Jakarta (ANTARA) - Bukan tidak mungkin Indonesia bisa menjadi percontohan global dalam mitigasi dan penanggulangan bencana kebakaran hutan dan lahan (karhutla) bila berhasil konsisten memadukan pemanfaatan teknologi dan penegakan hukum yang berkeadilan.
Tanda-tanda menuju arah itu mulai terlihat dalam beberapa tahun terakhir. Peningkatan sistem pengawasan berbasis teknologi satelit, analisis titik panas secara real time, hingga pemanfaatan water bombing dan teknologi modifikasi cuaca menunjukkan bahwa pendekatan preventif dan responsif tengah dikembangkan.
Di sisi lain, keberadaan lembaga lintas sektor seperti pembentukan satuan tugas Desk Karhutla menjadi langkah koordinatif penting dalam mempercepat penanganan. Namun, di tengah langkah-langkah teknis yang semakin terstruktur, persoalan penindakan hukum dan kelembagaan juga mesti jadi perhatian utama.
Penindakan terhadap pelaku pembakaran, terutama korporasi, masih menghadapi kendala dalam pembuktian, keterbatasan aparat penegak hukum, dan kompleksitas hukum lingkungan.
Berdasarkan pola serta laporan sumber lapangan hingga Juli 2025, ada lebih dari 20 perusahaan terindikasi sengaja membakar atau lalai sehingga lahan mereka terbakar.
Namun penyegelan baru diumumkan sebagian; dua konsesi terkait kebakaran hutan di area seluas 400 hektare yang dekat perbatasan wilayah Indonesia dan Malaysia. Dua perusahaan pemilik Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) itu adalah PT FWL di Kabupaten Sambas dan PT CMI di Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat.
Adapula penyegelan terhadap 80 hektare areal bekas terbakar yang berada di kawasan hutan produksi Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan PT PML di Sumatera Selatan.
Lalu di Provinsi Riau, ada empat perusahaan pemegang izin konsesi kebun sawit dan PBPH yang disegel; PT Adei Crumb Rubber, PT Multi Gambut Industri, PT Tunggal Mitra Plantation,
PT Sumatera Riang Lestari, dan PT Jatim Jaya Perkasa yang mengoperasikan pabrik kelapa sawit setelah terpantau memiliki satu titik panas dengan tingkat kepercayaan tinggi.
Sementara secara perorangan, hampir mencapai 100 orang yang ditetapkan sebagai tersangka oleh kepolisian daerah yang tersebar di delapan provinsi. Sebanyak 51 orang di antaranya ditetapkan sebagai tersangka dari sebanyak 41 kasus kebakaran hutan dan lahan medio Januari-Juli yang ditangani Direktorat Reserse Kriminal Khusus Kepolisian Daerah Provinsi Riau.
Impunitas
Penyegelan sejatinya belum serta merta menjamin sanksi penegakan hukum tuntas. Sejumlah kasus penyegelan yang dilakukan selama 2015 - 2024 belum menghasilkan putusan final. Sebagian kasus mandek karena lemahnya pembuktian, sementara lainnya selesai dengan vonis denda administratif atau kewajiban pemulihan lingkungan yang implementasinya kerap tak transparan atau minim publikasi.
Praktik-praktik ini dapat menciptakan ruang impunitas yang menggerogoti kepercayaan publik terhadap penegakan hukum. Sementara secara spasial dapat secara jelas menunjukkan bahwa wilayah terdampak kebakaran terus berulang berada di kawasan konsesi atau lahan mineral gambut yang berbatasan dengan kawasan konsesi.
Padahal dasar hukum sudah tersedia secara rigid di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang Kehutanan, Undang-Undang Perkebunan, dan sejumlah peraturan pemerintah serta peraturan menteri telah mengatur tanggung jawab mutlak atau strict liability bagi pemegang izin pemanfaatan lahan.
