Depok  (Antara Babel) - Beredarnya surat rekomendasi Dewan Kehormatan Perwira (DKP) dan Surat Keputusan Presiden (Keppres) pemberhentian Prabowo Subianto dengan hormat dari dinas kemiliteran, memunculkan polemik berkepanjangan dan kini masih jadi tanda tanya besar.

Beredarnya Surat DKP itu juga menyebabkan sejumlah pihak menuntut TNI mengusut siapa yang membocorkan dokumen yang melibatkan calon presiden nomor urut satu tersebut.

Setelah dari kubu Jokowi-JK yakni Jenderal Purn Wiranto mengungkap kebenaran adanya rekomendasi pemecatan dari DKP karena Prabowo menculik aktivis mahasiswa, maka beberapa hari lalu kubu Prabowo merilis dokumen Keppres yang menyatakan Prabowo diberhentikan dengan hormat.

Tentu saja publik bingung dengan manuver kedua kubu capres tersebut: dokumen apa yang bisa dipercaya? Menurut ahli hukum tata negara, Margarito, surat Keppres adalah keputusan akhir dari serangkaian penyelidikan termasuk rekomendasi DKP atas apa yang terjadi terhadap Prabowo.

"Jadi DKP itu sifatnya hanya merekomendasikan saja. DKP itu bukan pengadilan atau mahkamah militer, mereka cuma tim panel yang dibentuk atas kasus tersebut," katanya sambil menambahkan bahwa Surat Keppres memiliki kekuatan hukum yang kuat sehingga ia percaya surat itulah yang menjadi dasar pemberhentian Prabowo dari dinas kemiliteran.

"Keppres itu kan hak prerogatif Presiden. Berkekuatan hukum kuat, tak seperti rekomendasi DKP yang hanya bisa merekomendasikan. Jadi kesimpulannya, DKP memberi rekomendasi, Presiden yang memutuskan lewat Keppres," ujarnya.

Dia juga menyebutkan, surat rekomendasi DKP tersebut bukanlah rahasia negara, sebab tak menyentuh bidang pertahanan dan keamanan negara. "Bukan soal nuklir, senjata atau alutsista. Itu (surat DKP) sama seperti surat pemecatan atau BAP (Berita Acara Penyelidikan) yang dikeluarkan polisi."
    
Mantan Panglima Angkatan Bersenjata RI Jenderal (Purn) Wiranto juga sependapat bahwa  surat rekomendasi DKP terkait dengan pemecatan Prabowo, bukan rahasia negara. Alasannya, kasus yang diperiksa pada 1998 tak hanya menyangkut tentara tetapi juga masyarakat sipil.

Wiranto juga menyatakan, beredarnya dokumen itu tak bisa dianggap sebagai kebocoran. "Surat pemecatan itu disimpan di Sekretariat Markas Besar ABRI yang sekarang menjadi Tentara Nasional Indonesia. Dia tak pernah membawa pulang sampai sekarang."
   
Menurut dia, yang perlu adalah membuktikan autentikasi surat itu, memverifikasi surat itu benar atau salah. Verifikasi surat DKP itu bisa dilakukan dengan menanyakan ke sejumlah jenderal yang menandatangani dokumen tersebut. Mereka adalah Ketua DKP saat itu Jenderal Subagyo Hadi Siswoyo, dan enam anggota berpangkat letnan jenderal, yaitu Djamari Chaniago, Fachrul Razi, Yusuf Kartanegara, Agum Gumelar, Arie J. Kumaat, serta Susilo Bambang Yudhoyono.

Sementara itu Pembina Forum Komunikasi Purnawirawan TNI/Polri, Try Sutrisno, menegaskan, apabila benar terbukti adanya kebocoran surat DKP soal pemecatan Prabowo Subianto dari militer yang bersifat rahasia, maka mestinya diselesaikan secara prosedural, agar tidak menjadi preseden buruk dan tak membuat suasana menjelang pemilihan presiden  semakin gaduh.

Terkait dugaan pembocoran surat DKP, mantan Pangab ini mengaku tidak mengetahui pihak mana yang terindikasi melakukan pembocoran. "Diproses dulu apakah sengaja atau tidak, klasifikasinya rahasia atau bukan, sejauh ini para purnawirawan yang bergabung dengan masing masing pasangan Capres, masih dalam koridor yang normal," ujarnyta.

Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), Marciano Norman menilai bocornya dokumen tersebut harus dijelaskan oleh TNI. Sebab, surat tersebut seharusnya tidak bisa dipegang oleh orang-orang yang tidak berkepentingan. "Saya rasa, masalahnya sudah lama. Saya rasa pihak berwenang harus evaluasi itu.¿
    
Ia menduga dokumen tersebut dimiliki oleh Markas Besar TNI. Karena itu, ia beranggapan jajaran TNI harus melakukan evaluasi sebab dokumen rahasia tidak boleh keluar dari Mabes TNI.

