Bondowoso (ANTARA) - Gerakan bertanda pagar atau tagar Boikot Trans7 yang menggema di mana-mana telah menunjukkan hasil berupa pengakuan salah dari pemimpin stasiun televisi swasta yang menyiarkan tayangan mengenai tradisi di lingkungan pondok pesantren dengan nada negatif itu.
Permintaan maaf pemimpin Trans7 lewat berbagai kanal telah disampaikan, yang dilanjutkan dengan mendatangi kediaman ulama sepuh KH Anwar Manshur di Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur. Suasana Pondok Pesantren Lirboyo dan KH Anwar Manshur menjadi objek dalam siaran di televisi itu.
Menyikapi siaran yang dinilai menyakiti kaum santri, pesantren, dan kiai itu, sebagaimana disampaikan oleh mantan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siradj yang juga anggota Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), para santri dan insan pesantren diminta tetap tenang dan waspada agar tidak terprovokasi.
Peringatan dari kiai Said Aqil Siradj yang juga Ketua Lembaga Persahabatan Ormas Islam (LPOI) ini patut mendapat perhatian agar masalah ini tidak meluas dan menimbulkan masalah baru yang pada akhirnya kaum santri dan pesantren, lebih-lebih harkat dan martabat kiai juga dipertaruhkan.
Mengindahkan peringatan ulama agar para santri tetap tenang, merupakan ikhtiar untuk menjaga seluruh insan pesantren dan bangsa Indonesia tidak terjebak dalam tindakan yang bisa dimanfaatkan oleh kelompok tertentu yang memang menghendaki keadaan rusuh.
Kemungkinan adanya penumpang gelap dalam masalah terkait dunia pesantren untuk menggangu suasana damai bangsa ini, memang ada, setidaknya karena dua alasan.
Pertama, jumlah santri di Indonesia yang mencapai jutaan, baik yang masih berada di dalam lingkungan pondok pesantren maupun yang sudah lulus. Jumlah ini lebih besar lagi jika ditambah dengan keluarga para santri.
Dengan jumlah populasi yang banyak ini, para santri akan sangat mudah dimobilisasi untuk bergerak, apalagi dengan landasan membela harga diri pesantren dan ulama.
Kedua, kita ketahui bersama bahwa kaum santri ini mewarisi sikap militan dalam urusan membela agama, pesantren, dan muruah ulama. Apalagi, kasus ini telah melukai hati banyak orang dari kaum santri dan keluarga. Secara psikis, pergerakan jumlah orang yang banyak itu akan sulit untuk dikelola agar tetap damai dan terorganisir, sehingga kemungkinan mudah dimanfaatkan oleh kelompok tertentu yang ingin memanfaatkan kemarahan kaum santri.
Menyikapi kasus terkait pesantren ini, ada baiknya mengingat pernyataan Ali Imron, mantan teroris yang terlibat dalam Bom Bali, yang kini sudah insaf dan menjadi bagian dari upaya negara untuk program deradikalisasi.
Ali Imron yang mendapat vonis penjara seumur hidup itu mengingatkan bahwa jika masyarakat normal menginginkan keadaan negeri ini tetap aman, maka kaum teroris, justru sebaliknya. Kaum teroris selalu menginginkan keadaan kacau. Dengan keadaan kacau itu, mereka dapat menyelinap untuk melakukan aksinya. Insan pesantren perlu mewaspadai peringatan ini.
Mungkin dianggap terlalu jauh mengaitkan kemarahan kaum pesantren, saat ini, dengan pola gerakan para teroris. Justru di sinilah kaitannya.
Kita tahu bahwa kelompok teroris ini berseberangan paham dengan kaum pesantren yang selama ini berpegang teguh pada sikap berislam yang washathiyah atau jalan tengah alias moderat. Kaum santri berpegang pada pemahaman Islam damai berdasarkan nilai dasar dari agama ini, yaitu rahmatan lil'alamin atau menjadi rahmat bagi seluruh alam.
Bagi kelompok teroris, kaum pesantren dianggap sebagai penghalang upaya meluaskan keyakinan dan aksi-aksi mereka, apalagi ketika kaum santri menunjukkan keberpihakan untuk melindungi golongan minoritas di negeri ini.
Karena itu, pilihan satu-satunya bagi kaum santri saat ini adalah bersikap tenang dan patuh pada arahan para kiai sepuh yang merupakan jantung pesantren dan dalam menyikapi kasus ini lebih memilih sikap bijaksana.
Kembali ke arahan dari Kiai Said Aqil Siradj, para santri dan semua simpatisan pesantren diminta berdoa semoga Allah menolong umat Islam dan pesantren. Semoga Allah menyadarkan dan menghentikan mereka yang tidak suka dengan pesantren.
Gerakan moral yang selama ini sering dilakukan oleh kaum santri dan pesantren, seperti doa bersama, barangkali menjadi pilihan terbaik, seraya mendoakan bangsa ini selalu dalam keadaan damai.
Pilihan bersikap bijaksana dari insan pesantren ini bukan sekadar dalam rangka mewaspadai penumpang gelap yang suka memancing di air keruh, melainkan juga terkait momentum yang sebentar lagi akan dihadapi kalangan yang dulu identik dengan kaum sarungan ini, yakni Hari Santri, 22 Oktober.
Pernyataan tokoh pesantren dan ulama yang disegani di negeri ini, yakni KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur barangkali bisa menjadi penenang, yakni ketika tokoh dari pesantren ini menyatakan bahwa Tuhan tidak perlu dibela. Kemahabesaran Allah tidak akan pernah berkurang ketika ada yang menghina.
Demikian juga menghadapi kasus yang dinilai menghina pesantren dan kiai ini. Sesungguhnya kehormatan pesantren dan kiai tidak akan pernah berkurang.
Dengan peran besarnya dalam menyokong perjalanan bangsa ini dari zaman pra-kemerdekaan dan hingga kini masih terus dirasakan oleh masyarakat, terutama dalam menjaga moral, pesantren dan kiai tidak dapat direndahkan oleh kasus siaran televisi ini.
Jasa besar pesantren dan kiai telah berurat akar dalam memori kolektif masyarakat, bahkan termasuk ke hati mereka yang bukan beragama Islam. Mari kita jaga Indonesia tetap aman dan damai. Selamat menyambut Hari Santri dan mempercayakan kasus siaran televisi ini kepada para ulama dan aparat negara.