Kementerian Kehutanan mencatat sepanjang Januari hingga 1 Agustus 2025, sekitar 8.955 hektare lahan terbakar atau berkurang sebesar 33,3 persen dari luas lahan yang terbakar pada periode yang sama tahun sebelumnya yang mencapai 376.805 hektare.
Namun bukan di situ masalahnya. Meski secara luasan menyusut tetapi dari 8.955 hektare lahan yang terbakar itu mayoritas dengan persentase lebih dari 80 persen luasan terbakar masih menyasar kawasan lahan gambut.
Provinsi Kalimantan Barat menjadi wilayah dengan kejadian terbanyak dengan lahan terbakar seluas 1.149 hektare yang diikuti Provinsi Riau dengan kejadian sekitar 751 hektare lahan terbakar, Nusa Tenggara Timur 1.424 hektare, Sumatera Utara seluas 309 hektare, Sumatera Barat seluas 511 hektare, Kalimantan Tengah 146 hektare, Jambi dan Sumatera Selatan seluas 43 hektare.
Lantas mengapa ini penting? Salah satunya adalah ongkos untuk operasi pemadaman udara menjadi beban berat di masa darurat.
Untuk modifikasi cuaca dengan penyemaian garam ke awan potensial, misalnya butuh biaya sekitar Rp30 juta per jam atau Rp200 juta per sortie. Sementara biaya pengerahan pesawat dan logistik untuk pengeboman air di udara (water bombing) yang sangat diandalkan saat api meluas ke kawasan gambut, dapat menghabiskan hingga Rp3,6 miliar per jam.
Dalam sekali operasi gabungan yang berlangsung lebih kurang satu - dua minggu itu, anggaran yang terserap mencapai hampir Rp29 miliar sebagaimana evaluasi lapangan dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).
Kondisi ini menguatkan urgensi pendekatan pencegahan ketimbang reaksi. Apalagi dilaporkan Pusat Penelitian Kehutanan CIFOR dan WRI, sebesar 45 persen kebakaran terjadi di lahan konsesi yang dikuasai korporasi, utamanya perkebunan sawit dan hutan tanaman industri (HTI).
Laporan dari lembaga independen nonpemerintah seperti Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menegaskan bahwa karhutla tahun ini masih lekat dengan pola impunitas yang mengakar. Banyak korporasi pengelola lahan konsesi tetap beroperasi kendati berulang kali menjadi subjek penyelidikan atau sanksi administratif.
Proses hukum yang panjang dan minim eksekusi membuat efek jera belum sepenuhnya terealisasi. WALHI mencatat secara nasional ada sebanyak 969 perusahaan sawit yang beroperasi di kawasan gambut dan hutan yang layak untuk dievaluasi.
Di antaranya ada 11 perusahaan pemegang konsesi HTI dan HGU sawit milik lima perusahaan di Sumatera Selatan yang terdeteksi titik api pada medio Juni 2025 dan ini merupakan peristiwa berulang saat musim kemarau tiba.
Berulang
Lahan gambut, yang menyimpan karbon dan air dalam jumlah besar, sangat rentan ketika dibuatkan kanal-kanal buatan. Saat musim kemarau dan air surut, lapisan gambut yang mengering bisa terbakar dan menjalar ke bawah permukaan, membentuk api yang tak terlihat dan sulit dipadamkan.
Secara ilmiah, lahan gambut menyimpan karbon 510 kali lebih banyak per hektare dibandingkan lahan mineral, yang ketika terbakar, karbon ini terlepas dalam bentuk karbon dioksida (CO2) dan metana (CH4), dua gas rumah kaca utama yang mendorong perubahan iklim.
Mengutip laporan ilmiah Studi Page et al (Nature, 2002) estimasi kebakaran lahan gambut Indonesia pada 19971998 melepas lebih dari 2,5 miliar ton karbon dioksida ke atmosfer, atau hampir 40 persen dari total emisi global tahun itu.
