwulan II tahun 2024, misalnya, berdasarkan data BPS, pengeluaran konsumsi rumah tangga ini berkontribusi sebesar 54,53 persen terhadap PDB nasional. Jika dilihat lebih dalam, dari pengeluaran konsumsi rumah tangga tersebut, pengeluaran untuk konsumsi makanan dan minuman selain restoran merupakan yang terbesar yaitu mencapai 22,69 persen.
Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2023 juga menunjukkan bahwa dari rata-rata pengeluaran konsumsi per kapita penduduk Indonesia yang sebesar Rp1.451.870 per bulan, hampir separuhnya atau sekitar 48,99 persen digunakan untuk konsumsi komoditas makanan.
Meski konsumsi makanan mendominasi pengeluaran rumah tangga, ketimpangan dalam pemenuhan gizi, terutama protein, masih menjadi masalah serius. Perbedaan signifikan antara kelompok masyarakat berpenghasilan tinggi dan rendah dalam akses terhadap makanan bergizi belum terselesaikan.
Jika tidak segera diatasi, hal ini dikhawatirkan dapat menimbulkan dampak jangka panjang terhadap kualitas sumber daya manusia pada masa depan. Apalagi, secara nasional saat ini Indonesia dalam fase kritis periode bonus demografi. Di sinilah Asta Cita (Delapan Misi) Presiden dan Wakil Presiden terpilih, utamanya Asta Cita Ke-4, yaitu memperkuat pembangunan sumber daya manusia, salah satunya melalui kebijakan program makan siang bergizi gratis, menjadi relevan dan sangat penting untuk benar-benar direalisasikan setelah dilantik 20 Oktober nanti.
Merujuk pada Peraturan Menteri Kesehatan No. 28 Tahun 2019, angka kecukupan gizi (AKG) harian yang direkomendasikan adalah 2.100 kkal untuk energi dan 57 gram untuk protein per kapita per hari. Sementara itu, data Susenas Maret 2023 menunjukkan bahwa rata-rata konsumsi energi penduduk Indonesia masih berada sedikit di bawah AKG, yaitu 2.087,64 kkal per kapita per hari, atau 99,41 persen dari yang direkomendasikan. Sebaliknya, konsumsi protein sebenarnya sudah melampaui angka yang disarankan, yaitu 62,33 gram per kapita per hari, lebih tinggi dari rekomendasi 57 gram. Sayangnya, capaian ini belum merata.
Ditilik menurut kelompok kesejahteraannya, masih ada kesenjangan dalam konsumsi ini. Kelompok 20 persen terbawah penduduk hanya mampu mengonsumsi 1.663,05 kkal per hari, jauh di bawah kelompok 20 persen teratas yang mencapai 2.504,91 kkal. Dalam hal protein, kelompok terbawah juga hanya mengonsumsi 45,76 gram per hari, sementara kelompok teratas mencapai 81,22 gram, hampir dua kali lipat lebih besar.
Ketimpangan ini juga terlihat dalam jenis komoditas sumber protein yang dikonsumsi. Rata-rata konsumsi protein dari telur dan susu pada kelompok 20 persen terbawah hanya sebesar 1,83 gram, sementara kelompok teratas mencapai 8,59 gram.
Pola yang sama berlaku untuk konsumsi ikan, udang, cumi, kerang, dan daging. Konsumsi protein hewani, yang merupakan sumber protein berkualitas tinggi, jelas lebih terjangkau oleh kelompok masyarakat kaya daripada masyarakat miskin. Hal ini menunjukkan bahwa masalah akses pangan tidak hanya soal ketersediaan, tetapi juga soal daya beli.
Di tengah ketimpangan yang nyata ini, program makan siang bergizi gratis yang diusulkan oleh Prabowo-Gibran menawarkan potensi solusi untuk memperbaiki asupan gizi, terutama bagi anak-anak dari keluarga miskin. Program ini berfokus pada penyediaan makanan yang tidak hanya mengenyangkan, tetapi juga mengandung nutrisi yang cukup, termasuk protein, vitamin, dan mineral.
