Depok  (Antara Babel)  -  Pasca-putusan Mahkamah Konstitusi  yang menolak seluruh gugatan pasangan calon presiden Prabowo Subianto-Hatta Rajasa isu akan melompatnya sebagian partai dari Koalisi Merah Putih ke kubu Joko Widodo-Jusuf Kalla mulai terdengar.

Bahkan menurut calon presiden terpilih Joko Widodo (Jokowi) beberapa waktu lalu, akan ada parpol dari kubu rival yang bergabung untuk mendukung pemerintahannya.

Tentu saja para elit politik Koalisi Merah Putih yang merupakan pendukung Prabowo-Hatta menganggap pernyataan itu sebagai manuver yang belum tentu kebenarannya. Mereka pun menyarankan agar manuver tersebut dihentikan
      
Wakil Bendahara Umum Partai Golkar Bambang Soesatyo misalnya mengingatkan Jokowi selaku calon presiden terpilih agar konsisten soal perlunya pemerintahan yang mendapat pengawasan efektif dari semua pihak. Karena itu, Bambang meminta Jokowi tidak menggoda partai-partai yang tergabung dalam KMP untuk hengkang dan menjadi penyokong pemerintahan baru nanti.

Dia merasa perlu menyampaikan hal tersebut karena Joko Widodo yang akrab disapa Jokowi dalam berbagai kesempatan menyatakan perlunya pengawasan efektif terhadap pemerintahan mendatang. Bahkan, Jokowi juga mengajak relawan-relawan yang mendukungnya di pemilu presiden lalu untuk ikut mengawasi pemerintahan.

"Kalau Jokowi konsisten dengan keinginan untuk diawasi, peran itu otomatis akan dijalankan juga oleh Koalisi Merah Putih sebagai kekuatan penyeimbang di DPR," kata Bambang sambil menyarankan agar Jokowi membiarkan Koalisi Merah Putih (KMP) tetap solid demi kepentingan tersebut.

Bambang berpendapat, tidak semestinya Jokowi mengiming-imingi partai anggota KMP dengan jabatan atau malah mengadu domba. "Kalau Jokowi terus menggoda untuk memecah belah Koalisi Merah Putih, komitmennya tentang urgensi pengawasan patut diragukan," kata Bambang.

Jokowi memang pernah menyebutkan bahwa PAN dan Partai Demokrat akan bergabung untuk mendukung pemerintahnya. Menurut dia, proses pendekatan terus berlangsung dengan tetap berpijak pada prinsip koalisi tanpa syarat.

Ketua DPP PDIP Maruarar Sirait juga pernah menyampaikan keyakinannya, setidaknya pada Oktober nanti, akan ada sejumlah partai yang menyusul bergabung ke koalisi Jokowi-JK. Sedikit beda dengan Jokowi, dia mengatakan bahwa yang berpeluang untuk bergabung adalah Partai Demokrat dan PPP.

Jika benar PAN dan Demokrat bergabung dengan koalisi pendukung pemerintahan, kekuatan dukungan Jokowi-JK di parlemen akan naik drastis menjadi 317 kursi dari 560 kursi. Angka itu akan mengungguli KMP yang bakal menjadi 243 kursi (jika benar ditinggal PAN).

Demokrat sendiri bisa dibilang berstatus memberikan dukungan mengambang karena tidak pernah membuat pernyataan secara institusional tentang posisi mereka di parlemen. Dengan konstelasi seperti itu, wajar para pendukung KMP resah.

Sebelumnya politikus PKS Hidayat Nur Wahid juga mengatakan, pernyataan bahwa PAN dan Demokrat akan bergabung, tidak pantas keluar dari calon pemimpin bangsa. "Saya tidak berpretensi beliau mau memecah belah dengan pernyataan tersebut. Tapi, pemimpin itu mestinya mempersatukan. Saya tahu persis Hatta Rajasa komitmen bersama Koalisi Merah Putih."
      
Seusai putusan Mahkamah Konstitusi (MK), Koalisi Merah Putih (KMP) menyatakan berkomitmen berada di luar pemerintahan. Sekjen Partai Golkar Idrus Marham menegaskan, komposisi koalisi pengusung Prabowo-Hatta memberikan lebih dari 50 persen kursi DPR. Koalisi ini disusun oleh Partai Gerakan Indonesia Raya, Partai Amanat Nasional, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Bulan Bintang, Partai Golkar, dan Partai Demokrat.

Dari partai-partai dalam koalisi tersebut, praktis hanya Partai Gerindra yang telah teruji berada di luar pemerintahan, setidaknya untuk satu periode pemerintahan ini. Partai-partai selebihnya tak punya catatan berada di luar pemerintahan.

