Semarang, 17/7 (Antara) - Beda pilihan dalam Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden RI, 9 Juli 2014, adalah hal biasa. Ibarat menghadiri sebuah pesta, undangan bebas memilih makanan dan minuman yang tersedia.

Ada di antara mereka, umpamanya, menyantap soto ayam, soto sapi, atau bahkan ada pula yang menikmati soto kambing. Meskipun di antara mereka beda selera, tidak ada yang mempersoalkannya. Mereka larut dalam kebahagiaan sahibulbait (tuan rumah).

Jadi, bukan berarti beda pilihan itu mereka bermusuhan. Siapa pun yang kelak terpilih sebagai presiden dan wakil presiden adalah presiden kita, bukan presiden saya, kami, atau Anda.

Dalam pesta demokrasi, 9 Juli lalu, rakyat bebas memilih salah satu di antara dua pasangan calon presiden dan wakil presiden, baik pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa maupun pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla.

Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Nomor Urut 1 Prabowo-Hatta diusung Partai Gerindra, PAN, Partai Golkar, PKS, PPP, PBB, dan Partai Demokrat, sedangkan peserta nomor urut 2 Jokowi-JK diusung PDI Perjuangan, Partai Nasdem, PKB, Partai Hanura, dan PKPI.

"Pilpres dua kubu (head to head) secara tidak sadar telah menciptakan residu sekaligus konflik sosial di tengah masyarakat," kata Dr Dewi Aryani, M.Si, anggota Tim Pemenangan Calon Presiden dan Wakil Presiden RI Joko Widodo-Jusuf Kalla.

"Bagaimana tidak?" kata Dewi, "Hubungan beberapa partai politik (parpol), kekeluargaan, persahabatan, pertemanan acap kali terbelah, terpecah, dan 'hancur' karena masing-masing individu di seluruh negeri ini memiliki fanatisme sendiri-sendiri sebagai bagian dari bentuk dukungan yang bisa berbeda satu dengan yang lain."
   
Kini, Pilpres 2014 telah usai. Akan tetapi, secara resmi belum dipastikan siapa pemenang sesungguhnya, atau menunggu Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pusat mengumumkan pemenangnya pada tanggal 22 Juli 2014.

"Namun, gambaran dan prediksi kekacauan akan terjadi manakala masing-masing kubu yang sudah mengklaim menang pada akhirnya akan gigit jari menjadi pecundang (kalah)," kata Dewi yang juga anggota Fraksi PDI Perjuangan DPR RI melalui pesan singkatnya, Rabu (16/7).

Menurut Dewi, kekecewaan tidak hanya tergambar, tetapi juga dikhawatirkan akan terjadi konflik sosial.

"Yang menang senang-senang, sementara yang kalah kecewa dan 'marah'. Residu sosial yang saya definisikan sebagai serpihan-serpihan pertarungan Pilpres 2014 tentu akan berserakan di mana-mana, di semua kalangan, dan di semua tempat walau sejatinya kita tidak mengharapkan hal itu terjadi," katanya.

    
                       Demi NKRI
Pertanyaannya siapa yang akan bertanggung jawab untuk mengembalikan kedamaian dan kerukunan masyarakat ke depan? Berapa waktu yang dibutuhkan untuk menyatukan serpihan yang bisa saja sudah ada yang hancur lebur, bahkan hilang bersama emosi debu politik?
   
"Tidak ada jawaban pasti. Namun, satu-satunya alasan pembenar adalah kedua kubu harus menggelorakan sikap siap menang dan siap kalah," kata Dewi.

Oleh karena itu, Dewi memandang perlu rekonsiliasi kedua kubu peserta Pilpres 2014 demi kepentingan nasional dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

"Sejak sekarang harus sudah merancang bentuk rekonsiliasi sosial secara nasional, di samping kedua kubu harus menggelorakan sikap siap menang dan siap kalah," katanya.

Dewi yang juga wakil rakyat asal Daerah Pemilihan Jawa Tengah IX meminta semua pihak untuk tidak menstigmakan salah satu di antara dua kontestan Pilpres itu yang kelak akan menjadi penghancur tatanan situasi politik nasional.

Dewi menegaskan, "Bagaimanapun rakyat tidak hanya membutuhkan presiden, tetapi pemimpin berkarakter yang secara nyata bisa memimpin negeri ini menuju cita-cita awal NKRI didirikan, yakni negara adil dan makmur penuh kedamaian. Apalah arti tujuan sejahtera tanpa kedamaian dalam prosesnya?"
   
Duta Universitas Indonesia (Duta UI) untuk Reformasi Birokrasi itu juga mengajak semua pihak merunduk, merenung, berpikir, dan bersikap arif.

"Rakyat harus tetap sebagai pemenang. Rakyat adalah satu, rakyat harus utuh, bukan rakyat versi kubu A atau kubu B," kata Dewi selaku Koordinator Sukarelawan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden RI Jokowi-JK Posko Mangunsarkoro, Jakarta.

Kubu salah satu peserta Pilpres 2014 sudah menyatakan siap menang dan siap kalah. Bahkan, jauh hari atau tepatnya dalam Debat Capres dan Cawapres di Jakarta, Sabtu (5/7) malam, Capres RI Prabowo Subianto mengatakan, "Kami akan menghormati putusan Rakyat Indonesia demi bangsa Indonesia yang saya cintai."
   
Dua kubu sudah menyatakan menerima apa pun kehendak rakyat. Semoga tidak sebatas retorika. Mereka tidak hanya berani menyatakan kalah di hadapan rakyat Indonesia, tetapi juga mendatangi sang pemenang dengan mengucapkan selamat.

Tidak cukup sampai di situ, kubu yang kalah juga harus punya komitmen mendukung capres terpilih sepanjang program sang pemenang berorientasi pada kepentingan rakyat Indonesia dan keutuhan NKRI.

Dengan demikian, pertarungan dalam Pilpres 2014 tidak berlanjut hingga parlemen karena mereka punya keinginan yang sama dalam mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia, yaitu negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.

Pewarta: Oleh D.Dj. Kliwantoro

Editor : Aprionis


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2014