Jakarta (Antara Babel) - Dalam sejumlah kesempatan, Menteri Kelautan dan Perikanan Sharif Cicip Sutardjo kerap mengatakan nelayan tradisional saat ini relatif lebih sejahtera sejak dilaksanakannya program Peningkatan Kesejahteraan Nelayan (PKN).

"Sejak dicanangkan program PKN di tahun 2011, kehidupan nelayan menjadi lebih sejahtera dengan diikuti peningkatan pendapatan mereka," kata Sharif Cicip Sutardjo.

Menurut dia, hal itu menunjukkan bahwa kepedulian pemerintah dalam membantu peningkatan kesejahteraan nelayan kian menunjukkan hasil nyata.

Menteri Kelautan dan Perikanan mengemukakan, pemerintah melalui KKP terus memperkuat basis data nelayan berupa pemetaan data rinci sehingga bantuan bagi nelayan menjadi tepat sasaran serta pemantauan bisa dilakukan secara efektif.

"Informasi mengenai berbagai profil dan karakteristik rumah tangga miskin menurut sektor/sub sektor sangat dibutuhkan. Pasalnya, pengentasan dan penanggulangan kemiskinan bisa berbeda antarwilayah, sektor maupun kelompok dan penduduk," lanjutnya.

Ia juga mengatakan, seiring dengan itu, dalam mendata jumlah masyarakat kurang mampu, KKP telah memperkuat sinergi antarlembaga serta pemerintah daerah.

Namun, kesuksesan peningkatan kesejahteraan yang diklaim Menteri Kelautan dan Perikanan itu bisa saja tergerus oleh kebijakan pembatasan BBM subsidi khususnya solar yang dibutuhkan nelayan untuk melaut.

Seperti diberitakan bahwa sejumlah nelayan tradisional di Kelurahan Muara Baru, Jakarta Utara, kesulitan mendapatkan solar sehingga mereka kesulitan meningkatkan hasil tangkapan ikan.

"Kami harus antre berjam-jam bahkan terkadang tidak mendapatkan solar karena stok BBM di SPBN habis," kata seorang nelayan, Suwarno.

Ia menjelaskan, semenjak diberlakukannya pembatasan penjualan BBM, nelayan sulit mendapatkan solar, bahkan sebagian nelayan tidak melaut dan mencari pekerjaan sampingan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarganya.

"Biasanya nelayan mendapatkan solar 30 hingga 50 liter, namun sekarang hanya mendapatkan 10 hingga 15 liter untuk sekali melaut dan itu tidak cukup untuk melaut selama dua hari," ujarnya beberapa waktu lalu.

Nelayan lainnya, Sudin mengatakan, karena mendapatkan BBM sulit maka sebagian nelayan membeli solar eceran yang harganya cukup tinggi.

"Kami terpaksa menjual tangkapan ikan dengan harga tinggi, agar tidak merugi," ujarnya.

Tidak hanya di ibu kota, nelayan di Pulau Madura, Jawa Timur, kesulitan untuk mendapatkan jatah beli BBM jenis solar bersubsidi, karena pihak SPBU membatasi pembelian dengan menggunakan jerigen.

Busadin (42) salah seorang pemilik perahu di Desa Kaduara Barat, Kecamatan Larangan, Pamekasan, mengaku dirinya sudah tidak melaut akibat tidak mendapatkan jatah beli solar di SPBU.

"Kalau membeli membawa jerigen itu tidak diperbolehkan oleh petugasnya. Katanya dilarang. Padahal kebutuhan kami untuk mesin perahu, ya tidak mungkin membeli menggunakan mobil," tutur Busadin, beberapa waktu lalu.

Ia mengungkapkan, sebagian nelayan di pesisir itu menyiasati melakukan pembelian solar di SPBU dengan menggunakan mobil pikap berbahan bakar solar dan selanutnya solar yang dibeli melalui mobil itu dipindah ke jerigen untuk bahan bakar mesin perahunya.

Sementara di Langkat, Sumut, akibat bahan bakar minyak (BBM) seperti solar sulit didapat mengakibatkan ratusan nelayan tidak melaut.

"Kami sekarang hanya menanti kapan solar bisa dipasok agar nelayan bisa melaut," kata salah seorang nelayan, Burhanuddin, awal September lalu.

Sedangkan di Kupang, kelompok tani-nelayan Provinsi Nusa Tenggara Timur, meminta kebijakan khusus harga BBM dari pemerintah jika nanti terjadi kenaikan.

"Apapun alasannnya, pemerintah harus memberikan perlindungan dengan pemberian harga khusus BBM kepada petani-nelayan saat penaikannya nanti," kata Wakil Ketua Himpunan Kelompok Tani-Nelayan Nusa Tenggara Timur Oktory Gaspers.

Menurut Oktory, kebijakan menaikan harga BBM adalah sebuah langkah buruk bagi nelayan dan petani serta seluruh keluargannya, karena akan mengganggu produktivitasnya masing-masing.

