Solo (Antara Babel) - Bisa jadi sopir taksi di Solo lebih mengenal alamat gereja-masjid jika penumpangnya merasa sulit mencari rekan atau anggota keluarga yang berdomisili di sepanjang ruas jalan Gatot Subroto di kota itu.

Jika anda baru tiba di Bandara Adi Sumarmo, Solo, lantas hendak menemui anggota keluarga atau teman di kawasan Jalan Gatot Subroto, Solo, dengan menyebut alamat gereja-masjid, maka sang sopir akan paham bahwa alamat yang dimaksud pasti Jalan Gatot Subroto, Solo, Nomor 222.

Disebut gereja-masjid karena di alamat yang sama itu pula dua rumah ibadah: Masjid dan Gereja hadir di tengah masyarakat Solo yang pluralis sejak Indonesia belum lepas dari tangan kolonial Belanda. Masjid Al Hikmah dan Gereja Kristen Jawa Joyodiningratan dibangun hampir dalam waktu bersamaan untuk membangun akhlak mulia bagi umat berbeda keyakinan.

Kehadiran dua rumah ibadah tersebut, bagi setiap anak bangsa yang menyaksikan bangunan tersebut dari tepi jalan, tentu memunculkan banyak pertanyaan. Pertanyaan sederhananya, kok bisa bangunan itu berdiri berdampingan. Apakah ketika melaksanakan ritual ibadah masing-masing pemeluknya (baik Kristen dan Islam) tidak saling mengganggu atau terganggu tanpa sengaja.

Bagaimana jika ada suara azan berkumandang dari masjid Al Himah, sedang umat Kristen di Gereja Kristen Jawa Joyodiningratan yang di sebelahnya tengah melaksanakan kegiatan pelayanan umat seperti kebaktian. Atau paling tidak, rapat dan seluruh aktivitas sosial ikut terganggu. Bohong, tentu, kalau ada orang yang mengaku kedua umat tersebut merasa tidak terganggu.

"Ya, terganggu. Tapi, toh kita - umat Krisen dan Islam di sini - sudah puluhan tahun bisa melaksanakan ibadah dengan baik," kata Pantas, seorang anggota Satpam Gereja Kristen Jawa Joyodiningratan.

Bagi pendatang, yang melintas di muka dua rumah ibadah yang berdampingan tersebut, ada juga punya pandangan "minor". Katanya, ah itu kan akal-akalan penguasa saja untuk memetik keuntungan dari pencitraan kerukunan di negeri ini. Penguasa ingin memperlihatkan bahwa kerukunan di tengah masyarakat majemuk masih ada.

Pandangan semacam itu, sah-sah saja. Apa lagi dalam era reformasi, siapa pun bisa menyampaikan argumentasinya. Bahkan lebih panjang lagi tentang kerukunan di negeri ini yang dirasakan masih perlu dibenahi. Tapi, harus dicatat bahwa kedua bangunan rumah ibadah itu hadir bukan didorong atau diprakarsai oleh penguasa. Kedua rumah ibadah itu berdiri sejak Indonesia belum merdeka atas inisiatif pimpinan dari kedua agama, Islam dan Kristen. Gereja Kristen Jawa Joyodiningratan dibangun pada 1939. Kemudian dibangun di sisi kanannya Masjid Al Hikmah pada 1947.

Ahli waris Masjid al Himah, Haji Syamsi berpesan, di lahan yang berdekatan dengan gereja itu boleh dibangun masjid. Asal, pesan dia, kerukunan harus dijaga. Untuk menjaga kerukunan itu, lantas para pengurus dua rumah ibadah membangun tugu lilin pada 1960-an sebagai simbol perdamaian antarpemeluk agama.

Belakangan ini, soal kerukunan kerap dibahas diberbagai media. Sejatinya, soal akan kerukunan itu sudah ada jauh sebelum Indonesia merdeka. Toleransi dan semangat gotong royong sudah mengakar di bumi pertiwi.

    
Semangat toleransi

Teori dalam ilmu sosial menjelaskan bahwa kedua umat berbeda dalam menjalankan ibadah tanpa saling menggangu disebut sebagai toleransi. Benar, bahwa dalam konteks sosial, budaya dan agama yang berarti sikap dan perbuatan yang melarang adanya diskriminasi terhadap kelompok-kelompok yang berbeda atau tidak dapat diterima oleh mayoritas dalam suatu masyarakat dikenal dengan istilah toleransi. Misalnya toleransi beragama, penganut mayoritas dalam suatu masyarakat menghormati keberadaan agama atau kepercayaan lainnya yang berbeda.

