Puluhan wartawan yang tergabung dalam Aliansi Wartawan Maluku Utara (AWMU), Jumat, menggelar aksi solidaritas di Mapolda Malut dan Polres Ternate terkait dengan tindakan kekerasan terhadap pekerja pers di Indonesia, terutama saat meliput di lapangan.
Koordinator massa Sahmar Ebamz menyebutkan sejumlah wartawan menjadi sasaran kebrutalan oknum polisi saat Iiputan aksi penolakan RUU KUHP dan UU KPK. Bahkan, peristiwa itu hampir terjadi di berbagai daerah. Padahal, para jurnalis yang menjadi korban sedang melakukan peliputan yang dilindungi oleh UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Pada bulan September, kata dia, setidaknya ada belasan wartawan mengalami kekerasan oleh aparat keamanan, yakni di Jakarta empat orang, Makassar tiga korban, sehari sebelumnya di Jayapura ada tiga korban.
Empat korban di Jakarta berasal dari Kompas.com, IDN Times, Katadata, dan jurnalis dari Metro TV. Keempatnya mengalami kekerasan karena merekam aksi kebrutalan aparat terhadap demonstran.
Begitu pula, di Makassar dan Jayapura. Bahkan, oknum aparat dengan gelap mata melakukan tindakan fisik terhadap jurnalis.
Tidak sampai di situ, wartawan Kantor Berita ANTARA Darwin Fatih menjadi korban pemukulan polisi saat aksi unjuk rasa terjadi di depan Gedung DPRD Provinsi Sulawesi Selatan yang berujung bentrok, Selasa (24/9).
Darwin mendapat luka di kepala setelah oknum polisi melakukan pemukulan dengan pentungan. Padahal, dia sudah menggunakan atribut pewartanya berupa kartu pers saat meliput bentrokan ini.
Ia menyatakan peristiwa tersebut bermula ketika polisi membubarkan massa aksi dari mahasiswa saat bentrokan yang kedua kalinya terjadi di depan Kantor DPRD Provinsi Sulawesi Selatan. Kasus seperti ini tidak bisa dibiarkan, harus ada kejelasan hukum atas perlakuan yang dilakukan oknum aparat keamanan terhadap wartawan saat meliput.
Massa juga meminta Kapolri Jenderal Pol. Tito Karnavian menindak tegas oknum polisi yang melakukan kekerasan terhadap wartawan saat peliputan aksi.
Mereka juga meminta Kapolda Malut untuk menginstruksikan seluruh anggotanya agar tidak melakukan kekerasan terhadap wartawan d Maluku Utara.
Dalam tuntutannya, massa juga menolak RKHUP karena membungkam hak pers.
Mereka menghimbau masyarakat agar tidak melakukan kekerasan terhadap wartawan saat melakukan kegiatan peliputan.
Wakapolda Malut Kombes Pol. Lukas A. Abriari saat menemui puluhan massa aksi meminta kepada wartawan di Malut saat meliput aksi unjuk rasa dilengkapi indentitas agar terhindar dari tindakan kekerasan yang dilakukan personel kepolisian saat menghalau massa.
Sementara itu, ketika berunjuk rasa di Mapolres, massa ditemui Kapolres Ternate AKBP Azhari Juanda.
Penunjuk rasa meminta kepolisian memberi jaminan perlindungan kepada wartawan saat melakukan peliputan.
Kepada puluhan wartawan, Kapolres Ternate AKBP Azhari Juanda menyatakan pihaknya telah mengeluarkan instruksi kepada seluruh jajarannya untuk memberikan perlindungan terhadap pekerja pers.
Dalam aksi yang berlangsung aman dan tertib ini, diikuti puluhan wartawan media cetak, kontributor TV, dan media daring. Mereka mengakhiri aksinya di depan Kantor RRI Ternate.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2019
Koordinator massa Sahmar Ebamz menyebutkan sejumlah wartawan menjadi sasaran kebrutalan oknum polisi saat Iiputan aksi penolakan RUU KUHP dan UU KPK. Bahkan, peristiwa itu hampir terjadi di berbagai daerah. Padahal, para jurnalis yang menjadi korban sedang melakukan peliputan yang dilindungi oleh UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Pada bulan September, kata dia, setidaknya ada belasan wartawan mengalami kekerasan oleh aparat keamanan, yakni di Jakarta empat orang, Makassar tiga korban, sehari sebelumnya di Jayapura ada tiga korban.
Empat korban di Jakarta berasal dari Kompas.com, IDN Times, Katadata, dan jurnalis dari Metro TV. Keempatnya mengalami kekerasan karena merekam aksi kebrutalan aparat terhadap demonstran.
Begitu pula, di Makassar dan Jayapura. Bahkan, oknum aparat dengan gelap mata melakukan tindakan fisik terhadap jurnalis.
Tidak sampai di situ, wartawan Kantor Berita ANTARA Darwin Fatih menjadi korban pemukulan polisi saat aksi unjuk rasa terjadi di depan Gedung DPRD Provinsi Sulawesi Selatan yang berujung bentrok, Selasa (24/9).
Darwin mendapat luka di kepala setelah oknum polisi melakukan pemukulan dengan pentungan. Padahal, dia sudah menggunakan atribut pewartanya berupa kartu pers saat meliput bentrokan ini.
Ia menyatakan peristiwa tersebut bermula ketika polisi membubarkan massa aksi dari mahasiswa saat bentrokan yang kedua kalinya terjadi di depan Kantor DPRD Provinsi Sulawesi Selatan. Kasus seperti ini tidak bisa dibiarkan, harus ada kejelasan hukum atas perlakuan yang dilakukan oknum aparat keamanan terhadap wartawan saat meliput.
Massa juga meminta Kapolri Jenderal Pol. Tito Karnavian menindak tegas oknum polisi yang melakukan kekerasan terhadap wartawan saat peliputan aksi.
Mereka juga meminta Kapolda Malut untuk menginstruksikan seluruh anggotanya agar tidak melakukan kekerasan terhadap wartawan d Maluku Utara.
Dalam tuntutannya, massa juga menolak RKHUP karena membungkam hak pers.
Mereka menghimbau masyarakat agar tidak melakukan kekerasan terhadap wartawan saat melakukan kegiatan peliputan.
Wakapolda Malut Kombes Pol. Lukas A. Abriari saat menemui puluhan massa aksi meminta kepada wartawan di Malut saat meliput aksi unjuk rasa dilengkapi indentitas agar terhindar dari tindakan kekerasan yang dilakukan personel kepolisian saat menghalau massa.
Sementara itu, ketika berunjuk rasa di Mapolres, massa ditemui Kapolres Ternate AKBP Azhari Juanda.
Penunjuk rasa meminta kepolisian memberi jaminan perlindungan kepada wartawan saat melakukan peliputan.
Kepada puluhan wartawan, Kapolres Ternate AKBP Azhari Juanda menyatakan pihaknya telah mengeluarkan instruksi kepada seluruh jajarannya untuk memberikan perlindungan terhadap pekerja pers.
Dalam aksi yang berlangsung aman dan tertib ini, diikuti puluhan wartawan media cetak, kontributor TV, dan media daring. Mereka mengakhiri aksinya di depan Kantor RRI Ternate.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2019