Jakarta (ANTARA) - "Wag the dog", film produksi 1997 yang dibintangi Dustin Hoffman dan Robert De Niro, bisa melukiskan gambaran di balik perang di negeri asing yang sebenarnya sebenarnya dirancang untuk menaikkan popularitas penguasa sehingga memenangkan Pemilu atau selamat dari tekanan di dalam negeri.
Film ini adalah satire untuk laku presiden Amerika Serikat yang terjerat masalah atau skandal ketika dia sedang berupaya memenangkan lagi pemilu berikutnya.
Sang presiden, tentu saja fiktif, ingin mengalihkan perhatian masyarakat dari skandal itu.
Singkat cerita, dengan bantuan "spin doctor" (ahli pemanipulasi informasi guna mempengaruhi opini publik), dia merekayasa perang di luar negeri dengan tujuan mengalihkan perhatian rakyat dan sekaligus menaikkan citra serta popularitasnya.
Film itu diadaptasi dari novel satir "American Hero" yang pada 2004 diterbitkan lagi dalam judul "Wag the Dog: A Novel".
Novel ini mengisahkan presiden AS yang merekayasa peristiwa besar di luar negeri guna menaikkan popularitas di dalam negeri AS demi memenangkan Pemilu.
Novel ini luas diasosiasikan dengan aksi George H.W. Bush dalam membombardir Irak dengan Operasi Badai Gurun pada 1990-1991 saat membebaskan Kuwait dari pendudukan Irak. Tetapi Bush gagal menaikkan citra dan akibatnya kalah pada Pemilu 1992.
"Wag the dog" yang dalam bahasa Indonesia bisa diartikan sebagai "kibasan ekor anjing", telah lama dianggap sebagai istilah untuk aksi politik yang ditujukan untuk mengalihkan perhatian masyarakat dari masalah atau skandal yang tengah menjerat penguasa, yang biasanya dilakukan melalui cara militer.
Istilah itu mengartikan entitas kecil yang tidak terlalu penting (ekor anjing) tapi bisa mengendalikan entitas lebih besar (anjing secara keseluruhan).
Istilah ini muncul dari pepatah di AS bahwa, "anjing pasti lebih pintar dari ekor, tapi jika ekor lebih pintar, maka anjing bakal mengibaskan ekornya."
Pengaitan istilah ini tak hanya berlaku untuk George H.W. Bush walau mulai populer pada era pemerintahan presiden AS ke-41 ini. George H.W Bush adalah ayahanda George W. Bush, yang 10 tahun kemudian menuntaskan misi sang ayah menggulingkan Saddam Hussein pada 2003.
Sindiran politik kibasan ekor anjing atau "pengalihan isu" juga menimpa Bill Clinton.
Presiden AS ke-42 ini memerintahkan militer merudal Afghanistan, Sudan dan kemudian Yugoslavia dengan alasan moral, padahal memiliki tujuan lain, yakni mengalihkan perhatian masyarakat dari skandal seks dengan stafnya, Monica Lewensky, yang membuatnya nyaris dimakzulkan oleh legislatif AS.
Pengalihan isu yang baru
Donald Trump pun tak lepas dari tudingan pengalihan isu, khususnya pada periode pertamanya menjabat presiden AS. Trump memerintahkan serangan udara ke Suriah pada April 2017, saat ia sedang diselidiki House of Representative (DPR) dalam kaitan campur tangan Rusia pada Pemilu 2016, yang berujung sidang pemakzulan.
Ketika pemakzulan sudah di ambang mata, Trump melancarkan aksi lebih spektakuler dengan memerintahkan pembunuhan otak petualangan militer Iran di Timur Tengah, Jenderal Qasem Soleimani.
Kini, politik "wag the dog" dikait-kaitkan dengan perang Iran-Israel, khususnya dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu.
Seperti Clinton dan Trump, Netanyahu memang tengah menghadapi masalah domestik yang besar nan pelik.
Dia tengah didakwa kasus korupsi, selain dihadapkan pada opini publik yang buruk akibat situasi buruk di Gaza yang membuat dunia menekan Israel dan kegagalan menyelamatkan warga Israel yang disandera Hamas.