Tragedi serupa terulang pada 2015, saat 2,6 juta hektare terbakar dan menyebabkan kerugian ekonomi nasional lebih dari Rp221 triliun sebagaimana dilaporkan oleh Bank Dunia dari 900 ribu kasus ISPA dan kabut asap lintas negara yang melumpuhkan transportasi udara dan kegiatan belajar-mengajar di sekolah.
Penelitian akademis menyoroti pembakaran lahan gambut sebagai sumber emisi karbon utama. Misalnya, perkiraan emisi karbon di Banjar, Kalimantan Selatan, mencapai lebih dari 2.800 ton karbon dioksida akibat kebakaran lahan gambut seluas 2.810 hektare pada 2015.
Restorasi lahan gambut dapat menurunkan emisi PM2.5 hingga 5477 persen dan mengurangi kerugian ekonomi akibat kebakaran secara signifikan, 8,4 miliar dolar AS, jika restorasi dilakukan.
Lahan gambut yang diubah menjadi perkebunan sawit memberikan keuntungan ekonomi jangka pendek, tapi juga meningkatkan emisi karbon dioksida secara drastis. Konversi gambut ke sawit menghasilkan rata-rata 350487Mg C/hektare selama satu rotasi tanaman 25 tahun. Sektor sawit menyumbang sekitar 38persen dari total emisi nasional dan menyebabkan konflik sosial dan pergeseran hak atas tanah masyarakat adat.
Indonesia bukan satu-satunya negara yang berhadapan dengan bencana serupa. Negara-negara lain juga mencatatkan kejadian luar biasa. Brasil, misalnya, mengalami kebakaran hebat di hutan Amazon akibat ekspansi pertanian, pembalakan liar, dan pelemahan lembaga lingkungan. Emisi karbon tahunan dari deforestasi Brasil diperkirakan mencapai 900 juta ton.
Peristiwa kebakaran di Siberia, Rusia, mencatat kebakaran hutan boreal dan gambut permafrost yang sangat sulit dipadamkan akibat keterbatasan akses. Sementara itu, Australia mengalami kebakaran hutan eukaliptus terluas sepanjang sejarah pada musim panas 20192020, dengan kerugian mencapai Rp1.000 triliun dan dampak ekologis luar biasa.
Kerugian global akibat bencana alam pada paruh pertama tahun 2025 mencapai sekitar 131 miliar dolar AS atau sekitar Rp2.122 triliun, dengan kebakaran hutan di Los Angeles, Amerika Serikat, tercatat sebagai bencana dengan kerugian tertinggi sepanjang sejarah. Angka kerugian tersebut berasal dari analisis perusahaan asuransi multinasional asal Jerman, Munich Re, yang dirilis pada 29 Juli 2025.
Amerika Serikat menjadi negara dengan porsi kerugian terbesar akibat bencana alam pada paruh pertama tahun ini, yang sebagian besar disebabkan oleh kebakaran hutan di dekat Los Angeles pada Januari lalu. Kebakaran hutan di Amerika Serikat ini yang menjadi bencana alam termahal pada paruh pertama 2025, mencatat kerugian total sekitar 53 miliar dolar AS atau setara Rp858,6 triliun.
Bisa jadi contoh
Jika dibandingkan dengan Indonesia, terdapat beberapa kemiripan dalam pola dan dampak kebakaran, seperti keterkaitan dengan perubahan iklim, ekspansi pertanian, dan lemahnya penegakan hukum.
Namun Indonesia memiliki karakteristik unik berupa ekosistem gambut tropis yang sangat rentan dan membutuhkan pendekatan mitigasi berbeda. Australia dan AS, misalnya, lebih fokus pada pemadaman cepat dengan armada besar, sementara Brasil menghadapi dilema antara pembangunan ekonomi dan konservasi.
