Jakarta (Antaranews Babel) - Tim jaksa penuntut umum (JPU) dalam sidang kasus bom Thamrin, dengan terdakwa Oman Rochman alias Abu Sulaiman bin Ade Sudarma alias Aman Abdurrahman, menolak seluruh nota pembelaan yang diajukan terdakwa Oman dan tim penasihat hukumnya.
"Sekali lagi tim jaksa penuntut umum memohon kepada majelis hakim, menolak seluruh nota pembelaan yang diajukan oleh terdakwa dan tim penasihat hukum terdakwa," kata jaksa penuntut umum, Anita Dewayani dalam sidang dengan agenda replik di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu.
Anita beralasan, tuntutan pidana mati untuk terdakwa sudah sesuai dengan mempertimbangkan keterangan para saksi dan ahli, alat bukti berupa tulisan-tulisan terdakwa.
Tim JPU menepis adanya anggapan bahwa tuntutan JPU merupakan perbuatan dzalim seperti yang dituduhkan Oman. Ia juga menepis tuduhan adanya kesepakatan pihak-pihak tertentu untuk menjadikan Oman sebagai pihak yang bersalah dalam kasus terorisme.
"Tindakan penuntutan yang kami lakukan semata-mata untuk memberikan keadilan bagi masyarakat, keadilan bagi para korban. Landasan batas wewenang kami ada dasarnya, yakni adanya minimal dua alat bukti," kata Anita.
Anita mengatakan, bahwa dalam tuntutannya, pengakuan Oman bukanlah satu-satunya bukti yang dijadikan dasar pembuktian dakwaan.
"Terdakwa bisa saja berbohong untuk kepentingannya. Bila dia mengakui maka itu semata-mata untuk kepentingan dirinya dalam melakukan pembelaan," katanya.
Dalam repliknya, tim JPU menyampaikan permohonan para korban bom Thamrin, bom Gereja Oikumene dan bom Kampung Melayu agar negara memberikan hak kompensasi terhadap para korban dan membebankan ke negara untuk membayar biaya perkara sebesar Rp5 ribu.
Dalam repliknya, tim JPU menyatakan, sesuai keterangan ahli, Solahudin, bahwa peran Oman sangat penting dalam menyebarkan pemahaman tentang propaganda kelompok ISIS terhadap para pengikutnya di Indonesia.
Anita pun merinci bahwa terdapat peranan Oman dalam sejumlah peristiwa teror yakni kasus pembunuhan terhadap polisi dan penyerangan di Polda Sumut yang dilakukan oleh Syawaluddin Pakpahan, mereka beraksi dengan diilhami oleh tulisan Oman dalam buku Seri Materi Tauhid.
"Syawaluddin mengakui pembakaran yang dilakukannya dalam rangka jihad karena yang bersangkutan punya pemahaman bahwa polisi adalah thagut. Pemahaman ini didapatkannya dari membaca kitab Seri Materi Tauhid," katanya.
Selain itu, kasus penembakan polisi di Bima, Nusa Tenggara Barat, dengan pelaku Muhammad Ikbal Tanjung, juga termotivasi dari pemahaman Ikbal bahwa polisi merupakan anshor thagut yang harus diperangi.
"Pemahaman Ikbal didapatkannya bukan dari membaca Seri Materi Tauhid, melainkan didapat dari guru-guru pengajiannya di Penatoi yang terkait dengan Oman," katanya.
Anita mengatakan, ajaran Oman tentang ilmu tauhid telah didakwahkan kepada para pengikutnya sejak tahun 2003. Dakwah-dakwah tersebut kemudian dikumpulkan dan dibukukan dalam Seri Materi Tauhid untuk disebarkan ke masyarakat luas dengan tujuannya agar dipahami dan dan diikuti oleh para simpatisannya.
"Jelaslah bahwa pemikiran terdakwa dalam Seri Materi Tauhid adalah untuk mengajak orang lain mengikuti apa yang dipahaminya tentang sirik demokrasi dan sirik akbar," katanya.
Anita memaparkan bahwa Oman memahami akibat ajarannya tersebut dapat membuat orang membenci negara Indonesia, pemerintah dan aparat keamanan.
Ia mengatakan, Oman juga mengetahui bahwa ajarannya tersebut telah mendorong para pengikutnya untuk melakukan aksi teror yakni bom Thamrin, bom di Gereja Oikumene, bom Kampung Melayu, penyerangan Mapolda Sumut dan pembunuhan polisi di Bima.
"Lima peristiwa teror tersebut disebabkan adanya pemahaman para pelaku tentang sirik demokrasi dan sirik akbar yang terkoneksi dengan Daulah Islamiyah yang didirikan oleh Oman. Sangat naif bila terdakwa mengatakan tidak tahu menahu dalam aksi bom Thamrin, padahal dia sebagai orang yang dituakan di jamaahnya, mengatakan bahwa ada pesan dari Umaro untuk melakukan amaliyah seperti di Paris," katanya.
Oman ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus bom Thamrin, kasus bom Gereja Oikumene di Samarinda, kasus bom kampung melayu, serta kasus penyerangan di Bima, NTB dan kasus penyerangan Mapolda Sumut. Ia dituduh berperan sebagai dalang di balik teror tersebut.
Oman seharusnya bebas pada 17 Agustus 2017 usai menjalani masa hukuman sembilan tahun atas keterlibatannya dalam pelatihan militer kelompok Jamaah Islamiyah (JI) di pegunungan Jalin, Kabupaten Aceh Besar pada 2010.
Namun pada 18 Agustus 2017, polisi menetapkan Oman sebagai tersangka karena diduga terlibat dalam serangan teror Bom Thamrin.
Oman dijerat dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.