Jakarta (Antaranews Babel) - Wakil Presiden Jusuf Kalla berharap hukuman mantan Menteri Pariwisata dan ESDM Jero Wacik dapat diperingan.
"Semoga (kesaksian saya) dapat meringankan hukuman beliau karena apa yang dituduhkan itu tidak lepas dari tugasnya sebagai menteri langsung atau tidak langsung," kata Jusuf Kalla dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin.
Kalla menjadi saksi dalam sidang peninjauan kembali untuk Jero Wacik yang menjabat sebagai Menteri Pariwisata 2004-2011 dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) 2011-2014.
Jero Wacik pada 9 Februari 2016 oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta divonis empat tahun penjara ditambah denda Rp150 juta subsider tiga bulan kurungan dan pidana uang pengganti sejumlah Rp5,073 miliar subsider satu tahun kurungan karena dinyatakan terbukti menyalahgunakan Dana Operasional Menteri (DOM) dan menerima gratifikasi.
Putusan itu bahkan diperberat oleh putusan Mahkamah Agung pada 24 Oktober 2016 yang dipimpin oleh Hakim Agung Artidjo Alkostar menjadi delapan tahun penjara ditambah denda Rp300 juta subsider enam bulan kurungan dan kewajiban membayar uang pengganti senilai Rp5,073 miliar subsider dua bulan kurungan.
"Gaji menteri sampai sekarang Rp19 juta, sebagai menteri di Jakarta banyak sahabat, relasi, harus (membayar) `fee` atau bergaul juga maka menteri keuangan mengeluarkan aturan yang memberikan dana operasional menteri yang didukung PMK (Peraturan Menteri Keuangan) No. 3/2006 sebagai penunjang menteri dapat menjalankan tugas sebagai menteri dan manusia biasa di Jakarta ini dengan tambahan Rp100 juta yang pada waktu itu memang harus dibuat laporan penggunaannya," tambah Kalla.
Menurut Kalla, PMK 3 Tahun 2006 sudah dicabut pada 31 Desember 2014 dan diganti dengan PMK 268 Tahun 2014 tentang Tata cara pelaksanaan anggaran dana operasional menteri/pimpinan negara. Pada Pasal 3 ayat 2 PMK tersebut dikatakan "Penggunaan Dana Operasional untuk Menteri/Pimpinan Lembaga didasarkan atas pertimbangan diskresi Menteri/Pimpinan Lembaga dengan ketentuan sebesar 80 persen diberikan secara lumpsum kepada Menteri/Pimpinan Lembaga; dan sebesar 20 persen untuk dukungan operasional lainnya.
"Filosofi lumpsum (diberikan sekaligus) dan diskresi (kebebasan keputusan menteri) itu menutup pengeluaran-pengeluaran yang seharusnya dipakai menteri dalam menjalankan tugasnya termasuk kehidupan pribadinya agar dapat menjalankan pemerintahan yang baik, jumlahnya lumpsum penggunaannya diskresi, jadi tidak perlu ada pertanggungjawaban," jelas Kalla.
Menurut Kalla, menteri juga adalah manusia biasa yang harus menjalankan tugasnya agar bisa sehat dengan melakukan olahraga, menjaga hubungan persaudaraan, maupun kegiatan lainnya yang tampak tidak terkait langsung dengan tugasnya sebagai menteri.
"PMK No. 3 Tahun 2006 terlalu rumit, kalau makan harus dibuat pertanggungjawabannya, padahal tidak semua orang makan ada bonnya, kan susah atau untuk tugas sehari-hari sehingga dipermudah dan diberikan kewangan untuk ketua lembaga maupun menteri untuk menjalankan apa yang dia nilai baik dengan PMK 268 Tahun 2014," ungkap Kalla.
Dalam perkara ini, Jero dinyatakan terbukti dalam tiga dakwaan. Dakwaan pertama, hakim menilai bahwa DOM yang disalahgunakan hanyalah DOM yang digunakan untuk kepentingan keluarga Jero, yaitu senilai total Rp1,071 miliar. Jumlah itu berbeda dengan keyakinan JPU KPK yang menilai ada penyelewenangan sebesar Rp7,33 miliar oleh Jero dan Rp1,071 miliar oleh keluarganya selama menjabat sebagai Menbudpar pada 2008-2011.
Selanjutnya dalam dakwaan kedua, hakim hanya menilai bahwa selama menjadi Menteri ESDM pada November 2011 hingga Februari 2013, Jero mengambil DOM lebih dari peruntukannya, yaitu hingga Rp3,3 miliar.
Sedangkan dalam dakwaan ketiga, Jero dinilai terbukti menerima Rp349 juta dari komisaris utama grup perusahaan PT Trinergi Mandiri Internasional yang juga Wakil Ketua Umum Bidang Energi dan Pertambangan Kamar Dagang dan Industri Indonesia Herman Afif Kusumo untuk membayari perayaan ulang tahunnya pada 24 April 2012 di Hotel Dharmawangsa.