Pangkalpinang (ANTARA) - Pariwisata bukan sekadar sektor pelengkap dalam perekonomian, tetapi sebuah peluang strategis yang mampu menjadi fondasi masa depan ekonomi hijau dan inklusif di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel). Di tengah menurunnya ketergantungan masyarakat terhadap sektor tambang timah, yang selama ini menjadi penopang utama perekonomian, pariwisata hadir sebagai alternatif unggulan yang tidak hanya menjanjikan pertumbuhan ekonomi, tetapi juga keberlanjutan lingkungan dan pemberdayaan sosial.
Bangka Belitung memiliki kekayaan alam dan budaya yang luar biasa. Gugusan pulau-pulau kecil nan eksotis, pantai-pantai berpasir putih dengan batuan granit yang unik, serta keberagaman etnis dan tradisi menjadi daya tarik utama yang membedakan Babel dari daerah lain di Indonesia. Beberapa destinasi unggulan seperti Pantai Tanjung Tinggi, Pulau Lengkuas, Danau Kaolin, Pantai Parai Tenggiri, dan Klenteng Dewi Kwan Im telah lama menjadi ikon pariwisata yang mampu menarik wisatawan domestik maupun mancanegara.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) Babel tahun 2024, jumlah kunjungan wisatawan meningkat sebesar 12,5% dibanding tahun sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa geliat sektor pariwisata semakin terasa, dan potensi pertumbuhannya masih terbuka lebar. Apalagi dengan semakin dikenalnya Babel melalui film dan media sosial, daya tarik destinasi Babel terus meluas ke berbagai kalangan, terutama generasi muda yang mencari pengalaman autentik.
Tak hanya destinasi yang sudah terkenal, Babel juga menyimpan banyak permata tersembunyi yang layak dikembangkan. Pantai Penyusuk, Air Terjun Sadap, Bukit Maras, dan Kampung Ahok adalah contoh destinasi alternatif yang menawarkan pengalaman wisata berbasis alam dan budaya lokal. Museum Timah Pangkal Pinang pun memiliki peran penting dalam edukasi sejarah tambang dan identitas masyarakat Bangka Belitung yang erat kaitannya dengan pertambangan.
Dampak ekonomi dari pertumbuhan sektor ini pun sangat signifikan. Pada tahun 2023, sektor akomodasi dan makanan-minuman tumbuh sebesar 9,22%, menunjukkan bahwa pariwisata memberikan efek berantai (multiplier effect) terhadap sektor-sektor lainnya. Laporan Dinas Koperasi dan UKM Babel juga mencatat bahwa sekitar 64% pelaku UMKM di sektor wisata mengalami peningkatan pendapatan, khususnya pada musim liburan, akhir pekan panjang, serta selama penyelenggaraan event budaya seperti Festival Laskar Pelangi, Rebo Kasan, dan Pesona Belitung.
Produk lokal seperti kerupuk kemplang, sirup jeruk kunci, madu pelawan, batik cual, dan kerajinan akar bahar menjadi komoditas unggulan yang banyak diburu wisatawan sebagai oleh-oleh. Hal ini memperkuat pentingnya inovasi dalam produk lokal, pengemasan yang menarik, serta promosi digital yang tepat sasaran. Di era digital saat ini, platform seperti media sosial, marketplace, dan aplikasi pemandu wisata menjadi alat penting dalam memasarkan produk dan destinasi wisata kepada pasar yang lebih luas.
Sebagai bagian dari generasi muda yang lahir dan dibesarkan di tanah Babel, saya percaya bahwa anak muda memiliki peran sentral dalam membentuk masa depan pariwisata daerah. Peran tersebut bisa dimulai dari hal-hal kecil seperti mempromosikan destinasi lokal melalui media sosial, membuat konten kreatif, mengembangkan aplikasi digital pemandu wisata, hingga mendampingi UMKM yang berada di desa-desa wisata.
Contohnya dapat dilihat di Desa Keciput, Teru, Air Mesu, dan Namang. Desa-desa ini mulai menunjukkan geliat sebagai destinasi berbasis masyarakat (community-based tourism), dengan mengandalkan kekuatan lokal, tradisi, dan kearifan budaya yang dimiliki. Perguruan tinggi seperti Universitas Bangka Belitung (UBB), STIE Pertiba, dan Polman Babel juga telah berkontribusi nyata dengan menyelenggarakan pelatihan digital branding, kewirausahaan wisata, dan program Kuliah Kerja Nyata (KKN) tematik pariwisata di wilayah-wilayah potensial tersebut.
Namun demikian, kita juga tidak boleh menutup mata terhadap tantangan yang masih dihadapi. Masalah klasik seperti infrastruktur antar-pulau yang belum merata, akses ke beberapa destinasi yang masih sulit dijangkau, serta terbatasnya transportasi umum menjadi penghambat mobilitas wisatawan. Selain itu, kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) pariwisata masih perlu ditingkatkan, baik dari segi pelayanan, kemampuan berbahasa asing, hingga pemahaman terhadap prinsip ekowisata dan pelestarian lingkungan.
Kesadaran masyarakat terhadap pentingnya menjaga kelestarian alam dan budaya lokal juga perlu diperkuat, terutama di tengah maraknya wisata massal yang berisiko merusak lingkungan dan mereduksi nilai-nilai budaya setempat. Promosi wisata secara digital pun masih dilakukan secara terpisah-pisah dan belum terkoordinasi dengan baik antar instansi dan pelaku industri.
Pemerintah Provinsi Babel telah mulai menanggapi tantangan tersebut dengan sejumlah langkah strategis, seperti pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Pariwisata di Belitung, pembukaan rute penerbangan baru yang menghubungkan Babel dengan kota-kota besar di Indonesia dan luar negeri, serta peningkatan infrastruktur pendukung seperti pelabuhan, jalan akses, dan jaringan internet.
Pariwisata yang inklusif dan berkelanjutan tidak hanya dapat menjadi tumpuan ekonomi masa depan Bangka Belitung, tetapi juga menjadi ruang kreativitas dan inovasi bagi generasi muda. Kolaborasi antara pemerintah, akademisi, pelaku usaha, komunitas, dan masyarakat menjadi kunci utama dalam menjadikan sektor ini sebagai penggerak utama ekonomi hijau di Babel.
Dengan pengelolaan yang tepat, komitmen bersama, serta semangat inovatif dari generasi muda, pariwisata Bangka Belitung tidak hanya akan menjadi kebanggaan lokal, tetapi juga mampu bersaing secara global sebagai contoh sukses pembangunan ekonomi yang adil, berwawasan lingkungan, dan berkelanjutan.
*) Sri Manja Siahaan adalah Mahasiswa Jurusan Manajemen, Universitas Bangka Belitung