Yogyakarta (Antara Babel) - Koperasi sebagai bangun perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama di Indonesia sejatinya bukanlah barang baru.

Namun langkah gerak koperasi hingga detik ini terasa masih saja terjebak pada begitu ketatnya belenggu yang memasungnya untuk go global di ranah internasional.

Meski saat ini sudah ada satu koperasi Indonesia yakni Koperasi Warga Semen Gresik (KWSG) yang berhasil menembus daftar 300 koperasi besar dunia pada peringkat 205, namun prestasi itu tidak lantas  mencerminkan kondisi koperasi secara umum di Tanah Air.

Pemerintah mengaku tidak diam saja bahkan mengupayakan banyak cara untuk mendorong lebih banyak koperasi Indonesia go internasional.

Kementerian Koperasi dan UKM sendiri belum lama ini merilis daftar 100 koperasi besar Indonesia yang siap untuk didorong "go international" mulai tahun ini.

Deputi Bidang Pengembangan dan Restrukturisasi Usaha Kementerian Koperasi dan UKM Braman Setyo mengatakan sudah saatnya koperasi Indonesia lebih banyak masuk dalam daftar 300 koperasi besar dunia versi International Cooperative Alliance (ICA).

"Kami sudah mendata 100 koperasi besar Indonesia yang kami nilai siap untuk go international dan sampai akhir tahun ini setidaknya ada 3 sampai 4 koperasi kita masuk daftar 300 koperasi besar dunia," kata Braman.

Dari 100 koperasi besar itu sebanyak 10 di antaranya Kospin Jasa Pekalongan, Kisel Jakarta, KJKS BMT UGT Sidogiri, Kopdit Lantang Tipo, KWSG Gresik, Kopindosat, Kopdit Pancur Kasih, Kopdit Keling Kumang, Koperasi Astra, dan KSU Sejahtera Bersama Bogor.

"Untuk mendorong mereka go internasional maka perlu pemetaan selanjutnya modernisasi koperasi-koperasi itu," katanya.

Menurut dia perlu dilakukan pembenahan kelembagaan termasuk dalam hal tata kelola koperasi.

Beberapa hal yang paling mendasar dan harus dilakukan oleh koperasi di antaranya melakukan Rapat Anggota Tahunan (RAT) dan memilih manajer yang profesional untuk menjalankan bisnis koperasi.

"Sedangkan pengurus koperasi sebagai pemilik atau pemegang saham serta selaku pengendali dari organisasi koperasi itu," katanya.

Ia juga menekankan pentingnya pengembangan usaha dengan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi untuk memenuhi kebutuhan bisnis di era globalisasi.

Selain itu juga perlu dilakukan diversifikasi usaha koperasi melalui pengembangan unit usaha koperasi dengan menggunakan entitas bisnis seperti PT.

"Koperasi harus membangun sinergi atau jaringan usaha koperasi yang sejenis untuk memperkuat permodalan, usaha, dan jaringan sehingga bisa menjalankan usaha dari hulu ke hilir," katanya.

    
            Masih Jauh
Mimpi koperasi untuk go global dianggap masih jauh panggang dari api oleh sebagian kalangan karena kondisi koperasi di Tanah Air yang belum sepenuhnya mendukung pada pencapaian itu.

LePPeK (Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Koperasi) belum lama ini merilis hasil kajian yang dilakukan pada 2012 yang menunjukkan sebanyak 71 persen koperasi yang ada di Indonesia dalam kondisi tinggal papan nama.

Ketua LePPek Suroto mengatakan dari sekitar 200.000 unit koperasi sebanyak 71 persen di antaranya tinggal papan nama sementara 22 persen sisanya dalam kondisi mati suri alias hidup segan mati tak mau.

"Jadi total hanya 7 persen yang dalam kondisi sehat dan mandiri," katanya.

Pihaknya mencatat jumlah koperasi Indonesia menurut BPS pada 2013 sebanyak 200.808 primer koperasi dengan jumlah anggotanya sebanyak 35 juta orang.

"Jumlah tersebut sangat fantastis, namun sekaligus menyedihkan. Kalau dibuat rata-rata berarti setiap koperasi itu anggotanya hanya 175 orang. Belum lagi bila ditinjau dari volume bisnisnya," katanya.

Menurut Suroto dalam kondisi ini, koperasi Indonesia jelas kalah jauh jika dibandingkan dengan negara-negara lain, apalagi untuk bersaing dan go internasional.

Bahkan dengan negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia yang tercatat memiliki jaringan koperasi sangat kuat dan mendominasi perekonomian negara.

"Sebut misalnya NTUC Fair Price yang menguasai 62 persen pangsa pasar ritel dan NTUC Income yang menjadi perusahaan asuransi nomor 2 di Singapura," katanya.

Suroto berpendapat masalah paling krusial bagi koperasi di Indonesia adalah ketidakpahaman masyarakat gerakan koperasi Indonesia sendiri itu terhadap keunggulan dari organisasi koperasi.