Namun dalam realitasnya, toleransi - dalam pemahaman awam - dimaknai bahwa pihak luar (kamu) harus paham apa dan siapa diri (ku). Dalam praktek keseharian, bagi dua penganut agama berbeda di Jalan Gatot Subroto Nomor 222 Solo itu, toleransi dimaknai saling memahami, menghormati, saling kasih dan membantu satu sama lain. Jadi tak sebatas menghormati saja, jauh dari itu. Walau beda penghayatan (akidah), dalam berbuat kebaikan satu sama lain terpelihara dengan baik.

Pendeta Nunung Istining Hyang STh - sebagai pimpinan di Gereja Kristen Jawa Joyodiningratan -ketika dijumpai penulis, Kamis (21/8) siang, mengaku suara azan yang didengarnya memang mengganggu. Demikian juga jemaah di masjid sebelah, Nunung menilai tentu merasa terganggu juga dengan aktivitas gereja ketika penyelenggaraanya kebetulan bersamaan. Namun tingkat gangguan itu, tentu tidak lantas merusak jalannya ibadah masing-masing. Pihaknya selalu berkomunikasi dengan pengurus masjid jika di gereja akan dilaksanakan ibadah kebaktian yang melibatkan banyak orang.

Pihak masjid pun demikian. Jika punya acara seperti Isra Mi'raj atau Maulid Nabi, pihak gereja menunda acara kebaktian. Setelah acara penting di masjid selesai, gereja baru melaksanakan kebaktian. Saat Ramadhan berlangsung, kegiatan malam hari di gereja disesuaikan dengan acara di masjid.

Jika Idul Adha akan tiba, pihak masjid memberi tahu dan minta izin menempatkan ternak (sapi dan kambing) di parkiran halaman depan gereja. Dulu, saat buka puasa pihak gereja ikut memberi kontribusi. Setelah dipersoalkan orang luar, bantuan makanan buka puasa, atas kesepakatan bersama dihentikan. Jika saja pihak masjid peralatan pengeras suara rusak untuk hari-hari besar Islam, gereja pun ikut membantu. Tatkala gereja punya acara besar dan minta bantuan pengurus masjid agar tak mengeraskan suara azan, malah pengurus masjid tak menggunakan pengeras suara saat azan sama sekali. "Kita merasa dihormati sekali," katanya.

Pak haji sebelah - maksudnya takmir Masjid Al Hikman H. Nasir AB - juga datang ke gereja setelah rituan natal selesai. Jika ada hari besar Kristen seperti Natal, pengurus masjid selalu berkomunikasi. "Kita pun sering berkomunikasi dengan pengurus masjid. Sehingga, dalam menjalankan ibadah kita tak pernah menghadapi masalah," katanya.

Masalah, memang selalu ada dan bisa dibesarkan. Tapi, itu tidak di kalangan pengurus gereja dan masjid di sini. Pernah pengurus masjid lupa memberi tahukan ada acara halaqoh. Padahal saat itu jemaah gereja punya kegiatan yang juga melibatkan banyak orang. "Toh, kita bisa selesaikan dengan baik. Jadi, berbagi kasih itu sangat indah," cerita pendeta Nunung didampingi Bambang Wirawan selaku wakil pengurus gereja di situ.

Terkait dengan bangunan rumah ibadah berdempetan, satu alamat pula, Nunung mengaku hal itu juga terasa aneh bagi dirinya. Sepertinya para orang tua dan pemuka agama terdulu sudah mengerti pentingnya orang memeluk agama. Bukan saja menganut agama tertentu, tetapi juga bagaimana dapat menjalankannya dengan baik.

Bangunan Gereja Kristen Jawa Joyodiningratan memiliki luas 1.300 meter persegi dengan sertifikat hak gereja. Umat Kristiani yang aktif di gereja tersebut sebanyak 700 orang. Gereja tersebut tak dilengkapi lonceng sebagaimana gereja yang kebanyakan dibangun di zaman Belanda. Mungkin mengandung makna lonceng dapat mengganggu ibadah umat Islam di Masjid Al Hikmah di sebelahnya. Masjid Al Hikmah - dengan luas tanah 160 meter dan luas bangunan berlantai dua 320 meter persegi - itu juga tak punya bedug, seperti di Istiqlal.

Pendeta Nunung mengaku akan mewakafkan usianya untuk melayani umat di gereja itu. Perempuan kelahiran Kulonprogo dan lulusan Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta (2009) kini terlihat bahagia bersama suaminya Heri Kristiawan dengan dua anaknya. Karena ia yakin hidup tidak perlu dikhawatirkan. Terlebih dalam menjalankan ibadah. Hukum kasih berlaku bagi semua umat.

Pewarta: Oleh Edy Supriatna Sjafei

Editor : Aprionis


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2014