Jakarta (Antara Babel) - Kecewa adalah rasa yang nyata bagi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat mengetahui bahwa UU No 23 tahun 2014 tentang Pemilihan Kepala Daerah disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat pada 25 September 2014.

"Saya kecewa dengan hasil proses politik yang ada di DPR RI, meskipun saya menghormati proses itu sebagai seorang demokrat, tapi sekali lagi saya kecewa dengan proses dan hasil yang ada," kata Yudhoyono saat di Washington DC, Amerika Serikat.

Keputusan itu diambil setelah Koalisi Merah Putih (KMP) yang pro terhadap pemilihan kepala daerah oleh DPRD memenangkan voting dalam sidang paripurna.

Perbandingannya adalah dengan jumlah suara 226 pendukung (73 orang dari Golkar, 55 orang dari Partai Keadilan Sejahtera, 44 orang dari Partai Amanat Nasional, 32 orang dari Partai Persatuan Pembangunan dan 22 orang dari Gerindra). Berselisih 91 suara dengan Koalisi Indonesia Hebat yang meraup 135 suara (88 orang dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, 20 orang dari Partai Kebangkitan Bangsa, 10 orang dari Hanura, 11 orang dari Golkar dan 6 orang dari Demokrat).

Sedangkan 142 orang anggota fraksi Partai Demokrat melakukan "walk-out" karena usulan 10 syarat untuk opsi pemilihan langsung mentah.

Masyarakat yang kecewa terhadap pengesahan UU tersebut karena merasa kehilangan hak untuk memilih langsung kepala daerahnya pun mengekspresikannya melalui media sosial Twitter dengan langsung ditujukan ke akun pribadi Presiden SBY.

Presiden SBY pun bertekad untuk menegakkan demokrasi dengan mengajukan peraturan pengganti perundang-undangan (perppu).  
   
"(Namun), izinkan saya berikhtiar untuk tegaknya demokrasi dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat," kata Yudhoyono.

Hasilnya adalah penerbitan dua perppu terkait pemilihan kepala daerah yaitu Perppu No 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota sekaligus mencabut UU No 22/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota yang mengatur bahwa kepala daerah dipilih oleh DPRD.

Perppu kedua adalah Perppu No 2 tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang menghapus tugas dan kewenangan DPRD untuk memilih kepala daerah.

Selain Presiden SBY, pihak-pihak yang merasa kecewa terhadap UU Pilkada juga mengajukan "judicial review" ke Mahkamah Konstitusi. Tidak kurang ada 10 pemohon yang mengajukan uji materi.

Mereka adalah Supriyadi Widodo Eddyono, Wiladi Budiharga, Indriaswati D Saptaningrum, Ullin Ni'am Yusron, Anton Aliabbas, Antarini Pratiwi, International NGO Forum on Indonesian Development (INFID), Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH Pers), dan Perkumpulan Inisiatif Masyarakat Partisipatif untuk Transisi Berkeadilan (Imparsial). Semuanya berharap agar rakyat kembali menggenggam hak memilih pemimpin daerahnya.

Tapi sesungguhnya, apa alasan mendasar mengapa rakyat yang harus tetap memilih pemimpinnya? Salah satu jawabannya adalah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang tidak transparan bila diberi hak memilih pemimpin daerah maka berpotensi untuk memunculkan pemimpin daerah yang juga korup.

    
DPRD Rawan
   
Hasil penelitian Kemitraan dalam Indonesia Govarnance Index (IGI) 2014, menunjukkan kinerja DPRD masih buruk dalam fungsinya sebagai pembuat kerangka kebijakan dan pengawasan.

Dari empat aktor daerah yang diteliti yaitu pejabat publik, orang yang dipilih oleh publik seperti anggota DPRD dan (tadinya) pemimpin daerah, birokrasi, masyarakat sipil dan masyarakat ekonomi (asosiasi-asosiasi pengusaha di daerah) maka kinerja pejabat publik menduduki peringkat terendah.

Pejabat publik yaitu DPRD yang mempunyai fungsi membuat kebijakan, penganggaran, pengawasan dan kepemimpinan hanya mendapat skor 3,7; sedangkan kinerja birokrasi mendapat peringkat tertinggi yaitu 6,38 (fungsi pelayanan publik, pengumpul pendapatan daerah, pengaturan ekonomi dan penegakkan peraturan daerah); selanjutnya kinerja masyarakat sipil dalam bidang pemberdaan masyarakat dan monitoring/advokasi mencapai skor 5,17 dan masyarakat ekonomi di bidang perilindungan bisnis dan pemberdayaan enkonomi nilai kinerjanya 4,23.

