Jakarta (Antaranews Babel) - Wakil Ketua Dewan Pimpinan Rakyat (DPR) Agus Hermanto memimpin rapat paripurna DPR yang mengagendakan pengambilan keputusan revisi Rancangan Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
"Marilah kita lanjutkan agenda rapat paripurna kali ini dengan pembahasan tingkat kedua untuk pengambilan keputusan atas revisi RUU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme," kata pimpinan rapat Wakil Ketua DPR RI Agus Hermanto saat memimpin rapat paripurna DPR RI di Senayan Jakarta, Jumat.
Rapat paripurna dilanjutkan dengan laporan dari ketua panitia khusus RUU Terorisme yang diketuai M. Syafi'i dari fraksi Partai Gerindra. Dalam pansus ini juga bertindak sebagai Wakil Ketua Hanafi Rais dari Frakai PAN, Syaiful Bahri Ansori dari Fraksi PKB, dan Supiyadin dari Fraksi Nasdem.
Rapat paripurna kali ini diagendakan untuk menyetujui RUU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme untuk disahkan oleh presiden menjadi undang-undang.
RUU yang akan disetujui itu merupakan RUU Perubahan Atas UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang.
Sebelumnya dalam Rapat Pleno Panitia Khusus revisi UU Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme pada Kamis malam secara aklamasi telah menyetujui Rancangan Undang-Undang tersebut untuk dibawa ke Rapat Paripurna dan disetujui menjadi UU.
Sebelum Pimpinan Pansus mengambil keputusan, 10 fraksi memberikan pandangannya masing-masing mengenai isi RUU tersebut.
Salah satu yang menjadi sorotan adalah mengenai definisi terorisme karena selama pembahasannya masih ada dua fraksi yang tidak sepakat adanya frasa motif politik, ideologi dan gangguan keamanan yaitu Fraksi PDI Perjuangan dan Fraksi PKB.
Namun, dalam pandangan fraksi di dalam Rapat Pleno Pansus tersebut, kedua fraksi tersebut menyatakan mendukung definisi terorisme alternatif kedua yang dirumuskan Pansus bersama pemerintah.
Definisi alternatif II itu menyebutkan bahwa terorisme adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror, atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal, dan/atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis, lingkungqn hidup, fasilitas publik atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik atau gangguan keamanan.