Jakarta (Antara Babel) - Hasil quick count beberapa lembaga survei
menunjukkan pasangan Anies Baswedan- Sandiaga Uno jauh mengungguli
Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) -Djarot Saiful Hidayat dalam pemilihan
Gubernur DKI Jakarta putaran kedua.
Hitung cepat Voxpol Center
hingga pukul 18.06 WIB misalnya, menghitung Anies-Sandiaga memperoleh
59,4 persen atau 18,8 persen lebih besar dari Ahok-Djarot yang
memperoleh 40,6 persen.
Hasil quick count Indo Barometer pada
16.57 WIB tak jauh berbeda. Lembaga survei juga menempatikan
Anies-Sandiaga berada di posisi atas dengan 58,5 persen atau 17 persen
di atas Ahok-Djarot yang memperoleh 41,5 persen suara.
Prosentase
kemenangan Anies-Sandiaga ini bahkan jauh lebih besar dari kebanyakan
hasil survei menjelang pemungutan suara putara kedua Pilkada DKI itu.
Mengapa Ahok-Djarot bisa sejauh itu tertinggal?
Analis politik dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedilah Badrun menyampakan beberapa alasan yang menjadi hasil analisisnya.
Yang utama, kata dia, tidak aktifnya mesin politik pasangan Ahok-Djarot membuat faktor terbesar Anies-Sandi unggul.
"Mesin
politik Ahok-Jarot tidak bergerak efektif. Mesin politik Ahok-Jarot
secara kuantitas sebenarnya mengungguli pasangan Anies-Sandi karena
Ahok-Jarot didukung enam partai politik dan mantan relawan yang teruji
pada Pilkada 2012. Sayang, modal kuantitas tersebut tidak mampu bekerja
efektif," ujar Ubedilah dalam pesan elektroniknya, Rabu.
Pola
kampanye Ahok-Djarot terbaca oleh mesin politik pasangan Anies-Sandi,
yakni pola konvensional, seperti kegiatan baksos, sembako murah, dan
sembako gratis. Padahal hal ini tidak efektif lagi mempengaruhi secara
luas pemilih Jakarta yang mayoritas pemilih rasional.
Selain itu,
sambung Ubedilah, ada pula pola kampanye melalui dunia maya yang
menggambarkan pasangan Ahok sebagai korban diskriminasi dan intoleransi.
Cara ini tak mampu mengubah cara pandang mayoritas masyarakat Jakarta.
"Termasuk
pola 'kampanye udara' yang cenderung menggunakan pola playing victim
sebuah kampanye melalui dunia maya untuk menggambarkan pasangan
Ahok-Jarot sebagai korban diskriminasi dan intoleransi tidak mampu
merubah cara pandangan warga Jakarta secara mayoritas," kata dia.
Gaya
komunikasi publik Ahok juga ditengari pengamat ini sebagai salah satu
faktor kekalahan pasangan Ahok-Djarot. Dalam konteks sosiologis politik,
Ubedillah menilai, cara komunikasi santun jauh lebih diterima warga
Jakarta.
"Tidak sedikit pernyataan-pernyataan Ahok di hadapan
publik menimbulkan kemarahan massa, di antaranya yang paling fenomenal
adalah terkait pernyataanya mengenai Almaaidah 51 di Kepulauan Seribu
pada September 2016," tutur dia.
Faktor lainnya yakni pasangan
Ahok-Djarot kurang menggunakan modal finansial secara efektif, padahal
dukungan finansial mereka sangat melimpah.
"Ini bisa dicermati
dari pembiayaan yang besar untuk imaging politic melalui media masa dan
media sosial, tetapi tidak berbuah pada meningkatnya elektabilitas
Ahok-Jarot. 'Kampanye udara' yang berbiaya besar nampak lebih diutamakan
dibanding 'kampanye darat' yang sesungguhnya bisa lebih efektif dengan
menggerakkan mesin politik secara kultural," papar Ubedilah.
Terakhir,
mengenai tindakan para relawan atau simpatisan Ahok-Djarot menjelang
putaran kedua, salah satunya video kampanye yang mengesankan umat Islam
intoleran (lakukan kekerasan).
"Ini menimbulkan kesan negatif
terhadap pasangan Ahok-Jarot yang justru mengurangi elektabilitasnya.
Video kampanye Ahok-Jarot yang menggambarkan umat Islam yang keras dan
intoleran justru meningkatkan militansi pemilih muslim Jakarta karena
umat merasa disudutkan," jelas Ubedilah.
Dia menyimpulkan faktor
tidak efektifnya mesin politik dalam bekerja dan performa komunikasi
politik calon gubernur yang ekstrem berlawanan dengan kondisi sosiologis
masyarakat atau pandangan umum masyarakat adalah faktor utama kekalahan
pasangan Ahok-Djarot.
Alasan Ahok-Djarot Kalah Versi Hitung Cepat, Menurut Pengamat
Rabu, 19 April 2017 23:40 WIB
Video kampanye Ahok-Jarot yang menggambarkan umat Islam yang keras dan intoleran justru meningkatkan militansi pemilih muslim Jakarta karena umat merasa disudutkan,