Pangkalpinang (ANTARA) - Setiap tanggal 10 November, bangsa Indonesia memperingati Hari Pahlawan, sebuah momentum bersejarah yang merefleksikan keberanian dan pengorbanan luar biasa arek-arek Surabaya dalam pertempuran melawan Sekutu, tak lama setelah bangsa ini memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Pertempuran itu menjadi simbol keteguhan hati bangsa Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan dengan semboyan yang menggema hingga kini, “Merdeka atau Mati!”
Namun, makna Hari Pahlawan seharusnya tidak berhenti pada romantisme sejarah atau sekadar seremoni tahunan. Peringatan ini semestinya menjadi ruang refleksi bagi kita semua untuk menafsirkan kembali arti kepahlawanan dalam konteks kekinian, terutama dalam pembangunan desa sebagai basis kekuatan bangsa.
Pahlawan bukan hanya mereka yang mengangkat senjata, tetapi juga mereka yang menyalakan harapan dan berjuang mewujudkannya. Dalam konteks pembangunan desa, pahlawan masa kini adalah mereka yang berjuang mengangkat martabat desa melalui kemandirian, inovasi, dan pengabdian tulus kepada masyarakat.
Petani yang beradaptasi dengan teknologi demi ketahanan pangan, kepala desa yang memimpin dengan integritas, guru yang mengabdi di pelosok negeri untuk mencerdaskan anak bangsa, pendamping desa yang bekerja dengan dedikasi tinggi, serta pemuda desa yang menggagas wirausaha desa, mereka adalah wajah kepahlawanan masa kini.
Desa arena lahirnya pahlawan kekinian
Desa bukan semata entitas administratif, melainkan ruang kehidupan tempat nilai-nilai kebangsaan tumbuh dan berakar. Sebanyak 75.266 desa yang tersebar di 91 persen wilayah Indonesia adalah fondasi masa depan bangsa. Pembangunan desa yang kuat berarti kita menegakkan dasar negara yang kokoh.
Jika dulu medan perjuangan para pahlawan adalah medan fisik, maka kini medan juang kita adalah melawan kemiskinan, ketimpangan, dan ketergantungan. Perjuangan masa kini adalah melawan kemalasan berpikir, degradasi moral, dan ketidakberdayaan sosial. Dalam konteks ini, pembangunan desa merupakan kelanjutan konkret dari perjuangan para pahlawan: dari mempertahankan kemerdekaan menuju mengisi kemerdekaan dengan kesejahteraan.
Satu dekade sejak lahirnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, negara telah menegaskan desa sebagai subjek pembangunan. Kemandirian desa bukan sekadar status administratif, melainkan kemampuan masyarakat desa untuk menentukan arah hidupnya sendiri, baik secara politik, ekonomi, maupun sosial budaya.
Untuk mencapainya, diperlukan jiwa kepahlawanan: semangat gotong royong, keberanian mengambil inisiatif, dan pengorbanan tanpa pamrih. Tanpa semangat ini, pembangunan desa hanya akan menjadi proyek administratif tanpa ruh perjuangan.
Kepahlawanan dan jiwa pamong dalam pembangunan desa
Peringatan Hari Pahlawan harus menjadi pengingat bahwa pembangunan desa bukan hanya membangun infrastruktur, tetapi juga menegakkan martabat dan kemandirian masyarakat. Pahlawan sejati adalah mereka yang berjiwa pamong mampu melayani, menuntun, dan memberdayakan.
Pemimpin desa yang berjiwa pahlawan adalah mereka yang berani mengambil keputusan untuk kepentingan rakyat, meski tidak selalu populer. Mereka menjaga integritas dalam mengelola dana desa agar akuntabel, tidak hanya secara administratif, tetapi juga sosial. Mereka tekun membangun kesadaran kolektif bahwa pembangunan desa adalah tanggung jawab bersama.
Kepahlawanan dalam konteks pembangunan desa berarti transformasi nilai dari “penguasa” menjadi “pelayan”, dari bekerja untuk diri sendiri menjadi berjuang untuk bersama.
