Surabaya (Antara Babel) - Pemilu Kepala Daerah (Pilkada), yaitu Pemilihan Gubernur maupun Bupati dan Wali Kota "sementara" ini dikembalikan ke wakil rakyat, DPRD, tidak dipilih langsung oleh rakyat.

Pasalnya, rapat paripurna DPR RI akhirnya menyetujui RUU Pilkada dengan opsi pilkada dikembalikan pada DPRD, setelah diputuskan melalui voting di Gedung MPR/DPR/DPD RI, Jakarta, Jumat dini hari.

Hasil voting tersebut dimenangkan oleh fraksi-fraksi dalam koalisi merah putih dengan jumlah suara sebanyak 226, sedangkan fraksi-fraksi dalam koalisi hebat dengan tambahan 17 suara dari fraksi Partai Golkar dan Fraksi Demokrat akhirnya hanya memperoleh 135 suara.

Namun, hasil ini belum final. Penentuan pengesahan Rancangan Undang-Undang Pilkada masih ada di pihak Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY), sehingga dia masih berkesempatan mempertimbangkan untuk menyetujui atau menolak.

Seperti dikemukakan oleh pakar hukum tata negara Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Sri Hastuti Puspitasari masih ada satu lagi tahapan, setelah DPR mengesahkan RUU Pilkada yakni persetujuan dari presiden sebagai kepala negara terkait RUU tersebut, sebelum akhirnya final disahkan sebagai UU.

Tahapan akhir tersebut akan memperlihatkan apakah presiden masih mempertimbangkan reaksi sosial masyarakat sebelum menyetujui RUU tersebut, atau mengikuti begitu saja apa yang telah disahkan DPR.

"Tahapan itu memang menjadi situasi dilematis bagi Presiden SBY," ucap dia.

Namun demikian, ia mengaku pesimistis presiden akan mengambil kebijakan yang berbeda dengan menolak atau tidak setuju dengan hasil akhir sidang paripurna DPR tentang RUU tersebut. Alasannya, menurut dia, selama ini presiden sama sekali belum pernah menolak RUU yang diajukan oleh DPR.

"Hampir semua RUU selama ini disetujuai presiden. Tapi kita lihat saja apakah di masa akhir jabatannya, akan berani mengambil kebijakan yang berbeda atau tidak," ujar Direktur Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) UII itu.

Selain itu, sebagaimana diatur Pasal 20 ayat 5 UUD 1945, apabila dalam waktu 30 hari presiden menunda mengesahkan RUU tersebut, maka secara otomatis sah menjadi UU.

Saat rapat paripurna DPR RI untuk memutuskan hanya dua opsi dan ditentukan melalui voting, pilkada melalui DPRD atau langsung oleh rakyat ini diwarnai dengan berbagai peristiwa.

Seperti, sebanyak 11 anggota Fraksi Partai Golkar yang umumnya politisi senior, menentukan pilhannya berbeda dengan kebijakan partainya, yaitu memilih pilkada langsung.

Begitu juga dengan Demokrat, di mana fraksinya memili "walk out/WO", ada enam anggotanya justru tetap berada di gedung dewan dan memilih pilkada langsung.

Fraksi Partai Demokrat yang akhirnya mengambil sikap politik WO atau meninggalkan ruang sidang rapat paripurna DPR-RI karena opsi pilkada langsung dengan 10 syarat akumulatif absolut tidak diakomodasi.

"Dengan tidak diakomodirnya opsi pilkada langsung dengan 10 syarat akumulatif absolut, maka Partai Demokrat menyatakan posisi politiknya dalam opsi netral. Karena itu mohon berkenan PD ambil sikap keluar 'walk out'," kata juru bicara F-PD Benny K Harman.

Sementara enam anggota PD yang memilih "beda" dengan fraksinya, menurut Gede Pasek Suardika, alasannya RUU ini usulan pemerintah di mana merupakan pemerintahan Partai Demokrat. Karenanya mempunyai kewajiban mengawalnya.