    
                   Pemberhentian dengan hormat
Segra saja tim sukses pasangan calon presiden dan wakil presiden Prabowo Subianto-Hatta Rajasa mengklarifikasi soal Surat DKP yang berisi keputusan pemecatan mantan Pangkostrad Prabowo Subianto itu. Pemecatan tersebut terkait dengan dugaan penculikan aktivis yang diduga dilakukan Prabowo saat kerusuhan Mei 1998.

Mereka membantah saat itu Prabowo dipecat atau diberhentikan dengan tidak hormat.

"Pak Prabowo diberhentikan dengan hormat, jadi tidak benar bila dikatakan diberhentikan dengan tidak hormat. Kami punya salinan surat putusannya," ujar tim sukses Prabowo-Hatta, Marwah Daud Ibrahim.

Sambil menunjukkan surat keputusan yang ditandatangi oleh BJ Habibie, selaku presiden saat itu di Jakarta pada 20 November 1998. Marwah juga membacakan satu per satu kalimat yang tertera. "Kepada Bapak Prabowo kami ucapkan terima kasih atas jasa-jasanya selama mengabdi di ABRI."
    
Jadi, kata Marwah, apapun yang terjadi dalam prosesnya, terbukti resmi dinyatakan bahwa Prabowo diberhentikan dengan hormat. Selain keputusan presiden, Muladi selaku menteri sekretaris negara saat itu juga mengirimkan surat yang ditujukan kepada Ketua Komnas HAM pada September 1999.

Muladi menjawab pertanyaan tentang keterlibatan Prabowo dalam kerusuhan Mei 1998. Ternyata tidak terdapat cukup bukti yang membuat Prabowo dinyatakan terlibat dalam kasus penculikan. Namun, sebagai pejabat yang bertanggungjawab, maka Prabowo diberhentikan secara hormat," kata  Marwah.

Menanggapi soal keterlibatan Prabowo pada penculikan aktivis tahun 1998, beberapa pengamat berpendapat sebenarnya persoalan etika profesi militer itu sudah selesai.

"Kalau benar seperti yang beredar di Surat Rekomendasi DKP 21 Agustus 1998, secara eksplisit tidak ada opsi yang menyoal masalah penculikan, meski ditengarai ada pelanggaran etika yang dilakukan Prabowo," kata pengamat militer dari Universitas Muhammadiyah Malang, Muhadjir Effendy.

Menurut dia, jenis dan bobot pelanggaran etika militer itu bermacam-macam. "Misalnya ketahuan kawin lagi tanpa izin atasan juga bisa dianggap pelanggaran. Berat-ringannya pelanggaran bisa dilihat dari berat-ringannya sanksi yang dijatuhkan."
    
Terkait dengan kasus ini, kata Muhajir, Kepres Nomor 62/ABRI/1998 menyatakan bahwa Letjen Prabowo Subianto diberhentikan dengan hormat dari dinas Keprajuritan ABRI dan negara berterima kasih atas jasa-jasanya. Kepres itu sebagai tindak lanjut dari Surat Menhankam/Pangab No. R/811 tanggal 18 November 1998 tentang usul pemberhentian dengan hormat dari dinas.

"Saya kurang sependapat kalau konsideran dalam sesuatu keputusan antara 'diberhentikan dengan hormat¿ dengan `diberhentikan tidak dengan hormat' dianggap sama saja oleh Wiranto, karena sebenarnya substansinya berbeda. Hal itu mencerminkan tingkat pelanggaran dan bobot sanksi atas pelanggaran yang dilakukan. Anehnya lagi yang memberi keputusan ini adalah Presiden bukannya Panglima ABRI," kata Muhadjir.

Saat itu aroma politik kental sekali karena Habibie dan jajarannya di bawah tekanan rakyat untuk melengserkan Soeharto. "Pemberhentian Prabowo dianggap sebagai salah satu solusi yang cocok waktu itu," ujarnya.

Seperti kata Muhadjir,  barangkali dia (Wiranto) ingin meluruskan masalah yang sejak lama tidak pernah gamblang, karena saat itu dia Panglima ABRI yang menandatangani rekomendasi tersebut. Namun juga patut disayangkan menurut pakar militer itu, pernyataan tersebut disampaikan pada saat pilpres. "Kebetulan posisi Wiranto berseberangan dengan Pak Prabowo."

Pewarta: Oleh Illa Kartila

Editor : Aprionis


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2014