Pangkalpinang (ANTARA) - Dalam perkara perdata, pada umumnya hanya ada dua pihak yang berperkara, yaitu penggugat sebagai pihak yang merasa haknya dilanggar dan tergugat sebagai pihak yang diduga melakukan pelanggaran tersebut. Namun, praktik di lapangan menunjukkan bahwa tidak jarang muncul pihak ketiga yang memiliki kepentingan langsung terhadap objek sengketa. Dalam konteks inilah konsep intervensi dalam hukum acara perdata memegang peranan penting.
Intervensi merupakan bentuk keikutsertaan pihak ketiga dalam suatu perkara perdata yang sedang berlangsung, baik karena inisiatif sendiri maupun karena ditarik oleh salah satu pihak.
Kehadiran pihak ketiga ini bertujuan melindungi kepentingan hukum yang dapat terdampak oleh hasil putusan pengadilan. Dasar hukumnya diatur dalam Pasal 279 hingga 283 Reglement Rechtvordering (Rv), sebab Herziene Indonesisch Reglement (HIR) dan Rechtsreglement voor de Buitengewesten (RBg) tidak mengatur secara khusus mengenai intervensi.
Tiga bentuk Intervensi
Dalam praktik peradilan, intervensi dapat muncul dalam tiga bentuk utama, yakni voeging, tussenkomst, dan vrijwaring.
Pertama, voeging, yaitu ketika pihak ketiga bergabung dalam perkara untuk mendukung salah satu pihak yang berperkara karena memiliki kepentingan yang sama. Untuk dapat diterima sebagai pihak melalui voeging, pemohon harus memiliki kepentingan hukum langsung, bertindak secara sukarela, serta menunjukkan adanya keterkaitan dengan pokok perkara. Setelah permohonan diajukan, hakim akan memberi kesempatan bagi para pihak untuk menanggapi sebelum menjatuhkan putusan sela. Jika dikabulkan, hakim menetapkan kedudukan pihak ketiga secara resmi dalam perkara tersebut.
Kedua, tussenkomst terjadi ketika pihak ketiga masuk untuk memperjuangkan kepentingannya sendiri yang berpotensi dirugikan oleh putusan antara penggugat dan tergugat. Dalam hal ini, pihak ketiga tidak berpihak kepada salah satu, melainkan mempertahankan haknya agar tidak tergerus akibat hasil perkara. Bila diterima, pengadilan akan memeriksa dua gugatan bersamaan: gugatan pokok dan gugatan intervensi.
Ketiga, vrijwaring adalah bentuk intervensi ketika salah satu pihak, biasanya tergugat, menarik pihak ketiga ke dalam perkara karena adanya kemungkinan tuntutan hukum terhadapnya di kemudian hari. Tujuan utama vrijwaring adalah melindungi pihak yang menarik dari risiko akibat putusan pokok. Permohonan ini diperiksa melalui putusan sela, dan apabila dikabulkan, pemeriksaan pokok perkara akan dilanjutkan dengan menggabungkan pihak ketiga tersebut ke dalam proses.
Ketiga bentuk intervensi ini memperlihatkan upaya hukum acara perdata dalam memberikan perlindungan hukum yang menyeluruh. Intervensi memastikan bahwa setiap pihak yang memiliki kepentingan langsung terhadap objek sengketa dapat menyuarakan haknya di hadapan hukum. Dengan demikian, putusan yang dijatuhkan hakim dapat mencerminkan keadilan substantif, bukan hanya keadilan formal antara penggugat dan tergugat.
Meski demikian, intervensi juga membawa konsekuensi praktis yang tidak ringan. Proses peradilan menjadi lebih panjang karena hakim harus terlebih dahulu memeriksa kelayakan permohonan intervensi sebelum melanjutkan ke pokok perkara. Setelah dikabulkan, pemeriksaan tambahan terhadap pihak baru pun diperlukan. Hal ini sering kali menambah kompleksitas dan durasi persidangan, sehingga efisiensi peradilan bisa terganggu.
Namun demikian, mekanisme intervensi justru dapat mencegah munculnya sengketa baru di masa depan. Dengan melibatkan seluruh pihak yang berkepentingan dalam satu proses peradilan, hasil putusan menjadi lebih komprehensif dan final. Prinsip ini sejalan dengan amanat Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman tentang peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.
Kebutuhan regulasi yang lebih tegas
Sayangnya, hingga saat ini belum ada pengaturan yang detail dan terstandar mengenai tata cara pelaksanaan intervensi di pengadilan. Ketentuan dalam Rv bersifat umum, sedangkan HIR dan RBg tidak memuat aturan spesifik. Akibatnya, banyak hakim dan praktisi hukum mengandalkan kebiasaan atau interpretasi masing-masing pengadilan. Kondisi ini menimbulkan potensi ketidakpastian hukum dan disparitas penerapan antar daerah.
Karena itu, sudah saatnya pemerintah bersama Mahkamah Agung memperkuat regulasi mengenai intervensi dalam perkara perdata. Diperlukan peraturan pelaksana yang lebih rinci agar hakim, advokat, dan para pihak memiliki pedoman yang jelas dan seragam dalam menjalankan proses intervensi. Pengaturan yang baik akan menciptakan keseimbangan antara keadilan dan efisiensi, serta memperkuat kepastian hukum di lingkungan peradilan.
Meneguhkan prinsip keadilan yang inklusif
Intervensi bukan sekadar prosedur tambahan, melainkan mekanisme penting untuk memastikan keadilan yang inklusif dan menyeluruh. Dalam sistem hukum yang demokratis, setiap kepentingan hukum yang sah berhak mendapatkan perlindungan dan kesempatan untuk didengar. Melalui pengaturan intervensi yang kuat dan jelas, peradilan perdata di Indonesia dapat semakin efektif dalam menjamin bahwa keadilan tidak hanya dirasakan oleh dua pihak yang berperkara, tetapi juga oleh seluruh pihak yang terdampak secara langsung.
Dengan demikian, memperkuat intervensi berarti memperkuat fondasi keadilan itu sendiri. Sebab, keadilan sejati bukan hanya tentang siapa yang menang atau kalah di pengadilan, tetapi tentang sejauh mana setiap kepentingan hukum memperoleh tempat yang layak di hadapan hukum.
*) Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung
