Kupang (Antara Babel) -  Akademisi Universitas Katolik Widaya Mandira Kupang, Nusa Tenggara Timur, Thomas Ola Langoday mengatakan Pilkada langsung yang digelar dalam 10 tahun terakhir terbukti boros atau tidak hemat secara ekonomis.

"Memang harus jujur diakui bahwa fakta menunjukkan dalam 10 tahun terakhir Pilkada dilaksanakan secara langsung lebih besar anggaran yang dikeluarkan hingga triliunan rupiah, ketimbang Pilkada oleh DPRD seperti sebelumnya," katanya.

Menurut dia, Pilkada langsung menghabiskan uang negara sekitar Rp57 triliun. Belum lagi beban sosial seperti konflik sosial, menurunnya moral karena praktik jual beli suara, serta beban kampanye besar sehingga membuat kepala daerah terpilih rawan korupsi.

Oleh karena itu, bila saat ini ada rancangan undang-undang Pilkada yang di antaranya ada pasal yang mengatur Pilkada dilakukan kembali oleh DPRD mungkin baik untuk dipertimbangkan untuk diterima secara rasional dan politis.

Hal senada disampaikan Juru bicara Komisi Pemilihan Umum Kota Kupang Lodowyk Frederik yang mengakui bahwa pelaksanaan pemilu kepala daerah langsung, membutuhkan biaya yang sangat besar, ketimbang melalui sistem perwakilan.

"Namun, demi kepentingan perkembangan dan pertumbuhan demokrasi rakyat, pilkada langsung harus tetap dilaksanakan," katanya.

Ia mengatakan ketika pelaksanaan pemilu Wali Kota dan Wakil Wali Kota Kupang pada 2012, menghabiskan biaya sekitar Rp16 miliar untuk membiayai sejumlah bentuk kegiatan dan pembiayaan lainnya, demi kelancaran pelaksanaan pesta demokrasi lima tahunan tersebut.

Aspek pembiyaan pemilu di daerah, antara lain, untuk kepentingan logistik pilkada, honor penyelenggara hingga ke tempat pemungutan suara (TPS), biaya verifikasi pasangan calon, sosialisasi serta untuk menghadapi kemungkinan perselisihan di Mahkamah Konstitusi (MK).

Semua kegiatan itu, memang membutuhkan biaya yang tidak sedikit jumlahnya, jika menginginkan pelaksanaan pemilu di daerah berlangsung lancar. Namun demikian, besaran biaya tersebut lebih terlihat dalam pelaksanaannya di lapangan dibanding biaya yang harus dikeluarkan oleh seorang calon kepala daerah jika mau terpilih oleh anggota DPRD. "Jumlah uang yang dikeluarkan pasti jauh lebih besar, namun tidak terbaca jumlahnya karena dilakukan melalui sistem bawa tangan dengan pola beli putus," ujarnya.

Pembangunan demokrasi membutuhkan biaya besar, sehingga tidak bisa dijadikan alasan untuk mengalihkan sistem pemilu langsung oleh rakyat kepada DPRD sebagai represtasi dari rakyat untuk memilih seorang kepala daerah.

Sistem pilkada melalui perwakilan rakyat, juga demokratis, namun harapan rakyat untuk menikmati hidup yang lebih baik akan sulit tercapai, karena kepala daerah hanya bertanggung jawab kepada DPRD selaku perwakilan rakyat.

Transaksi politik yang bukan tidak mungkin dilakukan pada pemilihan oleh wakil rakyat di parlamen, telah membayar lunas komitmen kepala daerah, untuk memperjuangkan harapan masyarakat menuju sejahtera. "Karena itu, saya kira pemilihan kepala daerah langsung jauh lebih mengedepankan aspek perjuangan rakyat, dibanding melalui perwakilan," katanya.

    
                                                                         'Pengebirian' Demokrasi
Bupati Sabu Raijua, Marthen Luther Dira Tome mengatakan pemilihan kepala daerah melalui DPRD, merupakan penerapan praktik "pengebirian" demokrasi yang selama ini berada di tangan rakyat. Karena sesuai dengan semangat reformasi, kedaulatan rakyat dikembalikan ke tangan rakyat, dengan penerapan sistem demokrasi langsung bukan perwakilan.

"Jadi saya kira upaya mengubah pilkada oleh DPRD adalah sebuah langkah mundur dan harus ditolak," kata Marthen.

Kader Partai Golkar Nusa Tenggara Timur ini mengaku, menolak secara tegas upaya pengembalian hak demokrasi rakyat kepada perwakilannya di parlamen, dalam konteks pemilihan kepala daerah. Rakyat katanya, memiliki hak untuk menentukan pilihan pemimpin di daerahnya, yang dinilai bisa membawa seluruh harapan akan perubahan dan kesejahteraan masyarakatnya.

Sejumlah kekurangan yang terjadi serta sejumlah dampak ikutan pelaksaan pemilu kepala daerah langsung, harus secara bersama diperbaiki sistemnya. Tidak lalu, membatalkan pelaksanaan secara keseluruhan dan kembali kepada demokrasi perwakilan.

"Kalau sistem pemilihan langsung masih belum sempurna, mari kita perbaiki secara bersama agar menuju ke arah sempurna. Bukan malah kita ubah ke sistem perwakilan," katanya.

Wali Kota Kupang Jonas Salean, juga mengatakan penolakannya terhadap upaya pemilihan kepala daerah melalui parlamen, karena telah memangkas hak demokrasi rakyat dan merupakan kemunduran berdemokrasi di negara ini.

