Jakarta (Antara Babel) - Satu hari menjelang HUT Brigade Mobil ke-69, Kapolri Jenderal Polisi Sutarman mendapat pil pahit insiden pemukulan terhadap empat wartawan yang tengah meliput unjuk rasa menolak kenaikan harga BBM di Makassar, Sulawesi Selatan.
Seolah-olah HUT Brimob yang sekaligus mengenalkan pakaian dinas lapangan (PDL) Brimob bermotif loreng itu, terlindas oleh ulah sejumlah oknum Korps Bhayangkara yang menganiaya empat wartawan.
Korps Bhayangkara yang "sipil" itu, tidak perlu melakukan tindakan brutal terhadap wartawan, namun kasus serupa terus berulang. Ini merupakan pekerjaan rumah (PR) yang belum terselesaikan oleh para "jenderal".
Korban dari jurnalis dalam peristiwa menjelang HUT Brimob tersebut di antaranya Iqbal (fotografer Tempo), Waldi (Metro TV) dan Ikrar (Celebes TV), dipukul, ditendang hingga mengalami luka-luka, bahkan ada beberapa dari mereka dirampas memory card-nya. Luar biasaaaaaa...
Seharusnya mereka menjadi pelindung masyarakat bukannya menjadi penganiaya masyarakat dengan peralatan yang biayanya berasal dari rakyat juga. Potret ironi yang terus berulang di tanah air.
Jangan sampai menggunakan teknik "politik pemadam kebakaran" yang artinya baru diselesaikan setelah kejadian dan tidak memikirkan langkah pencegahan supaya tidak terulang. Setidaknya memberikan pemahaman soal profesi wartawan.
Karena tidak adanya pemahaman itu, maka setiap amanat yang diberikan hanya hangat-hangat tahi ayam saja, masuk kuping kiri ke luar kuping kanan.
Apakah ini akan terus terulang, sekarang ini dikembalikan kepada para jenderal di kepolisian untuk membina anggotanya bersikap manusiawi terhadap wartawan termasuk kepada rakyatnya sendiri agar jangan sampai polisi dijadikan musuh bersama.
Karena itu, sangat layak mengeluarkan pertanyaan "Ada Apa Dengan Polisi (AADP) ---bukan Ada Apa Dengan Cinta (AADC)---'hobi' menganiaya wartawan?"
Indonesia Police Watch (IPW) menyatakan tindakan polisi yang memukul wartawan saat meliput unjuk rasa menolak kenaikan harga BBM di Makassar, Sulawesi Selatan, merupakan tindakan brutalisme.
"Aksi pemukulan terhadap wartawan itu merupakan salah satu bentuk brutalisme yangg dipertontonkan aparat keamanan. Wartawan bukanlah musuh tapi komponen masyarakat yang berperan menjaga sosial kontrol, terutama terhadap kebijakan pemerintah yang merugikan rakyat," kata Ketua Presidium IPW, Neta S Pane.
Ia menambahkan seharusnya aparat keamanan menyadari hal itu dan bersinergi dengan wartawan.
Karena itu, kata dia, Mabes Polri harus bertindak tegas, antara lain menangkap dan menahan para pelakunya, karena ancaman hukuman terhadap pihak-pihak yang melakukan pemukulan pada wartawan, di atas 5 tahun penjara.
"Kasus ini agar secepatnya masuk pengadilan sehingga ada efek jera. Aksi demo yang disertai aksi-aksi brutal dipastikan tidak akan mendapat simpati dari publik. Bahkan akan membuat rakyat antipati pada polisi maupun mahasiswa. Untuk itu, baik aparat kepolisian maupun mahasiswa-mahasiswa makassar harus menghentikan aksi demo yang brutalisme," katanya.
Jika tidak, mereka akan menjadi musuh masyarakat. IPW juga berharap Kapolri menegur Kapolda Sulsel dan Kapolresta Makassar akibat adanya insiden ini dan minta maaf kepada masyarakat.
