Jakarta (Antara Babel) - Rendahnya penyerapan anggaran belanja hingga saat ini masih menjadi masalah pada pelaksanaan APBN meski pemerintah sudah melakukan berbagai upaya untuk mengatasinya.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidato penyampaian keterangan pemerintah atas Rancangan UU tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2015 Beserta Nota Keuangannya kepada DPR, mengakui belum optimalnya penyerapan anggaran hingga saat ini.

"Dalam implementasinya, proses penyerapan anggaran masih perlu dioptimalkan," kata Presiden Yudhoyono.

Ia menyebutkan dalam beberapa tahun terakhir ini, pemerintah telah berupaya mengatasi keterlambatan penyerapan anggaran dengan mempercepat proses dan prosedur penganggaran. Namun hingga saat ini penyerapan anggaran masih cenderung menumpuk pada triwulan terakhir.

Selain rendahnya penyerapan anggaran, Presiden juga menyebutkan adanya sejumlah tantangan dalam perencanaan anggaran dan pembangunan pada beberapa tahun terakhir seperti pengkaplingan anggaran belanja untuk bidang-bidang tertentu.

Untuk memenuhi amanat penyelenggaraan negara sesuai UUD 1945, Kepala Negara berharap pihak eksekutif dan legislatif tidak lagi membuat regulasi yang melakukan pengkaplingan alokasi anggaran untuk bidang-bidang tertentu, kecuali yang sudah diamanatkan di UUD 1945, seperti dana pendidikan 20 persen dari dana APBN dan APBD.

Langkah yang mungkin dapat dilakukan terkait pengkaplingan tersebut adalah harmonisasi peraturan perundangan, terutama yang terkait dengan aturan penganggaran. Hal itu dimaksudkan untuk mengurangi terbatasnya ruang gerak fiskal dalam mendukung pencapaian sasaran pembangunan.

Menurut Presiden, kebijakan penganggaran juga menghadapi persoalan "political acceptance" atau penerimaan dan dukungan secara politik, terhadap kebijakan yang sensitif dan kurang populer seperti pengalihan subsidi BBM dan listrik kepada subsidi untuk penduduk miskin.

Belanja subsidi misalnya, dalam 10 tahun terakhir ini, pemerintah terus berupaya untuk membuat subsidi menjadi lebih tepat sasaran dan tak melebihi kepantasan dengan menaikkan harga BBM bersubsidi dan tarif dasar listrik (TDL) beberapa kali.

Pemerintah kemudian mengalihkan sebagian alokasi subsidi BBM dan listrik tersebut kepada subsidi untuk rakyat miskin dan layanan kesehatan. Tahun 2013, pemerintah kembali menaikkan harga BBM bersubsidi dan tahun 2014, pemerintah menaikkan TDL.

"Saya menyadari bahwa kebijakan tersebut tidak populer.  Saya juga merasakan perlawanan politik yang tidak kecil, terhadap kebijakan ini. Tetapi, semua langkah itu dilakukan untuk memastikan agar subsidi menjadi tepat sasaran, yang sesungguhnya juga sesuai dengan rekomendasi audit Badan Pemeriksa Keuangan," katanya.

Ke depan, lanjut dia, diperlukan kesepahaman bersama dari pemerintah dan legislatif, untuk melakukan langkah dan upaya bersama agar subsidi kita benar-benar tepat sasaran, dan jumlahnya tidak melebihi kepatutannya. Langkah bersama seperti itu sangat penting bagi kesinambungan pembiayaan pembangunan di masa mendatang.

Menurut Presiden, kebijakan penganggaran juga menghadapi tantangan dalam keterbatasan ruang fiskal. Proporsi belanja negara yang dialokasikan untuk belanja wajib masih relatif tinggi. Untuk itulah, perlu upaya untuk memberikan ruang gerak yang lebih leluasa agar Pemerintah dapat melakukan intervensi dalam mengatasi tantangan pembangunan.

Prioritas anggaran selayaknya mengedepankan belanja produktif untuk mendukung pembangunan infrastruktur dan mengurangi pendanaan bagi program yang kurang tepat sasaran.

    
APBN 2015
Sementara itu untuk RAPBN 2015, Presiden menyebutkan secara garis besar postur RAPBN 2015 terdiri atas total pendapatan negara yang mencapai sebesar Rp1.762,3 triliun dan total belanja negara sebesar Rp2.019,9 triliun. Total pendapatan negara terdiri dari penerimaan perpajakan sebesar Rp1.370,8 triliun, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sebesar Rp388,0 triliun dan penerimaan hibah sebesar Rp3,4 triliun.

Sementara itu total belanja negara terdiri atas belanja pemerintah pusat sebesar Rp1.379,9 triliun dan transfer ke daerah dan dana desa sebesar Rp640,0 triliun. Dengan demikian, defisit anggaran dalam RAPBN 2015 adalah sebesar Rp257,6 triliun atau 2,32 persen terhadap PDB, turun dari defisit APBNP 2014 sebesar 2,4 persen terhadap produk domestik bruto (PDB).