Senada dengan hal itu, Direktur Kajian Strategis Kebijakan Pertanian (KSKP) IPB, Dodik Ridho Nurochman mengatakan, pemerintah harus memastikan masyarakat kalangan rentan seperti petani dan nelayan dapat terlindungi dampak kenaikan bahan bakar minyak.

"Kita harus pastikan kelompok masyarakat yang rentan harus dilindungi dari dampak kenaikan BBM ini," kata Dodik di Bogor, Senin (15/9).

    
        Titik Terang
KKP dalam siaran pers 4 September 2014 menyatakan setelah beberapa saat lamanya, nelayan sulit dalam mendapatkan pasokan BBM untuk operasional melaut, kini angin segar pun datang pada nelayan. Harapan nelayan untuk kembali mendapatkan pasokan solar bersubdisi menemukan titik terang.

Pasalnya, kata dia, tak kurang dari sebulan lamanya, KKP yang tengah memperjuangkan nasib nelayan agar mendapatkan jatah solar bersubsidi, berhasil meyakinkan para pemangku kepentingan terkait agar segera membuka kembali kran pembatasan penyaluran BBM bersubsidi bagi nelayan.

"Hasilnya, alokasi pasokan BBM bersubsidi bagi nelayan di tahun 2014 sebesar 1.800.000 kiloliter (KL). Kesepakatan ini, sebagai bentuk sinergi KKP dengan Kementerian ESDM, Kementerian Dalam Negeri, BPH Migas dan Pertamina," kata Menteri Kelautan dan Perikanan Sharif C Sutardjo.

Sebagai informasi, dari hasil koordinasi KKP bersama pemangku kepentingan terkait telah dihasilkan lima kesepakatan penting dalam normalisasi pasokan BBM bersubsidi bagi nelayan.

Kelima kesepakatan tersebut yakni, sampai akhir tahun ini, alokasi BBM bersubsidi/JBT Jenis Minyak Solar untuk nelayan mencapai 702.540 KL. Adapun rincian saluran dari PT Pertamina sebesar 670.000 KL, PT AKR sebesar 31.379 KL dan PT SPN sebesar 1.160 KL.

Kedua, untuk pengaturan dalam pendistribusian minyak solar bersubsidi akan dilakukan oleh pihak KKP bersama Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dan PT Pertamina.

Selain itu, untuk menjamin ketersediaan dan kelancaran pendistribusian Jenis Bahan Bakar Tertentu (JBT) bersubsidi, KKP akan menyampaikan pembagian alokasi per wilayah Kabupaten/Kota yang memiliki SPDN/SPBN/SPBB per dua bulan dilengkapi dengan rencana volume pendistribusian BBM bersubsidi di masing-masing wilayah tersebut.

"Dalam pembagian alokasi BBM bersubsidi per wilayah, KKP masih menunggu rincian kuota/alokasi dan rencana volume pendistribusian BBM bersubsidi/JBT dari masing-masing Daerah," jelas Sharif.

Lalu kesepakatan keempat, yakni pendistribusian JBT kepada nelayan di suatu wilayah harus melalui penyalur SPDN/SPBN/SPBB yang ada di wilayah tersebut dan bila tidak terdapat penyalur tersebut maka dapat diambil di SPBU/APMS yang ditunjuk oleh Bupati/Walikota dan/atau Terminal BBM PT Pertamina.

Terakhir, KKP bersama-sama Kementerian ESDM, Kementerian Dalam Negeri, BPH Migas dan Pertamina akan menyiapkan rencana kebutuhan BBM bersubsidi/JBT khusus untuk nelayan Tahun 2015 per Kabupaten/Kota dengan nomenklatur khusus BBM bersubsidi untuk nelayan.

Sejalan dengan itu, untuk tahun 2014, KKP telah mengusulkan kuota BBM bersubsidi untuk sektor kelautan dan perikanan sebesar 2.795.147 KL. Adapun rinciannya yakni alokasi BBM untuk perikanan tangkap sebesar 1.195.147 KL dan perikanan budidaya sebesar 600.000 KL.

Sementara jika berkaca pada data tahun 2013, penyerapan BBM di tingkat nelayan hanya mencapai 1.698.424 juta KL.  
Untuk itu, KKP meminta PT Pertamina selaku penyalur BBM bersubsidi agar menyampaikan data tentang penyerapan BBM para nelayan pada setiap titik distribusi BBM.

Berdasarkan data KKP, jumlah nelayan di Indonesia saat ini adalah sekitar 2,7 juta jiwa. Dari angka tersebut sebanyak 95,6 persennya merupakan nelayan tradisional yang beroperasi di sekitar pesisir pantai.

Tentu saja para nelayan tradisional di berbagai daerah kini benar-benar berharap setelah titik terang tersebut, pasokan solar kembali lancar dan kesejahteraan mereka juga dapat meningkat.

Pewarta: Oleh Muhammad Razi Rahman

Editor : Aprionis


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2014