Di era digital dan disrupsi teknologi, serta di tengah perubahan iklim yang semakin nyata, desa menghadapi tantangan sekaligus peluang baru. Kini, anak-anak muda desa dapat memasarkan produk lokal secara global melalui e-commerce; petani bisa mengakses informasi harga dan cuaca melalui ponsel; masyarakat desa dapat mengelola potensi wisata lewat platform digital.
Setiap inovasi yang menumbuhkan kemandirian dan memperkuat ekonomi lokal merupakan bentuk nyata kepahlawanan masa kini. Pahlawan digital desa adalah mereka yang mampu menjembatani tradisi dengan teknologi, menjaga nilai-nilai lokal di tengah arus modernitas.
Pahlawan-pahlawan baru inilah yang diharapkan muncul di desa, memberi energi regeneratif dan menuntun desa menuju kemandirian serta kemajuan berkelanjutan.
Gotong royong sebagai roh kepahlawanan
Perjuangan para pahlawan kemerdekaan digerakkan oleh semangat gotong royong dan rasa senasib sepenanggungan. Semangat yang sama harus menjadi roh pembangunan desa. Gotong royong adalah warisan luhur bangsa dan bentuk paling otentik dari kepahlawanan.
Gotong royong menjadi perlawanan terhadap individualisme dan ego sektoral dalam pembangunan desa. Ia harus hadir dalam setiap kebijakan dan pelaksanaannya melibatkan pemerintah desa, masyarakat, dunia usaha, akademisi, hingga lembaga sosial lainnya.
Setiap keberhasilan pembangunan baik berupa infrastruktur, usaha ekonomi masyarakat, maupun inovasi pertanian adalah hasil kerja kolektif. Bukan karya individu atau satu figur semata. Melalui gotong royong, desa bukan hanya membangun secara fisik, tetapi juga memperkuat rasa saling percaya, solidaritas, dan harga diri komunitas.
Pahlawan dalam senyap
Hari Pahlawan mengingatkan bahwa pengabdian tidak diukur dari pangkat, jabatan, atau gelar. Pahlawan sejati lahir dari rekam jejak pengabdian dan perjuangan nyata.
Di setiap desa, banyak pahlawan tanpa atribut simbolik: pendamping desa yang setia mendampingi masyarakat, perempuan yang menjadi kader posyandu demi kesehatan warga, pemuda yang menjadi relawan pendidikan di pelosok, tokoh adat yang menjaga harmoni sosial dan kearifan lokal, hingga kepala desa yang teguh menjaga integritasnya.
Mereka adalah pahlawan dalam senyap, bekerja tanpa sorotan kamera, tapi menyalakan api perubahan dalam keseharian. Kepahlawanan bukanlah peristiwa monumental, melainkan tindakan nyata yang dilakukan terus-menerus.
Menyalakan semangat heroisme di desa
Peringatan Hari Pahlawan adalah momentum untuk memindahkan semangat heroisme masa lalu ke dalam aksi nyata masa kini. Jika dahulu pahlawan berjuang mengusir penjajah, kini perjuangan kita adalah melawan kebodohan, ketimpangan, dan ketidakadilan sosial.
Dalam konteks pembangunan desa, semangat ini diwujudkan dengan membangun kemandirian ekonomi agar desa tidak tergantung pada bantuan luar, mendorong inovasi sosial agar masyarakat menjadi subjek pembangunan, serta menumbuhkan kepemimpinan regeneratif yang berjiwa pelayanan.
Semangat Hari Pahlawan harus menghidupkan kembali kesadaran bahwa desa bukan objek, melainkan subjek pembangunan bangsa.
Bung Karno pernah mengatakan bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati jasa pahlawannya. Penghormatan itu tidak cukup diwujudkan dalam upacara atau tugu peringatan, melainkan melalui tindakan nyata meneruskan perjuangan mereka.
Menjadi pahlawan hari ini tidak harus dengan mengangkat senjata. Kepahlawanan dapat diwujudkan dengan kepedulian, tanggung jawab sosial, dan kerja nyata untuk kemajuan desa.
Dalam pembangunan desa, setiap tindakan yang meningkatkan kesejahteraan masyarakat adalah bentuk kepahlawanan. Maka, mari bertanya pada diri kita masing-masing: sudahkah kita menjadi bagian dari Pahlawan Pembangunan Desa?
*) Sugito adalah Staf Ahli Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal Bidang Hubungan Antar Lembaga.
