Di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, terdapat sejumlah makanan khas yang sudah dikenal masyarakat sejak puluhan tahun.
Namun ada satu makanan yang cukup khas dan mampu membangkitkan selera makan, namanya pantiau. Namanya mendekati kwitiau atau sejenis mie yang cukup dikenal dan digemari kalangan milenial.
Namun kwitiau disajikan dengan cara digoreng, sedangkan pantiau diberi kuah sehingga memiliki cita rasa lebih khas dan mampu membangkitkan selera, apalagi ada rasa ikan didalamnya karena memang disajikan dengan rempah atau bumbu yang dicampur dengan daging ikan yang dihaluskan.
Jika diikuti cara memasaknya, proses pembuatan pantiau tersebut cukup panjang. Namun hasilnya cukup sebanding dengan cita rasa yang akan dinikmati.
Gunadi (57), salah satu pembuat pantiau di Desa Bukit Ketok, Kecamatan Belinyu, Kabupaten Bangka, menceritakan bahwa pantiau merupakan salah satu khas Bangka yang telah diproduksi secara turun temurun.
Bahan baku yang sering digunakan adalah sagu, tepung beras, ikan, bawang putih, bawang merah, garam, merica, dan kecap asin yang diolah sekian rupa dengan proses yang yang perlu teratur.
Langkah pertama, sagu diaduk terlebih dulu dengan tepung. Namun campurannya harus pas agar menghadirkan rasa yang tepat, termasuk kekenyalan pantiau.
Contohnya, 1 kg sagu perlu diikuti dengan 0,5 kg tepung beras yang diaduk dengan kadar air yang tepat sehingga adonannya tidak terlalu lembek atau cair.
Setelah mendapatkan ukuran yang pas, adonan sagu dan tepung beras tersebut dimasak dengan cara dikukus dalam loyang dengan ukuran yang tidak terlalu tebal. Untuk ukuran loyang berdiameter 30 cm, hanya dibutuhkan satu gelas adonan sagu dan tepung beras.
Setelah adonannya masak, Pantiau yang masih berbentuk bulat itu digantung di kayu yang telah disiapkan untuk menunggu dingin dan kering. Jika adonannya tepat, pantiau tersebut tidak akan patah atau putus karena memiliki kekenyalan tersendiri.
Setalah dingin dan kering, Pantiau tersebut dipotong menjadi seperti mie. Pemotongannya dapat dilakukan dengan menggunakan pisau. Namun lebih sering menggunakan alat tertentu sehingga potongannya lebih rapi.
Setelah dipotong seperti mie yang menyerupai kwitiau, pantiau tersebut ditaburi dengan tepung lagi sehingga semakin tidak lengket. Setelah didiamkan sekian menit, direbus kembali beberapa menit.
Usai direbus, pantiau ditiriskan sampai kering sehingga mudah untuk dibentuk ketika akan disajikan dalam piring atau wadah tertentu.
Setelah pantiau selesai dimasak, baru disiapkan bumbunya dengan memblender atau menggiling bawang putih dan bawang merah terlebih. Namun bawang putihnya perlu lebih banyak sehingga menampilkan aroma dan cita rasa yang khas.
Setelah bawang putih dan bawang merahnya digiling, baru disiapkan daging ikan dengan merebus ikan terlebih dulu. Umumnya, warga lebih memilih ikan yang sedikit tulangnya agar mudah mengambil dagingnya.
Setelah selesai direbus, ikannya didinginkan terlebih dulu agar memudahkan untuk mengambil dagingny dan membuang tulangnya. Setalah daging ikannya didapatkan, langsung diblender sehingga hancur.
Usai mendapatkan daging ikan, gilingan bawang putih dan bawang merah yang telah ada langsung ditumis. Setelah matang, bumbu tersebut diberikan merica atau yang lebih dikenal warga bangka dengan nama "sahang".
Takaran merica tersebut harus disesuaikan dengan tingkat kepedasan yang diinginkan. Jika terlalu banyak, dikhawatirkan bumbu tersebut akan terlalu pedas.
Setelah memunculkan aroma yang mulai matang, daging ikan yang telah digiling tersebut dimasukkan dalam bumbu yang sedang ditumis.
Setelah daging ikannya matang, baru beri garam yang dicampur dengan kecap asin secukupnya sehingga memunculkan aromas yang lebih khas.
Setelah bumbu tersebut selesai, baru Pantiau yang telah dipotong seperti berbentuk mie dimasukkan ke dalam piring. Sedangkan bumbunya diletakkan di bagian atas.
Jika Pantiau dan bumbu tersebut sudah ditata, baru beri air panas secukupnya agar bumbunya dapat diaduk. setelah itu, Pantiau pun dapat dinikmati.
Makanan "setengah berat"
Budawayan yang juga sejarawan Bangka Belitung, Akhmad Elvian mengatakan, penamaan Pantiau itu berasal dari bahasa Hakka, salah satu suku dari etnis Tionghoa yang banyak berdomisili di daerah kepulauan tersebut.
Dalam bahasa Hakka, "pan" berarti setengah, sedangkan "tiau" memiliki arti berat. Sehingga Pantiau mempunyai makna sebagai makanan setengah berat.
"Jadi, karena kategori makanan setengah berat, Pantiau ini bisa juga menjadi makanan pengganti nasi," katanya.
Dalam pembuatannya, bahan dasar Pantiau bisa juga diolah dari ubi. Sedangkan untuk bumbunya tetap menggunakan olahan daging ikan yang digiling.
Makanan lain yang hampir menyerupai Pantiau adalah "Lakso". Namun kuah Pantiau berupa air putih, sedangkan kuah Lakso dimasak lagi dengan santan.
Dalam budaya masyarakat Bangka Belitung, Pantiau tersebut sering dihidangkan dalam acara kenduri atau selamatan.
Selama bulan suci Ramadhan, Pantiau banyak diperjualbelikan di pasar dan jajanan berbuka puasa, termasuk hidangan saat merayakan Idul Fitri.
"Selain Empek-empek dan Tekwan, Pantiau ini sering dihidangkan saat Lebaran," ujar Akhmad Elvian.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2019