Pangkalpinang (ANTARA) - Ketika biaya layanan kesehatan melambung, menjaga kesehatan menjadi sebuah kemewahan yang tak semua orang bisa miliki. Apakah ini cerminan kegagalan sistem, atau harga tak terelakkan dari kemajuan zaman?
Di tengah gemerlap kemajuan teknologi dan meningkatnya standar hidup, menjaga kesehatan seharusnya menjadi lebih mudah. Namun, realita berkata sebaliknya. Dari biaya konsultasi medis hingga harga obat-obatan yang melambung, sehat kini bukan lagi hak semua orang, melainkan sebuah privilese.
Di era modern ini, muncul pertanyaan besar, apakah kesehatan masih bisa diakses oleh semua lapisan masyarakat, atau hanya akan menjadi hak eksklusif bagi mereka yang mampu membayar mahal?
Gambaran umum tentang bagaimana kesehatan seharusnya menjadi hak dasar manusia. Kenyataan saat ini, biaya kesehatan yang mahal, bahkan untuk layanan dasar. Pertanyaannya, mengapa sehat terasa semakin mahal?
Fenomena mahalnya harga sehat ini tentu tidak muncul tanpa sebab. Ada sejumlah faktor yang berperan besar dalam membentuk realitas pahit ini.
Salah satu faktor utama adalah kemajuan teknologi medis, meskipun membawa harapan, juga berdampak pada tingginya biaya layanan kesehatan. Selain itu, komersialisasi layanan kesehatan membuat orientasi profit sering kali mengalahkan prinsip pelayanan sosial.
Tak hanya itu, keterbatasan akses terhadap asuransi kesehatan yang memadai juga memperparah beban masyarakat. Di sisi lain, gaya hidup modern yang cenderung tidak sehat memperbesar risiko penyakit, sehingga kebutuhan biaya kesehatan pun meningkat
Akibat dari semua faktor ini, muncul dampak yang sangat nyata bagi masyarakat, baik dari segi sosial maupun ekonomi.
Meskipun tantangan ini terasa berat, bukan berarti tidak ada jalan keluar. Beberapa langkah strategis dapat diambil untuk membalikkan keadaan.
Pada akhirnya, kesehatan bukanlah sekadar komoditas, melainkan hak fundamental yang harus diperjuangkan bersama.
Mahalnya harga sehat adalah realitas yang harus dihadapi, tetapi bukan untuk diterima begitu saja. Dengan kesadaran kolektif, advokasi, dan reformasi nyata, masa depan layanan kesehatan yang lebih terjangkau dan inklusif bukanlah sekadar mimpi.
"Mencegah lebih baik daripada mengobati", namun untuk itu kita butuh sistem yang tidak hanya fokus pada pengobatan, tetapi juga pada pendidikan kesehatan yang merata.
*) Penulis adalah Mahasiswa Universitas Bangka Belitung (UBB)