Dengan target anak-anak sekolah di daerah rentan gizi, program ini diharapkan dapat membantu memperbaiki status gizi generasi muda yang pada gilirannya akan berdampak pada masa depan sumber daya manusia Indonesia.
Jika diimplementasikan dengan baik, program ini juga bisa mengurangi beban pengeluaran pangan bagi keluarga kurang mampu. Hal ini sangat penting mengingat besarnya proporsi pengeluaran keluarga miskin untuk konsumsi makanan. Program makan siang bergizi gratis bisa meringankan beban mereka sehingga sumber daya yang ada dapat dialihkan untuk kebutuhan lain yang mendukung kesejahteraan keluarga, seperti pendidikan dan kesehatan.
Pengawasan ketat
Namun, ada beberapa tantangan yang perlu diatasi. Salah satunya adalah memastikan bahwa makanan yang disediakan benar-benar bergizi dan memenuhi standar AKG. Pemerintah harus memastikan bahwa program ini berjalan dengan pengawasan ketat terhadap kualitas dan keragaman makanan yang disajikan.
Di samping itu, masalah logistik juga menjadi tantangan, terutama di daerah-daerah terpencil dan sulit dijangkau. Kerja sama antara Pemerintah Pusat dan daerah sangat diperlukan untuk menjamin kelancaran distribusi makanan bergizi ini.
Selain berdampak pada perbaikan gizi anak-anak, program ini juga bisa memberikan dampak positif pada sektor ekonomi. Peningkatan permintaan terhadap produk-produk pangan lokal, terutama yang kaya akan protein seperti ikan, telur, dan daging, bisa menjadi stimulus bagi sektor pertanian dan perikanan lokal. Nelayan dan petani akan diuntungkan dengan adanya permintaan yang lebih stabil sehingga membantu mereka untuk meningkatkan produksi dan kualitas produk. Program ini pada akhirnya bisa mendorong pemberdayaan ekonomi lokal dan mengurangi ketergantungan terhadap impor pangan.
Dari perspektif sosial, program ini dapat membantu mengurangi kesenjangan sosial di masyarakat. Dengan memastikan bahwa anak-anak dari keluarga kurang mampu mendapatkan akses terhadap makanan bergizi, kita juga memberi mereka kesempatan yang lebih baik untuk tumbuh sehat dan berprestasi di sekolah.
Seiring waktu, program ini bisa menjadi salah satu upaya untuk memutus rantai kemiskinan yang sering kali berhubungan erat dengan masalah gizi buruk dan keterbatasan akses pendidikan. Jika kesenjangan konsumsi pangan tidak segera diatasi, akan berdampak pada kualitas angkatan kerja pada masa depan, yang pada akhirnya bisa memperparah kemiskinan struktural.
Program makan siang bergizi gratis adalah langkah yang bisa membantu mengatasi masalah ini. Namun, program ini tidak bisa berdiri sendiri. Kebijakan lain yang mendukung akses gizi dan pangan bagi kelompok miskin juga harus diperkuat, seperti subsidi pangan untuk produk-produk yang kaya gizi, peningkatan produksi pangan lokal, serta edukasi gizi yang lebih intensif kepada masyarakat. Dengan pendekatan yang holistik, kita bisa berharap untuk melihat perbaikan yang signifikan dalam status gizi dan kesejahteraan masyarakat Indonesia dalam beberapa tahun ke depan.
Program makan siang bergizi gratis yang diusulkan oleh Prabowo-Gibran adalah langkah tepat untuk mengatasi ketimpangan ini, terutama dalam meningkatkan akses gizi bagi anak-anak dari keluarga kurang mampu.
Namun, meski program ini memiliki potensi besar, keberhasilannya sangat bergantung pada desain dan implementasi yang tepat, termasuk pengawasan kualitas, distribusi, dan pendanaan yang memadai.
Program makan siang bergizi gratis bukan hanya soal menyediakan makanan bagi anak-anak, tetapi juga tentang meletakkan fondasi bagi masa depan Indonesia yang lebih sehat dan lebih sejahtera untuk mencapai Indonesia Emas 2045.
*) Kedua penulis merupakan Statistisi di BPS