Jakarta (Antara Babel) - Pro kontra mewarnai pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada), salah satunya mengenai opsi kepala daerah kembali dipilih oleh DPRD.

Sejumlah kepala daerah bereaksi terkait dengan opsi tersebut, salah satunya adalah Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama.

Pria yang akrab disapa Ahok ini lantang menyuarakan penolakan terkait opsi kepala daerah kembali dipilih oleh DPRD, bukan oleh rakyat secara langsung seperti saat ini.

Ahok juga memutuskan keluar dari Gerindra, karena partai itu  sepakat dengan opsi kepala daerah dipilih oleh DPRD.

Selain Ahok, Wali Kota Bandung M Ridwan Kamil, Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiarto dan Bupati Kutai Timur, Isran Noor juga menolak opsi tersebut.

Sebagai bentuk penolakan pilkada tidak langsung, para kepala daerah yang tergabung dalam Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) sempat akan melakukan aksi unjuk rasa di Bundara HI, Jakarta Pusat, beberapa waktu lalu.

Melihat sikap kepala daerah tersebut, peneliti politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro, di Jakarta, melihat ada benang merah di antara kepala daerah yang menolak pilkada tak langsung tersebut.

"Para kepala daerah yang menolak opsi pilkada tidak langsung itu adalah mereka yang ingin melakukan reformasi dan terobosan positif untuk daerahnya," katanya.

Namun, kata Siti, bagai dua sisi mata uang, tidak semua kepala daerah yang dipilih oleh rakyat berkualitas karena hingga saat ini masih ada kepala daerah yang terjerat tindak pidana korupsi.

Oleh karena itu, katanya, pembahasan draf RUU Pilkada yang dilakukan saat ini adalah sebagai bentuk koreksi agar menghasilkan kepala daerah terbaik, baik itu dipilih oleh rakyat ataupun DPRD.

"Jadi saya melihat ini semua dilakukan agar pilkada secara umum itu ke depan bisa lebih berkualitas dan bermartabat, produktif, aplikatif untuk kemajuan bangsa ini," ujarnya.

Ia mengatakan, ada poin utama dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah terkait pro kontra yang mencuat saat ini tentang pilkada langsung dan tidak langsung.

Poin utama itu adalah penegakan hukum yakni reformasi birokrasi yang dilakukan oleh partai politik dengan cara menghasilkan kader terbaik sebagai kepala daerah.

"Jika kualitas peserta partainya belum baik, maka sistem apa pun yang akan diterapkan, hasilnya tetap akan seperti saat ini," katanya.

Siti berpesan kepada pemerintah dan DPR yang tengah membahas  RUU ini sebelum ditetapkan menjadi UU Pilkada agar memutuskannya sesuai dengan teks konstitusional, filosofis, landasan yang jelas serta memenuhi konteks empirisnya hingga keputusan yang diambil bermanfaat besar bagi bangsa.

    
    Patahkan Politik Uang
Sementara itu, Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia (LIMA), Ray Rangkuti, menambahkan kepala daerah yang saat ini menolak opsi pilkada tak langsung menunjukkan bahwa tanpa politik uang mereka bisa menduduki jabatan politik (kepala daerah).

"Mereka itu juga ingin membantah anggapan bahwa pilkada langsung itu biaya politiknya tinggi atau mahal, bisa menimbulkan konfik dan lain-lain," ujar Ray Rangkuti.

Sosok kepala daerah tersebut, kata Ray, lahir dari kesadaran masyarakat yang merindukan sosok seorang pemimpin ke arah perubahan positif tanpa embel-embel partai politik, suku, ras dan agama.

"Teman-teman kepala daerah yang menolak opsi pilkada dipilih DPRD adalah mereka-mereka yang ingin mewujudkan Indonesia lebih baik," kata dia.

Ia mengusulkan agar ke depannya setiap calon kepala daerah diaduit harta kekayaannya bukan hanya melaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

"Hal itu wajib dilakukan, diaudit hartanya agar ketahuan bagaimana ia mendapatkan dananya. Tahu berapa jumlahnya setelah dan sebelum menjabat," kata Ray.

Sejumlah warga Jakarta menilai, jika kepala daerah kembali dipilih oleh DPRD, berarti hak konstitusionalnya tidak diberikan dalam proses demokratisasi di negara ini.

"Berikan saya kesempatan untuk memilih calon kepala daerah saya. Karena saya merasa mereka yang ada di DPRD tidak semuanya murni memperjuangan keinginan rakyat," kata salah seorang warga Jakarta Timur, Kemal Maulana.

Pewarta: Oleh Ajat Sudrajat

Editor : Aprionis


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2014