Denpasar (ANTARA) - Obrolan beberapa warga di salah satu warung kopi di Denpasar, Bali, begitu seru mengulas soal kehadiran organisasi kemasyarakatan (ormas) di tanah air.
Beragam pendapat diutarakan para bapak-bapak yang memiliki latar belakang pekerjaan berbeda itu, menambah hangat suasana jelang malam.
Mereka menyoroti tindakan melenceng oknum anggota ormas tertentu, baik dilakukan secara perorangan maupun terafiliasi ormas, seperti melakukan kekerasan dan tindakan kriminal lainnya yang akhir-akhir ini muncul di sejumlah daerah di tanah air.
Di Jakarta dan daerah sekitar yang masuk wilayah hukum Kepolisian Daerah (Polda) Metro Jaya misalnya ditangkap 3.599 orang terkait aksi premanisme dalam Operasi Berantas Jaya pada 9-23 Mei 2025.
Dari jumlah itu, puluhan orang lainnya merupakan anggota ormas.
Sedangkan di Pulau Dewata, Polda Bali melalui Operasi Pekat Agung menangkap 56 orang terkait premanisme selama pelaksanaan operasi pada 5-12 Mei 2025.
Puluhan pelaku melakukan aksi premanisme berupa pemalakan dan parkir liar.
Jumlah yang ditangkap di Bali memang tergolong lebih rendah. Namun jumlah yang lebih kecil itu tidak bisa menjadi tolok ukur absolut bahwa suatu daerah dikatakan bersih dari premanisme.
Bali pasang badan
Pulau Dewata menjadi salah satu daerah yang dituju saat ini oleh sejumlah pihak dari luar wilayah Bali untuk melahirkan ormas baru atau ormas yang membuka cabang di Pulau Dewata.
Menyikapi aksi premanisme yang kerap melibatkan individu atau anggota yang terafiliasi ormas, Pemerintah Provinsi Bali langsung pasang badan.
Gubernur Bali Wayan Koster mencium bau premanisme yang berbalut ormas sehingga ia tidak membiarkan kehadiran preman berkedok organisasi masyarakat di tanah kelahirannya.
"Bentuknya ormas, tetapi kelakuannya preman, ini tidak bisa dibiarkan," kata Koster saat meresmikan Bale Paruman (Balai Pertemuan) Adhyaksa dan Bale Restorative Justice di Kabupaten Badung, Kamis (8/5).
Orang nomor satu di Pemprov Bali itu menilai Pulau Dewata tidak membutuhkan ormas yang memiliki janji manis ikut menjaga keamanan, sosial dan ketertiban, namun realita di sejumlah daerah melakukan aksi premanisme dan intimidasi masyarakat.
Pasalnya, itu berpotensi menimbulkan ketegangan dan masalah baru di Bali yang membutuhkan kenyamanan dan keamanan.
Padahal sebagian besar ekonomi Bali berputar dari usaha pariwisata, di mana keamanan dan kenyamanan memegang peran krusial untuk keberlanjutan sektor tersebut.
Pemprov Bali mencatat saat ini sudah ada 298 ormas resmi terdaftar di Pulau Dewata dengan telah mengantongi surat keterangan terdaftar (SKT).
Ormas itu bergerak di bidang sosial, kemanusiaan, kepemudaan, kebudayaan, lingkungan dan kebangsaan.
Kepala daerah memiliki wewenang untuk menilai dan mengevaluasi ormas sebelum memberikan izin melalui SKT berdasarkan pertimbangan kondisi wilayah.
Pertimbangan itu meliputi visi misi yang sejalan dengan nilai Pancasila, sejalan dengan undang-undang dan norma yang berlaku di daerah salah satunya adat istiadat di Bali.
Sejatinya, kemunculan aksi premanisme berkedok ormas bukan hal baru di tanah air termasuk di Bali.
Periode sekitar tahun 2013-2015, beberapa ormas di Bali juga kerap memunculkan keributan melibatkan oknum sesama anggota ormas yang kemudian melebar menjadi keributan jumlah lebih besar dari ormas yang bertikai.
Dengan taring tajam aparat dan pemerintah, ormas tersebut akhirnya sepakat berdamai dan memastikan ikut menjaga keamanan dan ketertiban di Pulau Dewata.
Bahkan, ormas-ormas tersebut akhirnya eling atau sadar dan menyerahkan ratusan senjata tajam kepada aparat kepolisian sebagai tanda gencatan senjata.