Dengan luas lahan gambut tropis mencapai 13,4 juta hektare, Indonesia berada di pusat risiko sekaligus peluang mitigasi. Negara ini termasuk lima besar pengemisi karbon dari sektor kehutanan, namun juga memiliki struktur kelembagaan untuk perubahan serta komitmen internasional seperti Nationally Detemined Contributions (NDC) dan kerja sama dengan Norwegia serta Jerman, memperkuat fondasi reformasi.
Maka dari itu keputusan pemerintah membentuk Desk Karhutla patut dinilai sebagai titik terang yang layak diapresiasi. Deks Karhutla berlaku berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 3/2020 dan Keputusan Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan Nomor 29/2025.
Kementerian Koordinator Bidang Politik dan Keamanan, Kementerian Lingkungam Hidup, Kementerian Kehutanan, Badan Nasional Pemanggulangan Bencana, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika sebagai pelaksana teknis utamanya.
Satuan kerja ini memadukan kekuatan berbagai kementerian dan lembaga dalam satu komando dari Presiden Prabowo Subianto, untuk memitigasi dan menyelesaikan karhurla secara tuntas. Hanya saja efektivitasnya masih membutuhkan pembagian otoritas jelas dan dukungan anggaran memadai mulai dari tapak soal mitigasi, penindakan hukum hingga pemulihan.
Penegakan hukum terhadap korporasi terkait pembakar lahan yang masih lemah harus pula menjadi hal yang dipandang krusial. Jangan sampai masyarakat kecil dijadikan kambing hitam, sementara perusahaan besar kerap lolos dari jerat hukum. Impunitas ini berpotensi memperpanjang siklus karhutla dan mengikis kepercayaan publik.
Pendekatan kolaboratif antara pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha juga pemerintah daerah tingkat provinsi, kabupaten dan kota menjadi formula yang efektif bila dijalankan dengan komitmen jangka panjang, termasuk keterbukaan informasi.
Pernyataan Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni menegaskan bahwa pemerintah tahun ini akan mengekspose secara terbuka daftar - proses hukum terhadap korporasi dan pelaku yang diduga terlibat dalam pembakaran lahan secara nasional dari setiap provinsi.
Hal ini dilakukan sebagai komitmen transparansi dan edukasi publik pemerintah melalui Desk Karhutla yang kini menjadi kanal koordinasi lintas kementerian lembaga dalam penanggulangan bencana tahunan tersebut. Bahkan termasuk juga bertanggung jawab untuk upaya restorasi lahan yang terbakar setelah Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) dibubarkan.
Jika Indonesia mampu menjaga konsistensi antara pemanfaatan teknologi pencegahan kebakaran, optimalisasi patroli darat dan udara, serta penegakan hukum berkeadilan hingga restorasi, maka potensi dunia melihat Indonesia sebagai percontohan global akan semakin nyata.
Manfaatnya pun bukan semata pengurangan emisi atau penyelamatan ekosistem, melainkan juga penguatan citra diplomatik Indonesia sebagai negara tropis yang tangguh dalam tata kelola lingkungan sehingga tidak mudah bagi negara-negara maju seperti di benua eropa untuk mendikte konsistensi Indonesia.
Bersamaan dengan itu, peluang ekonomi dari sektor kehutanan dan agroindustri juga dapat meningkat bila reputasi tata kelola lingkungannya membaik. Dalam skala regional, Indonesia dapat menjadi rujukan dalam mekanisme pencegahan bencana ekologis di kawasan Asia Pasifik, negara Selatan-Selatan yang rawan dampak iklim ekstrem.
Kuncinya adalah konsistensi apabila Indonesia mampu menegakkan hukum secara setara terhadap korporasi dan perorangan, sembari memperkuat teknologi deteksi dini serta restorasi ekosistem.
Sudah tentu pula upaya berkelanjutan ini membutuhkan pengawalan publik dan transparansi sehingga menjadi cerminan bahwa menjaga hutan bukan sekadar agenda konservasi, tetapi strategi nasional yang strategis dan visioner.
