Pangkalpinang (ANTARA) - Di tengah dinamika sengketa perdata modern di Indonesia, terdapat ironi hukum yang terus berulang yaitu adanya kesenjangan nyata antara kebutuhan masyarakat dan mekanisme hukum acara yang tersedia.
Dalam sistem peradilan perdata Indonesia, baik yang bersumber dari Hukum Acara Perdata Indonesia (HIR) maupun Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering (RBg) tidak ada satu pun pasal yang secara eksplisit mengatur mekanisme intervensi pihak ketiga, seperti voeging, tussenkomst, atau vrijwaring. Justru seluruh konsep tersebut diambil dari Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering (Rv), aturan kolonial tahun 1848 yang secara formal tidak lagi berlaku sebagai lex generalis.
Ketiadaan norma formal ini menimbulkan ketidakjelasan posisi pihak ketiga dalam sengketa, sekaligus mengikis kepastian hukum. Problemnya bukan sekadar kekosongan teknis dalam hukum acara, tetapi menyangkut fondasi keadilan itu sendiri.
Dalam praktik, dasar hukum yang diandalkan hanyalah aturan kolonial dan potongan yurisprudensi, seperti Putusan MA No. 1099 K/Sip/1973 dan Putusan MA No. 2959 K/Pdt/1984, yang sifatnya tidak mengikat seluruh hakim. Akibatnya, konsistensi putusan menjadi rapuh, dan ketika konsistensi runtuh, maka keadilan pun ikut terancam.
Praktik peradilan menunjukkan betapa ketergantungan pada interpretasi hakim tanpa standar baku menimbulkan ketidakpastian. Dalam sengketa sertifikat ganda di Semarang (2012), majelis hakim mengizinkan intervensi karena pihak ketiga dinilai memiliki kepentingan langsung terhadap objek sengketa.
Namun di Jambi (2015), dalam perkara lahan adat komunitas Suku Anak Dalam, permohonan intervensi justru ditolak, meski faktanya mereka adalah pihak yang paling terdampak oleh putusan. Perbedaan ini mencerminkan satu realitas yaitu tanpa pedoman yang seragam, satu pengadilan dapat “membuka pintu”, sementara pengadilan lain “menguncinya”.
Konsekuensinya, di berbagai perkara pertanahan maupun korporasi, pihak ketiga acap kali baru dapat bereaksi setelah kerugian substantif terjadi. Hukum acara yang seharusnya melindungi semua pihak justru membiarkan ketidakadilan berlangsung lebih dulu, baru kemudian memberi ruang koreksi.
Kondisi ini menunjukkan kelemahan struktural negara dalam menyediakan hukum acara perdata yang modern dan responsif. Tanpa aturan intervensi yang jelas, hakim dan panitera tidak memiliki pedoman mengenai batas waktu pengajuan permohonan, cara menilai “kepentingan langsung”, kedudukan pihak intervensi dalam pembuktian, hingga sejauh mana mereka boleh mengajukan alat bukti baru.
Ketiadaan standar baku tersebut menyebabkan ketidakteraturan waktu persidangan, ketidakkonsistenan putusan, dan yang paling fatal, ancaman nyata terhadap perlindungan hak substantif pihak ketiga.
Karena itu, pembaruan aturan mengenai intervensi bukan lagi sekadar wacana akademik, melainkan kebutuhan sistemik. Pembaruan HIR dan RBg tentu menjadi solusi ideal, namun membutuhkan proses legislasi yang panjang.
Langkah minimal yang bisa segera ditempuh adalah Mahkamah Agung menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) khusus tentang intervensi. PERMA tersebut harus memuat definisi, batas waktu permohonan, standar penilaian kepentingan langsung, hingga tata cara yang seragam di seluruh Indonesia.
Peradilan yang adil tidak boleh hanya melindungi para pihak utama dalam sengketa, tetapi juga mereka yang kepentingannya terseret langsung oleh putusan. Kekosongan aturan intervensi dalam hukum acara perdata menunjukkan bahwa sistem hukum kita masih tertinggal dibanding kebutuhan masyarakat hari ini.
Jika Indonesia sungguh ingin membangun sistem peradilan yang efektif, modern, dan berkeadilan substantif, maka penyusunan regulasi intervensi bukan sekadar pilihan melainkan kewajiban mendesak yang harus segera diwujudkan.
*) Penulis adalah Mahasiswa Universitas Bangka Belitung
