Pangkalpinang (ANTARA) - Perkembangan media sosial dan teknologi digital telah membawa perubahan signifikan dalam pola komunikasi generasi muda. Di berbagai platform seperti Instagram, Twitter, TikTok, hingga permainan daring seperti Mobile Legends, Free Fire, dan PUBG, bahasa gaul telah menjadi bagian dari percakapan sehari-hari. Istilah seperti "anjir," "bacot," hingga "anjay" kini umum digunakan untuk mengekspresikan emosi, baik dalam suasana santai maupun dalam pergaulan antar teman.
Namun, meski sering dianggap sebagai bentuk ekspresi kekinian, penggunaan bahasa-bahasa tersebut menimbulkan kekhawatiran karena mengandung unsur kekerasan verbal dan dinilai tidak sopan dalam konteks komunikasi yang sehat. Fenomena ini memunculkan pertanyaan penting: Apakah bahasa gaul yang marak di media sosial telah menormalkan kekerasan verbal di kalangan generasi muda?
Dalam era postmodern, pluralitas makna dan relativisme nilai menjadi ciri khas yang menonjol (Abdullah, 2004). Bahasa tidak lagi dipandang secara kaku, namun menjadi ruang ekspresi yang bebas, mengikuti tren serta nilai-nilai yang berkembang di masyarakat digital. Kata-kata yang dulunya dianggap kasar, kini justru dianggap wajar, lucu, bahkan akrab, selama relevan dengan konteks percakapan.
Meski demikian, di balik kebebasan ini terdapat berbagai tantangan yang patut menjadi perhatian bersama, terutama terkait dengan krisis etika, krisis empati, dan krisis identitas yang dapat berdampak pada karakter dan interaksi sosial generasi muda.
Krisis empati
Penggunaan kata-kata kasar yang terus-menerus tanpa mempertimbangkan perasaan orang lain dapat menurunkan sensitivitas dan empati sosial. Umpatan seperti "goblok," "tolol," dan sejenisnya yang digunakan dalam percakapan daring, cenderung menormalisasi tindakan menyakiti secara verbal. Akibatnya, bullying di dunia maya semakin dianggap hal yang lumrah dan bahkan menghibur.
Krisis etika
Kebebasan berbahasa tanpa disertai tanggung jawab moral berpotensi mendorong normalisasi kekerasan verbal dalam kehidupan sehari-hari. Jika tidak diimbangi dengan nilai-nilai kesopanan, pola komunikasi ini bisa memperburuk kualitas interaksi sosial, bahkan memicu konflik di tengah keberagaman budaya masyarakat (Zaprulkhan, 2006).
Krisis identitas
Dari sisi perkembangan diri, kebiasaan menggunakan bahasa yang tidak pantas dapat merusak citra pribadi di dunia maya. Jejak digital yang berisi ujaran negatif berpotensi menjadi hambatan di masa depan, terutama saat individu mulai membangun karier profesional atau memperluas jaringan sosialnya.
Fenomena ini menunjukkan adanya pergeseran budaya komunikasi. Bahasa yang sejatinya merupakan alat untuk membangun relasi dan menyampaikan gagasan, kini dikhawatirkan berubah menjadi sarana untuk melampiaskan emosi secara tidak etis. Jika dibiarkan terus berlangsung, hal ini berpotensi melemahkan nilai-nilai luhur dalam berbahasa, seperti sopan santun, empati, dan saling menghargai.
Menurut Ludwig Wittgenstein (1953), bahasa tidak hanya menyampaikan makna, tetapi juga membentuk cara kita melihat dan berinteraksi dengan dunia. Maka dari itu, penggunaan bahasa yang tidak bijak dapat membentuk lingkungan komunikasi yang tidak sehat dan merusak kualitas ruang publik digital.
Sementara itu, Jean-François Lyotard (1984) menegaskan bahwa kebebasan berekspresi adalah ciri utama era postmodern. Namun, kebebasan tersebut perlu diimbangi dengan tanggung jawab moral. Tanpa kesadaran akan batas-batas etika, kebebasan bisa berubah menjadi alat untuk menyakiti pihak lain, secara langsung maupun tidak langsung.
Peran bersama dalam menjaga etika berbahasa
Menyikapi kondisi ini, penting bagi semua pihak—baik individu, keluarga, institusi pendidikan, maupun pemerintah—untuk membangun kesadaran bersama akan pentingnya etika dalam berbahasa, khususnya di ruang digital. Pemerintah dan penyedia platform media sosial juga diharapkan dapat menyediakan fitur edukatif dan pengatur bahasa yang mendorong komunikasi yang lebih santun tanpa membatasi ekspresi kreatif.
Selain itu, generasi muda perlu dibekali dengan literasi digital yang kuat, termasuk kemampuan memilah bahasa yang membangun dan yang merusak. Sekolah dan lingkungan sosial dapat menjadi ruang pembelajaran yang efektif dalam menanamkan nilai-nilai kesopanan dan etika berkomunikasi.
Tak kalah penting, peran tokoh publik dan influencer sebagai panutan di media sosial juga diharapkan dapat memberikan contoh penggunaan bahasa yang santun namun tetap menarik. Dengan demikian, bahasa gaul tidak harus selalu bersifat kasar, namun dapat berkembang menjadi gaya bahasa yang kreatif, sopan, dan membangun karakter positif.
Menjaga etika dalam berbahasa bukanlah upaya untuk membatasi kreativitas, melainkan bentuk tanggung jawab dalam membentuk masyarakat digital yang sehat, terbuka, dan saling menghargai. Sebab pada akhirnya, dunia maya adalah cerminan dari kehidupan nyata. Jika ingin membangun peradaban yang beradab, maka langkah pertama dimulai dari kata-kata yang kita gunakan setiap hari.
*) Penulis adalah Mahasiswa Universitas Bangka Belitung
Fenomena bahasa gaul di media sosial: Antara ekspresi dan krisis etika generasi muda
Oleh Sasmiranda *) Kamis, 26 Juni 2025 18:25 WIB