Pemilihan oleh DPRD merupakan bagian dari praktik "elitisasi" suara rakyat, yang memiliki kewenangan dalam perjalanan pembangunan demokrasi bangsa dan daerah. Rakyat, harus diberikan kewenangan di tangannya sendiri, untuk memilih pemimpinnya, menyampaikan sejumlah harapan melalui kebijakan pembangunan daerah.

"Karena itulah, tidak elok jika pemilihan kepala daerah dilakukan oleh perwakilan di parlemen," kata Wali Kota Kupang dari jalur independen itu.

Pemilihan kepala daerah oleh DPRD akan memakan biaya yang lebih besar, ketimbang pemilihan oleh rakyat. Dia mencontohkan dirinya yang mencalonkan diri sebagai wali kota hanya menghabiskan dana sebesar Rp600 juta. Anggaran itu, akan jauh lebih besar, jika pemilihan itu dilakukan oleh DPRD, karena bukan tidak mungkin, akan terjadi negosiasi dengan setiap wakil rakyat, oleh calon kepala daerah.

Selain itu, dengan mekanisme pemilihan kepala daerah yang dilakukan oleh DPRD, maka akan menutup kemungkinan bagi calon kepala daerah untuk mencalonkan diri sebagai calon independen dukungan rakyat. "Ini sangat menutup ruang demokrasi bagi rakyat untuk mengusung paket calon pemimpinnya," kata Jonas.

Dengan pemilihan oleh DPRD, maka akan membangun citra ketatanegaraan di mana kepala daerah hanya bertanggung jawab kepada parlemen, bukan kepada masyarakat secara langsung.

    
                                                     Butuh Parpol Kredibel
Pengamat politik Universitas Katolik Widya Mandira Kupang Frans Bapa Tokan MA mengatakan penerapan demokrasi tidak langsung dalam bentuk pemilihan kepala daerah melalui DPRD, membutuhkan partai politik yang kredibel dan dipercaya rakyat.

"Hal itu agar pemberian hak demokrasi rakyat ke tangan perwakilannya di parlamen, benar-benar akan dilaksanakan secara bertanggung jawab, seturut kehendak rakyat, dengan mengabaikan kepentingan partai," katanya.

Pola demokrasi seperti ini masih sangat sulit dicapai karena wajah partai politik Indonesia saat ini masih sangat "muram" dan belum menjadi wadah pendidikan demokrasi yang sebenarnya.

Rekrutmen dan kaderisasi di tataran partai, baik tingkat pusat maupun daerah, masih jauh dari langkah legal demokratis sebagaimana yang diharapkan karena sifatnya masih dadakan.

Pendidikan kader, masih jauh dari sebuah keharusan yang baku, sehingga kader karbitan memenuhi seluruh lintasan dan titik kuasa jejaring politik saat ini.

Rekrutmen kader, hanya terjadi pada saat tertentu, seperti saat pemenuhan personel pada daftar calon legislatif di setiap pelaksanaan pemilihan legislatif yang dilakukan secara periodik lima tahunan. Hal ini, katanya, menggambarkan, proses rekrutmen kader hanya terjadi selama lima tahun sekali, tanpa terjadwal baik di internal partai untuk kepentingan pendidikan politik kader.

Dalam kondisi itu, maka bukan tidak mungkin akan lahir sejumlah kader partai instan, yang kesulitan melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai perwakilan konstituennya, serta masyarakat pada umumnya, terkait sejumlah perjuangan kebijakan di tataran kelembagaan. "Nah kalau begini, bagaiaman masyarakat bisa memberikan hak demokrasinya untuk diwakili kader yang belum tentu kualitas perjuangan kerakyatannya," katanya.

Pengalihan penerapan demokrasi menjadi tidak langsung boleh dilakukan sepanjang partai politik sebagai wadah penjaring, pendidik dan penghasil kader membenahi diri dalam semua aspeknya, termasuk terkait rekrutmen, kaderisasi dan pendidikan politik, agar muncul kader mumpuni yang berjuang untuk kepentingan masyarakat.

Dalam konteks pembenahan, partai politik harus bisa mengubah dan memperbaiki hubungan antarlembaga dan masyarakat, baik di tingkat pusat maupun daerah. Dewan Pimpinan Pusat, diharap bisa melakukan pembenahan hubungan antarlembaga di pusat (legisltaif, eksekutif dan yudikatif), dan selanjutnya di tingkat daerah, pembenahan hubungan partai dengan masyarakat akar rumput. "Selama ini kan hubungan masyarakat dengan partai politik hanya sekali dalam lima tahun. Ini riskan dan sangat menunjukkan eksistensi partai politik sombong, padahal rakyatlah yang berdaulat atas negeri dan perjalanan demokrasi bangsa ini," katanya.

Karena itu, pengalihan sistem demokrasi rakyat menjadi demokrasi tidak langsung harus dipersiapkan secara baik sebelumnya karena hal tersebut potensial membunuh demokrasi itu sendiri.

Setidaknya harapan itulah yang bisa menjadi alas makna, sebuah sumbangsi pikiran cerdas, bagi wakil rakyat di DPR RI untuk menakar demokrasi langsung dan perwakilan melalui penetapan nasib demokrasi Indonesia, dengan pemilu kepala daerah langsung atau tidak langsung, di Kamis (25/9) mendatang.

Pewarta: Oleh Yohanes Adrianus

Editor : Aprionis


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2014