Jakarta (Antaranews Babel) - Ijtima Ulama Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) se-Indonesia VI menyatakan penggunaan simbol-simbol agama untuk alat propaganda atau memengaruhi massa demi kekuasaan, dilarang.
"Agama dan simbol keagamaan tidak boleh hanya dijadikan kedok untuk menarik simpati dan pengaruh dari umat beragama serta untuk mencapai tujuan meraih kekuasaan semata," kata Sekretaris Komisi Fatwa MUI Asrorun Niam Sholeh dalam keterangan tertulis di Jakarta, Jumat.
Ia mengatakan simbol-simbol agama atau simbol-simbol budaya yang identik dengan simbol agama tertentu tidak boleh digunakan untuk menipu dan memanipulasi umat beragama agar bersimpati guna mencapai tujuan politik tertentu.
"Tindakan tersebut bertentangan dengan ajaran agama dan termasuk penodaan agama," kata Niam, Ketua Sidang Pleno Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia VI yang berlangsung di Banjarbaru, Kalimantan Selatan, 7-9 Mei.
Namun, lanjut Niam, bukan berarti agama harus dipisahkan dengan politik. Islam menolak pandangan dan upaya yang memisahkan antara agama dan politik.
Islam sebagai ajaran yang bersumber dari wahyu merupakan ajaran yang komperehensif, memiliki tuntunan kebajikan yang bersifat universal dan meliputi seluruh aspek kehidupan. Islam mencakup juga tatanan mengenai kehidupan berbangsa dan bernegara, mengatur masalah sosial, ekonomi, politik, dan kebudayaan.
"Politik dan kekuasaan dalam Islam ditujukan untuk menjamin tegaknya syariat dan terjaminnya urusan dunia. Politik dalam Islam adalah sarana untuk menegakkan keadilan, sarana amar makruf nahi munkar dan sarana untuk menata kebutuhan hidup manusia secara menyeluruh," katanya.
Karena itu, lanjut Niam,politik tidak boleh dipahami hanya sebagai sarana meraih kekuasaan tanpa memerhatikan etika dan moral keagamaan.
Terkait dengan tempat ibadah untuk bicara politik, Niam mengatakan tempat ibadah bukan hanya untuk kepentingan ritual keagamaan, melainkan harus dijadikan sebagai sarana pendidikan dan dakwah Islam termasuk masalah politik keumatan.
"Bagaimana cara memilih pemimpin sesuai dengan ketentuan agama, bagaimana mengembangkan ekonomi keumatan, bagaimana mewujudkan kesejahteraan masyarakat serta bagaimana mewujudkan 'baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur'," katanya.