"Bentrokan antara polisi dengan mahasiswa di Makassar sudah berulangkali terjadi. Seolah polisi dan mahasiswa menjadi musuh bebuyutan," katanya.
Hal ini tentunya sangat disayangkan seolah-olah pimpinan Polri di Makassar selalu gagal dan tidak mampu mengendalikan situasi, setiap kali ada demo mahasiswa.
"IPW sangat menyayangkan jika dalam aksi demo mahasiswa di Makassar kemarin, kembali muncul sikap brutal, baik dari aparat maupun mahasiswa," katanya.
Sementara itu, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mengecam tindakan brutal polisi kepada wartawan yang sedang meliput aksi mahasiswa menolak kenaikan harga BBM di Makasar.
"Tindakan aparat kepolisian memukuli, merusak alat liputan, mencederai dan menganiaya jurnalis adalah tindakan yang tidak bisa diterima," kata Ketua Umum AJI Indonesia Eko Maryadi dalam keterangan resminya yang diterima di Jakarta, Jumat.
Dia mengatakan, AJI sebagai organisasi profesi wartawan mendesak dengan segera Kapolri melakukan penyelidikan kepada pihak-pihak terkait atas penyerangan ini.
"Kami mendorong Kapolri agar mengevaluasi Kepala Kepolisian Daerah Sulselbar dan Kepala Kepolisian Kota Makassar atas tindakan ekpresif anak buahnya dalam menangani aksi unjuk rasa masyarakat," katanya.
Selain itu, dia mengatakan, pihaknya juga mendesak Dewan Pers sebagai pengayom industri media di tanah air untuk melihat dan menyelidiki kasus kebrutalan tersebut.
"Mendesak agar Satgas Penanganan Kasus Kekerasan terhadap Wartawan Dewan Pers turun ke TKP untuk menyelidiki aksi brutal polisi kepada wartawan di Makassar," katanya.
Karena besarnya dampak yang ditimbulkan kejadian itu terhadap keamanan jurnalis dalam melaksanakan tugas peliputan, Eko mengajak seluruh anggotanya untuk terus melaksanakan aksi solidaritas hingga kasus ini tuntas.
"Kami juga menyerukan bagi seluruh anggota di berbagai kota agar terus melakukan aksi solidaritas terhadap para jurnalis korban kekerasan," katanya.
Minta maaf
Kapolri Jenderal Polisi Sutarman memohon maaf kepada awak media yang menjadi korban bentrok dengan aparat kepolisian di Makassar, Sulawesi Selatan, Kamis (13/11).
"Saya mohon maaf atas apa yang terjadi kemarin pada rekan-rekan media. Pemukulan terhadap wartawan itu salah," kata Sutarman.
Ia menegaskan pihaknya akan menindak tegas oknum-oknum aparat yang menjadi pelaku dalam peristiwa tersebut. Kendati demikian, pihaknya belum menerima sejumlah daftar nama para pelaku.
"Nama-namanya belum sampai ke saya. Pasti nanti ketemu siapa orang-orangnya, kan kepala-kepala satuan yang ada di lapangan mengetahui siapa para petugas yang bersiaga," katanya.
Sutarman menyatakan pihaknya selalu mengingatkan jajarannya bahwa wartawan merupakan mitra kerja Polri, untuk itu harus dilindungi. Meski demikian, pihaknya mengakui untuk mengawasi ratusan ribu personel Polri bukan pekerjaan yang mudah.
"Setiap hari kita sudah ingatkan bahwa media itu teman kerja kita yang harus dilindungi. Tapi untuk mengawasi 420 ribu polisi itu tidak mudah juga," katanya.
Sementara itu, aksi mengecam tindakan anarkisme polisi itu, terus bermunculan dari kalangan wartawan di tanah air bak "bergelombang". Mereka minta agar pimpinan Polri menindak oknum-oknum polisi yang bertindak barbar tersebut.