Presiden menyebutkan salah satu fungsi anggaran belanja negara adalah sebagai penggerak perekonomian. Pengalokasian belanja negara yang tepat sasaran dapat memberikan efek yang besar bagi pertumbuhan ekonomi. Dalam kaitan itulah, pokok-pokok kebijakan belanja Pemerintah Pusat tahun 2015 diarahkan antara lain untuk mendukung penyelenggaraan pemerintahan yang efisien dan efektif melalui program reformasi birokrasi pada kementerian negara dan lembaga serta perbaikan kualitas belanja.

Selain itu meningkatkan daya saing dan kapasitas produksi serta melakukan upaya pengentasan kemiskinan, mendukung percepatan pencapaian kekuatan dasar TNI yang diperlukan (minimum essential force) sesuai dengan kemampuan keuangan negara dengan lebih memberdayakan industri pertahanan dalam negeri, mningkatkan efektivitas kebijakan anggaran subsidi yang tepat sasaran melalui pengendalian besaran subsidi baik subsidi energi maupunsubsidi nonenergi.

Juga diarahkan untuk mendukung pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup serta  melakukan mitigasi terhadap potensi bencana dan adaptasi terhadap dampak bencana terkini dalam rangka meningkatkan ketahanan pangan termasuk air dan energi.

Selain itu untuk meningkatkan dan memperluas akses pendidikan yang berkualitas, meningkatkan kualitas penyelenggaraan sistem jaminan sosial nasional di bidang kesehatan dan ketenagakerjaan, dan mengantisipasi ketidakpastian perekonomian global melalui dukungan cadangan risiko fiskal.

Sementara itu untuk penyerapan anggaran APBNP 2014 hingga akhir Juni 2014, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengungkapkan penyerapan anggaran oleh kementerian-lembaga lebih tinggi sekitar lima persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2013.

Menurut Direktur Jenderal Anggaran Kemenkeu, Askolani, pemotongan alokasi belanja pemerintah sebesar Rp43 triliun, juga turut mempengaruhi kementerian-lembaga dalam menggunakan anggarannya. Berdasarkan APBNP 2014, belanja negara mencapai Rp1.876,9 triliun. Dari jumlah tersebut pos belanja anggaran belanja kementerian sebesar Rp602,292 miliar.

Askolani memperkirakan sepanjang tahun ini penyerapan anggaran oleh kementerian-lembaga bisa mencapai 95 persen.

"Itu bisa plus atau sedikit di bawah, tapi itu lebih baik dibandingkan kalau normal 89-90 persen ," katanya.

Pemerintah memperkirakan realisasi belanja kementerian-lembaga sepanjang paruh pertama 2014 akan mencapai Rp176.281,9 miliar atau 29,3 persen dari total anggaran.

                                                                Benahi APBN
Sementara itu pengamat ekonomi Institute for Development of Economist and Finance (Indef), Eko Listianto berpendapat presiden dan wakil presiden terpilih Joko Widodo-Jusuf Kalla harus memprioritaskan pembenahan postur APBN sebagai upaya pertama yang dilakukan dalam merumuskan program pembangunan ekonomi.

"Ada tiga hal yang harus dilakukan dalam membenahi postur APBN yaitu soal subdisi bahan bakar minyak (BBM), utang serta belanja rutin," katanya.

Menurut dia, alokasi subsidi BBM dalam APBN saat ini terlalu besar dimana sebagian besar anggaran lebih banyak ditujukan hanya untuk energi saja sehingga harus ada reformasi kebijakan terkait dengan alokasi subsidi BBM dengan membuat skema baru sehingga APBN tidak lagi terbebani karena hal ini.

Kemudian yang perlu menjadi perhatian adalah utang yang terlalu besar dan dinilai tidak efektif penggunaanya untuk belanja pembangunan. Eko berpendapat perlu dicari cara agar utang yang selama ini digunakan untuk belanja pembangunan dapat lebih efektif penyerapannya.

Selanjutnya, belanja rutin yang terlalu besar dalam APBN juga harus ditinjau ulang dalam rangka memperbaiki postur APBN. Belanja rutin cukup besar namun penyerapannya hanya efektif ketika triwulan IV sehingga pada akhirnya program yang dijalankan menjadi tidak maksimal.

"Tidak hanya itu setiap akhir tahun juga terjadi fenomena bersisanya anggaran sebagai indikasi tidak maksimalnya penyerapan," lanjut dia.

Selain itu, ia melihat percepatan pembangunan infrastruktur juga menjadi pekerjaan rumah yang harus dikebut oleh pemerintah. Skemanya tidak hanya menggantungkan pada APBN namun juga dapat melibatkan swasta karena ini mendesak untuk dituntaskan.

Menurut dia, yang lebih penting dari semua itu adalah aksi nyata yang harus dilakukan karena selama ini sudah terlalu banyak rencana dan program namun lemah pada tataran aplikasi.

"Presiden baru beserta jajarannya harus lebih banyak di lapangan dalam bekerja, tidak lagi sibuk membuat rencana aksi dan berkutat dalam wacana saja," kata Eko Listianto.***2***

Pewarta: Oleh Agus Salim

Editor : Aprionis


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2014