Jakarta, 18/12 (ANTARA Babel) - Bip... Bip... Tolong kirimin Mama pulsa ke nomor baru Mama di 08xxx... Bip... Bip... Papa lagi kecelakaan segera kirim pulsa ke nomor 08xxx...
Layanan pesan singkat atau SMS bernada serupa dari dua tokoh yang mengatasnamakan diri sebagai Mama dan Papa begitu akrab dengan keseharian masyarakat di tanah air.
Alih-alih kapok setelah ditertibkan oleh para penegak hukum, praktek penipuan lewat SMS justru makin menggila dan menjadi kebiasaan dalam beberapa waktu terakhir.
Tidak sedikit masyarakat yang terjebak dan terlanjur mentransfer pulsa atau bahkan sejumlah uang yang diminta.
Aparat kepolisian juga mengaku kesulitan menangani tindak kriminalitas di dunia maya (cyber crime) terutama yang berpraktek melalui jejaring sosial Facebook dan handpone (HP).
Dalam penanganan kasus tersebut membutuhkan waktu lama karena harus menggunakan pendekatan memancing (fishing).
Pengungkapkan kasus "cyber crime", terutama yang melalui Facebook dan SMS, aparat memiliki dua kendala yakni karena server ada di luar negeri dan pengelola server pun hanya akan membantu aparat di Indonesia bila berkaitan dengan kejahatan transnasional, seperti terorisme, "trafficking" dan sejenisnya.
Sedangkan kendala dalam penuntaskan kasus penipuan via SMS itu disebabkan tidak adanya identitas tunggal atau "single ID" dimana orang dengan mudah membeli kartu baru lalu memasukan nomor dan nama asal pun bisa.
Head of School of Computer Science Universitas Bina Nusantara, Fredy Purnomo, dalam sebuah telaahnya mengulas tentang teknik-teknik "hacker" dan "cracker" dalam melakukan tindak kejahatan.
Ia memperkirakan dalam waktu satu menit ada 20 orang yang melakukan kejahatan di internet dan sebanyak 75 persen di antaranya kejahatan terhadap pengguna kartu kredit.
"Anehnya hanya 13 persen yang tahu bila kartu kredit mereka dibobol penjahat. Sebagian besar para pelaku memanfaatkan social 'engineering' dalam mendapatkan data. Pelaku bisa mendapatkan data lewat wawancara atau mencari dokumen di tempat sampah. Jadi harus hati-hati membuang bukti traksasi perbankan ke sampah," katanya.
Meningkat Tajam
Tingginya angka kejahatan baik melalui ponsel maupun internet menempatkan Indonesia pada peringkat 10 sebagai negara dengan aktivitas kejahatan "cyber" terbanyak sepanjang 2011.
Data yang dirilis perusahaan keamanan Symantec dalam Internet Security Threat Report volume 17 itu mencatat Indonesia menyumbang 2,4 persen kejahatan "cyber" di dunia, di mana angka itu naik 1,7 persen dibanding 2010 saat Indonesia menempati peringkat 28.
"Ini peningkatan yang sangat signifikan," ujar Senior Director Systems Engineering Symantec South Asia Raymond Goh, beberapa waktu lalu.
Faktor pemicunya antara lain lantaran terus meningkatnya jumlah pengguna internet di Indonesia. Apalagi, saat ini Indonesia masuk lima besar pengguna jejaring sosial terbanyak di dunia.
Kriminalitas yang dilakukan penjahat "cyber", menurut Raymond, kini kian marak terjadi situs jejaring sosial lantaran sifat pertemanan dalam jejaring sosial membuat pengguna percaya begitu saja atas link atau konten yang mereka terima dari sesama teman.
"Mereka tidak sadar bahwa link yang mereka terima mengandung program jahat, misalnya mereka dibawa ke situs web berbahaya," katanya.
Riset Symantec menunjukkan, Indonesia menempati peringkat enam di dunia untuk kategori program jahat "spam zombie".
Para penjahat yang menyebarkan "spam zombie" dapat mengendalikan sebuah nomor telepon seluler di smartphone untuk menyebarkan SMS premium, demi mendapatkan keuntungan finansial.
Sementara untuk kasus pencurian data dan informasi, Indonesia menempati posisi 27 setelah pada 2010 menempati urutan 30.
UU "cyber crime"
Perlindungan bagi masyarakat atas ancaman praktek kejahatan di dunia maya dinilai menjadi hal yang mutlak mendesak.
Karena itu, Dirjen Aptel Kementerian Komunikasi dan Informatika, Ashwin Sasongko, menyadari Indonesia perlu memiliki UU yang mengatur kejahatan di dunia maya secara lebih spesifik untuk mengatur yuridiksi jika terjadi kejahatan internet lintas negara sebab sistem yuridiksi di setiap negara berbeda-beda.
"Kita tidak mempunyai batas kedaulatan dalam internet, jadi sulit menentukan pengaturan hukum di dalamnya," kata Ashwin beberapa waktu lalu.
Ia berpendapat, satu-satunya cara yang bisa ditempuh saat ini jika terjadi kejahatan internet dari luar Indonesia adalah bekerja sama dengan penegak hukum dari negara lain. Namun tetap saja ada perbedaan yuridiksi dan penegakan hukum antar-negara yang potensial menjadi hambatan.
Soal UU "cyber crime", Indonesia termasuk ketinggalan dibandingkan Filipina. Negara itu telah memberlakukan UU itu yang memungkinkan pihak berwenang untuk mengumpulkan data dari akun pengguna personal pada media sosial dan mendengarkan pada suara atau video aplikasi, seperti Skype, tanpa surat perintah.
Dan bagi siapapun yang memposting komentar bernada fitnah di jejaring sosial Facebook, Twitter atau lainnya, bisa diancam hukuman penjara maksimal 12 tahun dan denda satu juta peso atau sekitar 24.000 dolar AS.
Ancaman hukuman itu lebih berat daripada ancaman hukuman yang berlaku untuk delik pencemaran nama baik yang dilakukan seseorang dalam media cetak tradisional.
Anggota Komisi I DPR, Roy Suryo, mengatakan, meski agak terlambat kini Indonesia sedang bersiap menyambut lahirnya UU Tindak Pidana Teknologi Informasi (TPT) dan UU Konvergensi Telematika yang sedang dalam tahap perumusan.
"Saat ini belum ada detail soal teknologi cyber sehingga kita memerlukan UU yang lebih spesifik," katanya.
Roy yang juga anggota Badan Legislatif (Baleg) itu berharap kelak jika dua UU itu telah lahir maka praktek "cyber crime" bisa dengan mudah dan cepat dijerat.
"Sebab selama ini 'cyber crime' itu terkendala dengan dua hal yakni waktu kejadian yang tidak jelas dan lokasi kejadian karena berada di ranah dunia maya, ini yang selama ini menyulitkan aparat kita dalam mencari bukti forensik," katanya.
Semua pihak menanti upaya perlindungan dari praktek kejahatan di dunia maya meski semua juga sepakat perlindungan itu tidak lantas menjadi belenggu kebebasan pada waktu yang sama.