Hingga saat ini, sudah minim riak-riak permasalahan yang muncul melibatkan oknum ormas setelah proses damai tersebut di Bali.
Pecalang Bali
Sekitar 13 ribu perwakilan pecalang dari seluruh desa adat di Bali merapatkan barisan, merespons kemunculan premanisme berbalut ormas di tengah kondusivitas keamanan di Bali.
Mereka mendeklarasikan penolakan premanisme berbaju ormas di Lapangan Renon, Denpasar pada Sabtu (17/5).
Pecalang atau satuan petugas keamanan adat khas Bali merupakan garda terdepan yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat desa.
Petugas adat dengan ciri khas seragam berwarna hitam dan kain hitam putih (poleng) itu merupakan bagian dari kearifan lokal masyarakat di Bali.
Selama ini, pecalang banyak membantu petugas TNI dan Polri serta Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) dari pemerintah daerah menjaga keamanan dan ketertiban.
Bali telah memiliki sistem pengamanan lingkungan terpadu berbasis desa adat atau Sipandu Beradat mencakup di dalamnya pecalang dan Perlindungan Masyarakat (Linmas).
Pemprov Bali mencatat saat ini di Pulau Dewata ada 1.493 desa adat yang masing-masing desa adat itu memiliki pecalang minimal 10 orang bahkan hingga ratusan orang, menyesuaikan jumlah penduduknya.
Mereka tidak dibayar secara resmi karena petugas keamanan adat itu melakukan kerja sukarela.
Pecalang inilah yang berperan menjaga keamanan Bali bersama institusi lembaga negara yakni Polri melalui Bhayangkara Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Bhabinkamtibmas) dan TNI melalui Bintara Pembina Desa (Babinsa).
Tak hanya berpartisipasi menjaga keamanan dan kegiatan adat di desa, Pecalang juga membantu aparat TNI dan Polri di ring tiga saat melakukan pengamanan agenda nasional dan internasional di Bali, serta membantu kelancaran kegiatan keagamaan umat lain.
Antisipasi premanisme
Kepala Polda Bali Inspektur Jenderal Polisi Daniel Adityajaya meminta jajarannya, mulai dari Polres hingga Polsek, agar tidak ragu menindak tegas pelaku yang melakukan aksi premanisme.
Ia menginstruksikan anak buahnya tidak memberi ruang aksi premanisme termasuk yang berkedok ormas.
Senada dengan Kepala Polda Bali, Sosiolog Universitas Udayana (Unud) Denpasar, Bali, Gede Kamajaya mengungkapkan preman makin mendapat ruang ketika sumber daya mereka berupa massa dikonversi menjadi komoditas politik yang dipelihara.
Untuk itu penegakan hukum menjadi kunci agar aksi premanisme bisa ditekan.
Kamajaya juga menilai tepat langkah yang dilakukan aparat kepolisian memberangus aksi premanisme salah satunya melalui operasi khusus.
Namun, upaya hukum itu perlu dilakukan berkelanjutan, tidak sebatas operasi kepolisian dalam kurun waktu tertentu.
Dengan langkah terukur dan antisipatif, penindakan hukum lebih serius akan lebih efektif untuk membuat jera oknum preman sehingga memastikan rasa aman kepada masyarakat dan meminimalkan tindakan pungutan liar dan kekerasan.
Tersedianya lapangan pekerjaan di masyarakat dapat menjadi peran Negara memastikan agar energi oknum atau individu yang melakukan aksi premanisme bisa tersalurkan kepada pekerjaan atau kegiatan yang produktif.
Namun, teori desakan ekonomi tidak serta merta menjadi akar masalah dari premanisme karena nyatanya masih ada warga dengan ekonomi marjinal atau pendapatan rendah namun mereka tidak menjadi preman, justru terus berkarya. Aksi premanisme berkaitan erat dengan mentalitas sumber daya manusia yang perlu dibina.
Setidaknya obrolan ringan warga di sudut warung kopi tersebut secara eksplisit menyiratkan masyarakat di Bali sadar bahwa menjaga keamanan adalah kebutuhan penting guna memastikan pariwisata sebagai penopang utama ekonomi di Pulau Dewata dapat berjalan.
Jika ikut-ikutan membuat aksi premanisme tentunya sanksi sosial atau sanksi adat di Bali menanti dan akan merugikan masyarakat itu sendiri.
Dengan kata lain, masyarakat yang bergerak bersama menolak kehadiran premanisme berbalut ormas, dapat menjadi cara jitu mempersempit ruang gerak aksi para preman tersebut.