Namun sikap politik ini dinilai seolah menutup mata atas gejolak yang terjadi di internal beberapa partai utama pengusung Prabowo-Hatta. Sebut saja gejolak di Partai Golkar, Partai Demokrat, dan PPP.

Partai Demokrat dan PPP telah sejak lama memberi sinyal akan bermanuver dan meninggalkan KMP. Sinyal itu mulai muncul setelah Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan Joko Widodo-Jusuf Kalla sebagai presiden dan wakil presiden terpilih.

Bahkan, beberapa hari ini sinyal tersebut makin menguat ketika  Jokowi mengatakan Demokrat akan merapat, Namun, pernyataan itu dibantah oleh petinggi Partai Demokrat.

Untuk PPP, perdebatan mengenai pilihan tandem koalisi telah muncul jauh sebelum Pilpres 2014 bergulir. Keputusan masuk dalam gerbong pendukung Prabowo-Hatta diambil melalui perdebatan panjang dan alot. Meski demikian, Ketua Umum PPP Suryadharma Ali menegaskan, partainya tak akan bergeser dari KMP dan bersama-sama menjalankan peran di luar pemerintahan.

    
                    Internal Golkar
Adapun Golkar, kondisinya juga rumit. Keputusan politik yang diambil Ketua Umum DPP Partai Golkar Aburizal Bakrie yang mencopot jabatan struktural, sampai pada pemecatan sebagai kader mendapat penolakan dari sebagian internal.

Golkar adalah partai politik yang sepanjang sejarahnya di Indonesia belum pernah sekalipun berada di luar pemerintahan. Ketika pilihan bergabung ke koalisi pengusung Prabowo-Hatta memicu konflik di tubuh Golkar, kepastian bukan Prabowo-Hatta yang melenggang ke kursi kekuasaan semakin berpotensi mengguncang partai itu.

Ketua Balitbang DPP Partai Golkar, Indra J Piliang pernah mengatakan bahwa kurikulum partainya tak punya materi yang memandu Golkar bila berada di luar pemerintahan. "Kalau kami mau oposisi, kurikulumnya harus diubah, harus ada pendidikan dalam internal Golkat mengenai oposisi, garisnya seperti apa," ujarnya.

Pengamat politik dari Center Strategic and International Studies (CSIS), J Kristiadi berpendapat, mayoritas parpol di Indonesia sangat memuja pragmatisme kekuasaan. Tujuan politiknya bukan untuk menyejahterakan rakyat, melainkan sebisa mungkin berinvestasi dalam pemerintahan yang berkuasa.

Dengan alasan itu, Kristiadi yakin KMP akan buyar. Satu persatu partai dalam koalisi itu akan merapat ke barisan partai pendukung Jokowi-JK yang bakal memimpin pemerintahan untuk periode lima tahun ke depan.  "Saya tidak melihat koalisinya dibangun karena keprihatinan, tapi untuk kekuasaan," katanya.

Jika sudah begini, wajar jika muncul pertanyaan publik tentang apa yang ada di balik komitmen KMP untuk memilih berada di luar pemerintahan baru mendatang?
      
Menurut pengamat politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Indria Samego nasib Koalisi Merah Putih bakal tak solid sesudah putusan MK, karena dalam membentuk koalisi dasarnya harus jelas, yakni kesamaan ideologi kesamaan platform.

Di dalam KMP, katanya, tidak terdapat kesamaan ideologi karena ada beberapa partai pendukung Prabowo yang berideologi Islam. Sementara platform atau agenda kerja partai yang ingin membela rakyat dan memajukan bangsa juga tidak terdapat dalam koalisi tersebut.

Dia menilai orang-orang di sekitar Prabowo seperti Aburizal Bakrie terpaksa merapat ke Prabowo sebab punya masalah dengan PDI Perjuangan. Sementara PKS, meski sudah lama kenal Prabowo, mereka menganggap harus mendukung lawannya Jokowi.

Setelah Prabowo dinyatakan kalah, Indria juga mempertanyakan kekuatan Prabowo untuk merangkul partai-partai di KMP. Sebab, SBY saja yang dinilai lebih bisa merangkul, dalam praktiknya tidak bisa merangkul seluruh partai koalisinya.

"Sejak awal konsep koalisi permanen sulit untuk bisa dipertahankan. Dalam politik tidak ada lawan dan teman permanen, yang ada kepentingan permanen," ujarnya.

Pewarta: Oleh Illa Kartila

Editor : Aprionis


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2014