    
                              Sikap PD
Pilihan pilkada tidak langsung melalui voting ini, akibat sikap dari Partai Demokrat yang memilih WO --walau ada enam anggotanya yang berbeda--, sehingga memberi jalan pendukung pemilihan melalui DPRD memenangkan voting.

Padahal, awalnya Demokrat mendukung pemilihan langsung dengan memberikan 10 catatan (syarat). Namun, akibat syarat ini tidak diakomodasi, jadinya memilih untuk tidak memilih dengan meninggalkan ruang sidang.

Menurut Presidium Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Prof Nanat Fatah Natsir, WO hak politik Partai Demokrat. Sikap Fraksi Partai Demokrat yang kemudian mengusulkan pemilihan langsung dengan 10 syarat itu dalam rangka melakukan politik keseimbangan.

"Namun, setelah membaca peta kekuatan di saat-saat akhir, Demokrat kemudian memberi jalan bagi kemenangan opsi pilkada melalui DPRD," kata mantan Rektor UIN Bandung itu.

Sementara itu, akademisi dari Universitas Muhammadiyah Kupang Dr Ahmad Atang berpendapat, apapun sikap politk Partai Demokrat dalam paripurna RUU Pilkada, tetap memberikan konsekuensi politis di mata publik bahwa Demokrat sedang memainkan politik "dramaturgi" atau sekadar menunjukan sikap politik yang elegan.

"Partai Demokrat sedang melakukan politik 'dramaturgi', dan sejak awal saya sudah ingatkan bahwa sikap Partai Demokrat mendukung pilkada langsung hanya taktik untuk menarik simpati publik. Tidak sungguh-sungguh," tukas Ahmad Atang.

Menurut dia, Partai Demokrat sejak awal sedang memainkan posisi tengah untuk mendikte dua kelompok yang pro dan kontra dalam agenda pembahasan RUU Pilkada.

Jika pada akhirnya harus voting di paripurna, maka partai Demokrat tetap menjadi penting dalam konstalasi politik di Senayan.

Dengan posisi yang demikian, maka dua kelompok akan merespon dengan melakukan lobi politik yang intens untuk menarik gerbong Demokrat sebagai bagian dari kelompok kepentingan politik ke depan.

"Kita juga tahu bahwa sikap Demokrat dalam mendukung pilkada langsung juga bukan cek kosong, tetapi ada 10 agenda usulan sebagai bagian dari sikap politik partai Demokrat untuk menerima atau menolak UU Pilkada. Agenda ini sudah pasti di tolak dan kelompok yang berkepentingan tentu akan melakukan lobi, tentu dengan agenda-agenda tertentu," tuturnya.

Dinamika dan eskalasi di parlemen merupakan lanjutan dari afiliasi politik pilpres, sehingga tergambar polarisasi parpol pendukung dan kontra merupakan rivalitas.

"Jadi agenda kepentingan UU Pilkada lebih mengedepankan eksistensi rivalitas politik Pilpres 9 Juli 2014. Bukan murni untuk memperbaiki kepentingan demokrasi bangsa ini," ucapnya.

Dalam konteks ini maka masuknya Demokrat di antara salah satu dari dua kelompok akan memperkuat polorisasi di parlemen.

Sungguhpun begitu kata dia, tapi secara prinsipil politis Demokrat harus menentukan pilihan, tanpa harus abstain. Ini sebetulnya posisi riskan dan dilematis yang sedang dihadapi oleh Partai Demokrat, sehingga walaupun sebagai penentu justru sekaligus dukungannya memperkuat kristalisasi polarisasi politik yang ada ke depan.

Tapi, ini belum berakhir, selain menunggu pengesahannya dari sikap SBY, berbagai kalangan juga jauh hari sudah mempermasalahkan RUU Pilkada, baik itu para kepala daerah yang dipilih langsung oleh rakyat yang tergabung dalam Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) dan Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi), maupun elemen masyarakat lainnya "mengancam" akan mengajukan "judicial review" ke Makamah Konstitusi (MK).

Jika SBY menarik RUU itu, maka tidak perlu lagi berlanjut ke MK.

Pewarta: Oleh Chandra HN

Editor : Aprionis


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2014