Pangkalpinang (ANTARA) - Pengangguran di kalangan anak muda masih menjadi masalah besar di Indonesia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (2025), tingkat pengangguran tertinggi berasal dari kelompok usia 15-24 tahun, yaitu mencapai 16,16%.
Kondisi ini sangat disayangkan, mengingat generasi muda memiliki semangat dan daya kreativitas tinggi yang seharusnya bisa menjadi sumber energi dan ide baru bagi pembangunan ekonomi. Setelah lulus sekolah atau kuliah, banyak anak muda belum siap menghadapi tuntutan dunia kerja. Banyak perusahaan mencari tenaga kerja yang punya keterampilan digital, sementara banyak lulusan belum menguasai bidang tersebut.
Di tengah tantangan ini, ekonomi digital memberikan peluang sangat besar. Menurut Direktur CELIOS, Bhima Yudhistira nilai transaksi ekonomi digital Indonesia pada 2025 diperkirakan mencapai lebih dari Rp2.900 triliun. Angka tersebut menunjukkan potensi yang luar biasa bagi penciptaan lapangan kerja baru.
Masalah ini tidak muncul begitu saja. Ada banyak faktor yang menyebabkan anak muda jadi sulit cari kerja.
Pertama adalah soal pendidikan. Banyak lulusan sekolah dan perguruan tinggi yang ternyata belum siap masuk dunia kerja. Mereka punya ijazah, tapi tidak punya keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan perusahaan. Misalnya, ada yang lulusan jurusan teknik, tapi belum pernah praktik langsung di lapangan. Atau lulusan manajemen, tapi belum tahu cara kerja tim di perusahaan.
Masalah kedua adalah kurangnya pelatihan yang sesuai. Pemerintah memang punya program pelatihan kerja, tapi kadang tidak nyambung dengan kebutuhan industri. Misalnya, ada pelatihan menjahit, padahal industri di daerah tersebut butuh tenaga kerja di bidang teknologi. Selain itu, banyak pelatihan yang hanya sebatas formalitas tanpa bimbingan setelahnya, tanpa akses kerja nyata dan masalah ketiga minimnya kesempatan kerja. Lapangan pekerjaan yang tersedia seringkali tidak sebanding dengan jumlah pencari kerja. Perusahaan lebih suka mencari karyawan yang sudah berpengalaman, sementara anak muda yang baru lulus belum punya pengalaman sama sekali.
Yang lebih miris lagi, banyak anak muda yang sebenarnya punya niat untuk buka usaha sendiri, tapi tidak tahu harus mulai dari mana. Mereka tidak tahu cara bikin rencana usaha, tidak tahu cara mengatur keuangan, dan tidak punya modal. Kalaupun ada akses ke pinjaman, sering kali prosedurnya rumit dan tidak ramah untuk pemula. Akhirnya, banyak anak muda yang menyerah sebelum sempat mencoba.
Selain itu, di era digital seperti sekarang, literasi digital dan keuangan anak muda juga masih rendah. Banyak yang aktif di media sosial, tapi belum tahu cara memanfaatkannya untuk hal yang produktif. Padahal ada banyak peluang kerja dan usaha yang bisa dilakukan dari rumah, asal tahu caranya.
Sayangnya, tidak semua anak muda punya akses atau bimbingan untuk masuk ke dunia itu. Kalau dibiarkan terus, pengangguran anak muda bukan hanya masalah ekonomi, tapi juga masalah sosial.
Anak muda yang terlalu lama menganggur bisa kehilangan semangat, merasa tidak berguna, dan mudah terpengaruh hal-hal negatif. Ini bisa menimbulkan masalah baru, seperti meningkatnya stres, konflik sosial, bahkan kriminalitas. Padahal, kalau diberi kesempatan dan bimbingan yang tepat, anak muda bisa jadi solusi dari banyak masalah. Mereka punya energi, ide-ide segar, dan semangat untuk maju. Yang mereka butuhkan adalah arah, dukungan, dan kepercayaan.
Pelatihan digital seperti Digital talent Scholarship dari kementerian Kominfo seharusnya dimanfaatkan secara lebih luas. Sayangnya, program seperti ini masih belum menjangkau seluruh daerah, terutama pelosok.
Peran sekolah, kampus, pemerintah daerah, dan komunitas digital sangat penting untuk memperluas akses dan informasi. Anak muda bukan beban. Dengan dorongan yang tepat, semangat dan kreativitas bisa menjadi kekuatan utama dalam mendorong pertumbuhan ekonomi.
Seperti yang disampaikan Presiden Joko Widodo dalam pidato kenegaraan 2024, transformasi digital bukan hanya soal teknologi, tetapi tentang pemberdayaan sumber daya manusia. Memberikan pelatihan, akses internet, serta ruang usaha digital bisa menjadi langkah nyata dalam mengurangi pengangguran muda.
Menurut penulis mengenai permasalahan tersebut tidak bisa diselesaikan oleh satu pihak saja. Butuh kerja sama antara pemerintah, dunia pendidikan, dunia usaha, dan masyarakat.
Pertama, dunia pendidikan harus berubah. Sekolah dan kampus harus memberi lebih banyak pengalaman praktik, bukan cuma teori. Program magang dan kerja sama dengan perusahaan perlu diperluas. Siswa dan mahasiswa juga perlu diajari keterampilan hidup seperti komunikasi, kerja tim, berpikir kritis, dan menyelesaikan masalah.
Kedua, pemerintah perlu memperkuat program pelatihan kerja yang tepat sasaran. Pelatihan harus disesuaikan dengan kebutuhan industri lokal dan tren global. Misalnya, keterampilan digital seperti desain grafis, coding, digital marketing, atau keterampilan wirausaha berbasis teknologi.
Ketiga, perlu ada akses modal dan pendampingan untuk anak muda yang ingin jadi wirausaha. Bukan hanya dikasih uang, tapi juga dibimbing supaya usaha mereka bisa bertahan dan berkembang. Program inkubator bisnis dan komunitas wirausaha muda bisa jadi solusi yang efektif.
Keempat, anak muda sendiri juga harus lebih aktif mencari peluang. Jangan hanya menunggu panggilan kerja. Belajar mandiri lewat internet, ikut komunitas, relawan, atau magang bisa membuka banyak pintu. Zaman sekarang, siapa yang cepat belajar dan mau mencoba, dia yang akan menang.
*) Penulis adalah Mahasiswa program studi manajemen, Universitas Bangka Belitung