"Masyarakat kita tahunya koperasi itu hanya urusan mencari pinjaman dalam jumlah kecil untuk sekadar memenuhi kebutuhan rumah tangga kecil-kecil," katanya.

Selain itu peranan pemerintah yang kerap kali keliru dalam menempatkan kebijakan perkoperasian termasuk melahirkan produk regulasi yang tidak memadai.

Akibatnya koperasi selalu ditempatkan pada posisi yang kerdil yang hanya mengurusi usaha-usaha kecil saja dan bahkan berbagai produk perundang-undangan di Tanah Air berlaku diskriminatif terhadap koperasi.

Padahal ia menegaskan koperasi itu sebetulnya secara organisasi lebih unggul, karena semua orang bisa menjadi pemiliknya.

"Mana ada yang bisa menyainginya. Sebutlah apa yang dilakukan oleh Perseroan, paling hanya jalankan skema ESOP (employee share ownership programme) atau bagi saham pada karyawan," katanya.

Ia berpendapat koperasi Indonesia bisa berkembang dan bersaing di tingkat global, bahkan bisa menggusur peranan perusahaan multinasional jika mau menerapkan beberapa prasyarat penting.

"Terapkan ICIS (International Co-operative Identity Statement) atau jati diri koperasi yang sudah jadi standar internasional itu sepenuhnya. Kemudian kembangkan profesionalisme manajemen yang berbasis nilai," katanya.

Dua prasyarat itu dinilainya paling penting karena kemampuan internal koperasi peranannya lebih dominan ketimbang faktor eksternalnya, misalnya dalam masalah regulasi, kebijakan, lingkungan sosial, dan politik.

Ia menyarankan hal-hal yang perlu dilakukan ke depan di antaranya mencabut badan hukum koperasi yang tidak jelas dalam melaksanakan prinsip-prinsip koperasi, menyusun UU baru yang sesuai dengan jati diri koperasi, dan melakukan revolusi menyeluruh institusi perkoperasian terutama Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin) dan Kementerian Koperasi dan UKM.

    
             Harusnya Bisa
Masih sepinya koperasi Indonesia yang go internasional sejatinya mencerminkan ketatnya belenggu yang menghambat perkembangan maju koperasi Indonesia.

Meski jumlah koperasi di Indonesia terus terdongkrak naik namun perannya belum terlampau signifikan dalam perekonomian bangsa bahkan banyak dari mereka yang diselewengkan sebagai wadah penggalangan dana lantaran lemahnya fungsi pengawasan.

Menteri Koperasi dan UKM Sjarifuddin Hasan berpendapat seharusnya mudah bagi koperasi Indonesia untuk go internasional sepanjang mendapat dukungan dari seluruh pemangku kepentingan terkait.

"Seharusnya bisa, saya bahkan punya ambisi yang belum tercapai yakni ada lebih dari tiga sampai empat koperasi kita yang masuk dalam 300 koperasi besar dunia," katanya.

Sayangnya mimpi itu boleh jadi belum akan tercapai sampai akhir masa jabatannya selesai karena Sjarifuddin segera mengundurkan diri untuk dilantik sebagai anggota DPR RI.

Ia sendiri menyadari koperasi untuk bisa go internasional memerlukan payung hukum yang memuat fungsi-fungsi pengawasan yang bahkan belum diatur dalam UU Nomor 25 Tahun 1992 tentang Koperasi.

Oleh karena itu Sjarifuddin Hasan meminta kepada siapapun nanti yang akan menggantikannya sebagai menteri untuk fokus merampungkan RUU Perkoperasian.

"Pesan saya tinggal ditingkatkan saja apa yang sudah ada sekarang. Hanya tolong RUU Perkoperasian dibereskan," kata Sjarifuddin Hasan.

Ia mengatakan sampai saat ini ia sudah membentuk tim internal untuk merancang draft RUU Perkoperasian.

"Rancangan draft akademiknya sudah 90 persen, jadi tinggal dirampungnya saja untuk diajukan ke DPR," katanya.

Menurut dia RUU Perkoperasian harus segera mungkin dibahas dan dirampungkan untuk memberikan jaminan dan payung hukum untuk koperasi di Tanah Air pasca-dibatalkannya UU Nomor 17 Tahun 2012 Tentang Perkoperasian oleh Mahkamah Konstitusi (MK).

Ketetapan MK yang menggariskan koperasi untuk kembali pada payung hukum lama yaitu UU Nomor 25 Tahun 1992 dinilainya perlu segera diperbaharui mengingat UU lama belum mampu mengakomodir perkembangan koperasi sampai saat ini.

Hal itu terutama dalam hal pengawasan koperasi karena UU lama itu tidak memuat ketentuan soal pengawasan terhadap koperasi.

Dengan begitu simpul-simpul yang membelenggu koperasi untuk go internasional satu per satu bisa diuraikan.

Pewarta: Oleh Hanni Sofia

Editor : Aprionis


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2014