Jakarta (ANTARA) - Pernahkah Anda berhadapan dengan seseorang yang selalu merasa menjadi pihak yang paling tersakiti dalam setiap konflik, padahal faktanya tidak seperti itu?
Dalam dunia psikologi, perilaku ini dikenal dengan istilah playing victim. Hal ini bukan hanya upaya mencari simpati, namun sebuah pertahanan diri dimana seseorang memposisikan dirinya sebagai korban untuk menghindari tanggung jawab.
Apa itu playing victim?
Melansir laman Alodokter dan Halodoc, playing victim merupakan perilaku seseorang yang terus-menerus memposisikan dirinya sebagai korban dan suka menyalahkan orang lain atas segala kesulitan hidupnya, walaupun bukti menunjukkan sebaliknya.
Meskipun bukan kondisi gangguan jiwa, perilaku ini bisa berdampak buruk pada hubungan sosial dan kesehatan mental seseorang jika terus dilakukan.
Karena playing victim dapat menjadi indikator adanya gangguan kesehatan mental tertentu, seperti gangguan kepribadian narsistik, borderline personality disorder (BPD), hingga PTSD.
Jika tidak segera ditangani, perilaku ini berisiko memicu dampak yang lebih berat, mulai dari rasa frustrasi dan keputusasaan, hingga stres kronis dan depresi.
Perlu diketahui, kondisi ini muncul dari perasaan menderita yang dilebih-lebihkan dan hilangnya rasa kendali diri, serta sering kali berakar dari pengalaman traumatis sebelumnya.
Selain itu, perilaku playing victim juga sering kali digunakan sebagai alat untuk menghindari konsekuensi perbuatannya sendiri, menarik perhatian lewat simpati, atau sekadar cara untuk menyalahkan orang lain atas masalah yang terjadi.
Orang yang terjebak dalam perilaku playing victim umumnya memiliki tiga pola pikir sebagai berikut:
- Percaya bahwa kemalangan akan selalu terjadi berulang kali.
- Orang lain atau lingkungan harus bertanggung jawab atas masalahnya.
- Pesimis, dimana mereka merasa tidak ada gunanya berusaha memperbaiki keadaan karena hasilnya akan sia-sia.
Ciri-ciri perilaku playing victim
Dengan mengenali tanda-tanda playing victim, bisa membuat Anda tidak terjebak dalam manipulasi seseorang. Berikut beberapa karakteristik seseorang yang playing victim:
- Selalu menyalahkan pihak luar: Suka melimpahkan kesalahan ke orang lain, bahkan dengan manipulasi (gaslighting) orang lain agar merasa bersalah.
- Menghindari tanggung jawab: Memposisikan diri sebagai korban demi simpati dan menolak solusi, karena tujuan utamanya dikasihani, bukan menyelesaikan masalah.
- Narasi negatif dan ketidakberdayaan: Sering mengeluh bernasib sial untuk memancing iba dan memanipulasi diri agar tidak perlu berusaha memperbaiki keadaan.
- Haus perhatian: Terus-menerus menceritakan kisah sedih dan keluhan untuk mendapat validasi dan rasa kasihan.
- Cemas berlebihan: Menggunakan ketakutan atau kecemasan yang tidak proporsional sebagai alasan untuk menghindari tindakan atau kewajiban.
- Sikap manipulatif: Mengendalikan hubungan untuk keuntungan sepihak tanpa memberikan kontribusi setara.
- Minim empati: Selalu fokus pada diri sendiri, sehingga sulit memahami perasaan orang lain dan lebih mudah menyalahkan pihak luar.
Penyebab seseorang playing victim
Perilaku playing victim tidak terbentuk secara spontan. Mentalitas ini biasanya dipicu oleh berbagai faktor sebagai berikut:
- Trauma masa lalu: Pengalaman traumatis mengajarkan mereka untuk mempertahankan diri yang salah, yaitu bertahan dengan berperan sebagai korban. Mereka yakin bahwa sikap ini dapat menghindarkan diri dari rasa sakit atau bahaya.
- Adanya rasa kurang percaya diri: Ketidakpercayaan pada kemampuan diri sendiri dan mendorong mereka untuk menempatkan diri sebagai korban saat menghadapi kesulitan. Dibanding mengambil kendali dan mencari solusi, mereka memilih menyalahkan lingkungan atau orang lain.
- Korban pengkhianatan: Pernah dikhianati, ditinggalkan, atau dimanipulasi, sehingga membuat mereka merasa tidak berharga. Pengalaman pahit ini menyebabkan mereka terus-menerus menganggap diri sebagai korban dalam setiap interaksi sosial.
- Emosional: Kesulitan mengelola emosi negatif seperti marah atau frustasi, membuat mereka merasa sebagai “korban” dari emosi tersebut. Akibatnya, mereka merasa tidak berdaya mengubah situasi dan memilih lari dari tanggung jawab.
Cara menghadapi orang playing victim
Menghadapi perilaku seseorang yang playing victim dalam interaksi sehari-hari memang sangat melelahkan.
Walaupun merasa toxic dan menjengkelkan, penting untuk diingat bahwa sikap ini sering kali berasal dari pengalaman traumatis di masa lalu.
Agar tidak semakin memperburuk keadaan, berikut beberapa cara untuk menghadapi seseorang yang suka playing victim:
- Terapkan batasan yang tegas untuk melindungi diri dari potensi manipulasi atau tekanan emosionalnya.
- Jangan langsung validasi peran “korban” mereka. Dengarkan ceritanya, namun jangan terburu-buru dengan membenarkan semua klaim penderitaannya.
- Tetap bersikap empati, tetapi jangan biarkan diri terseret dalam drama mereka. Dengarkan ceritanya, namun cari fakta dan perspektif lain dari situasi tersebut.
- Jika tidak merasa bersalah, jangan meminta maaf. Hal ini untuk mencegah mereka memanipulasi lebih jauh.
- Berikan dukungan dalam kadar yang wajar tanpa perlu terlibat terlalu dalam dalam persoalan mereka.
- Tetap tenang dan hindari sikap menyerang atau menghakimi. Debat langsung hanya akan memperkuat mentalitas korban mereka.
- Arahkan pembicaraan yang lebih fokus pada upaya penyelesaian masalah dibandingkan terus-menerus mendengarkan keluhan.
- Perlihatkan cara menghadapi kesulitan dengan positif, agar mereka memahami bahwa rintangan hidup adalah hal biasa yang bisa diatasi.
Jika perilaku mereka sudah mengganggu dan berlebihan, dukung mereka untuk konsultasi dengan psikolog atau konselor. Hal ini supaya mereka dapat solusi dan cara penanganan trauma yang tepat dari profesional.