Sehari sebelum Israel melancarkan serangan udara ke Iran pada 12 Juni 2025, pemerintahan koalisi pimpinan Netanyahu nyaris bubar jika tidak menang tipis dalam pemungutan suara di Knesset (parlemen) dalam soal wajib militer untuk warga Yahudi Ultra-Ortodoks.
Popularitas Netanyahu di dalam negeri juga merosot karena dakwaan korupsi, krisis ekonomi, dan kegagalan memulangkan warga Israel yang masih disandera Hamas.
Netanyahu perlu pengalihan isu seperti dia memanfaatkan blunder Hamas menyerang Israel pada Oktober 2023, sebagai justifikasi untuk total menghancurkan Gaza dan Hamas, serta juga Hizbullah di Lebanon.
Aksi di Gaza dan Lebanon itu menaikkan lagi citra Partai Likud dan Netanyahu, dan sekaligus mengalihkan perhatian rakyat Israel dari skandal-skandal yang membelit Netanyahu, termasuk usaha mempreteli kewenangan mahkamah agung, yang memicu krisis konstitusional dan protes luas dari masyarakat.
Namun, seiring dengan situasi yang terus memburuk di Gaza sehingga tekanan dunia semakin keras sampai sejumlah negara Barat memutuskan segera mengakui negara Palestina, popularitas Netanyahu meluntur.
Rakyat Israel pun perlahan melihat lagi skandal-skandal yang membelit Netanyahu.
Di sini, dampak elektoral dari petualangan di Gaza dan Lebonan telah habis. Untuk itu, Netanyahu perlu pengalihan isu yang baru.
Gencatan rawan dilanggar
Kemudian, dipilihlah Iran, dengan alasan kepemilikan senjata nuklir, padahal Badan Energi Atom Internasional (IAEA) dan badan intelijen AS sudah menyatakan Iran masih jauh dari kata bisa membuat bom nuklir.
Meminjam analisis wartawan perang Jonathan Fenton-Harvey yang dimuat kantor berita Anadolu pekan ini, perang dengan Iran untuk sementara waktu membuat Netanyahu terhindar dari hukuman di dalam negeri.
Netanyahu juga ngotot menyeret AS ke dalam pusaran konflik dengan Iran, dengan harapan perang meluas dan berkepanjangan.
Dengan cara itu, dia selamat dari tekanan di dalam negeri dan semakin kuat mencengkeram sistem kekuasaan Israel, karena situasi perang membuat rakyat dipersatukan oleh persepsi musuh bersama, yang pada akhirnya menciptakan konsolidasi nasional yang menguntungkan kekuasaan Netanyahu.
Di sini, Netanyahu akan sangat logis jika sekuat tenaga berusaha menolak upaya menghentikan perang dengan Iran karena itu sama artinya dengan membuat perhatian rakyat Israel tercurah lagi ke kasus-kasus yang membelit dia, yang jika membesar bisa fatal akibatnya bagi nasib pemerintahannya.
Sial bagi Netanyahu, Iran bukan Hizbullah dan bukan pula Hamas, yang langsung kehilangan arah ketika Hassan Nasrallah, Ismail Haniyeh dan Yahya Sinwar yang menjadi para pemimpin kedua organisasi ini, dibunuh oleh Israel.
Israel melancarkan taktik serupa kepada Iran, dengan membunuhi petinggi-petinggi militer Iran dan ilmuwan-ilmuwan nuklir negara ini. Tapi Iran terlalu besar untuk hanya mengandalkan segelintir tokoh.
Iran malah mampu menyerang balik Israel pada tingkat yang tidak pernah dilakukan musuh-musuh Israel sejak negara ini berdiri pada 1948.
Bahkan itu terjadi ketika Iran diisolasi ketat oleh sanksi internasional yang mencekik yang dirancang negara-negara Barat, yang hampir semuanya melindungi Israel.
Kini, Netanyahu dipaksa gencatan senjata dengan Iran, oleh presiden yang dua kali naik berkuasa di AS setelah menawarkan janji menjauhkan AS dari perang yang tak perlu di luar negeri.
Banyak kalangan menilai gencatan senjata itu rapuh karena rawan dilanggar oleh para pihak bersengketa, dan Netanyahu berada di peringkat pertama yang rawan melanggarnya, terutama ketika dia terpojok lagi di dalam negeri.