Dalam skala 0-10, angka kecil menunjukkan kinerja buruk dan angka besar memperlihatkan kinerja yang baik.

"DPRD nilainya selalu paling buruk, padahal fungsinya sangat penting. Perannya menyediakan frame regulasi. Eksekutif bisa berjalan baik kalau ada frame regulasi yang disediakan," kata Senior Advicer Kemitraan, Abdul Malik Gismar pada Selasa (14/10).

Berdasarkan IGI 2014, Kemitraan merekomendasikan agar kinerja DPRD lebih diawasi.

Malik mengatakan, DPR dan DPRD mempunyai peranan yang sangat besar dalam menentukan perubahan di daerah karena desentralisasi politik telah memberikan kewenangan bagi masyarakat di daerah untuk menentukan pemimpinnya sendiri. Sayangnya hal itu dilemahkan dengan adanya UU Pilkada kewenangan itu ditarik.

"Dipilih atau tidak dipilih oleh DPRD, sebenarnya bukan masalah prinsipil. Namun kenapa pemilihan langsung melalui DPRD menjadi pilihan yang buruk saat ini karena kinerja DPRD yang buruk," katanya.

Terdapat lima DPRD dengan skor terburuk yaitu DPRD Kabupaten Seluma dengan penilaian poin 2,10; kemudian DPRD Kabupaten Sampang dengan poin 2,33; disusul DPRD Kota Jayapura dengan poin 2,44; Kabupaten Lombok Utara dengan poin 2,55 serta DPRD Kota Pontianak dengan poin 2,70.

DPRD dinilai memiliki peranan yang sangat besar dalam menentukan perubahan di daerah karena pencalonan anggota DPRD tidak memiliki batas maksimal, padahal kepala daerah hanya bisa dipilih maksimal 2 periode atau 10 tahun. Selama dicalonkan oleh partai politik dan dipilih rakyat, maka selama itu pula akan menjadi anggota DPRD.

"Secara statistik membuktikan UU Pilkada dipegang DPRD itu bukan opsi, karena dari seluruh kinerja justru DPRD menarik turun dan institusi paling tertutup dan yang ditakutkan bukan sekedar melebar tapi dikebiri karena tidak ada fungsi 'check and balance' antara kepala daerah dan DPRD," kata peneliti utama Kemitraan Lenny Hidayat.

Ia menilai bahwa pola pikir mengenai pilkada langsung boros dan tidak menjawab kebutuhan masyarakat tidak ada apa-apanya dibanding dengan data bahwa DPRD adalah institusi paling tertutup.

"Kekhawatiran pilkada langsung adalah boros dan tidak menjawab kebutuhan masyarakat, tapi lebih parah sikap DPRD yang tertutup dan bila UU Pilkada jadi terlaksana mendapat tugas lebih yaitu memilih kepala daerah," ungkap Lenny.

Bahkan Lenny berpendapat bahwa DPRD adalah rantai pemerintahan terlemah.

"DPRD is 'the weakest chain', padahal dengan pilkada langsung muncul pemimpin-pemimpin daerah yang baik. Otonomi daerah melahirkan pemimpin daerah yang tidak cuma membantu daerah misalnya di kota atau kabupaten sendiri tapi juga ke tingkat provinsi dan bahkan nasional," tambah Lenny.

    
Dinasti Politik
Dinasti politik nyata hadir di beberapa daerah misalnya di kabupaten Indramayu di Jawa Barat yang dikuasai oleh keluarga mantan bupati dua periode 2000-2010 yaitu Irianto MS Syafiuddin atau lebih dikenal dengan nama Yance.

Saat ini, bupati menjabat adalah Anna Sophanah yang merupakan istri Yance. Anna Sophanah menjabat sebagai bupati periode 2010-2015. Anak laki-laki Yance bernama Daniel Muttaqien Syafiuddin merupakan anggota DPRD provinsi Jawa Barat, Ketua Dewan Pimpinan Daerah Golkar Indramayu, aktif di Gapensi dan ketua Ormas Pemuda Pancasila Indramayu. Selain keluarga inti, terdapat juga Suhaeli yang merupakan adik misan Irianto MS Syafiuddin. Suhaeli merupakan mantan Kepala Dinas Pendidikan Indramayu.

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Indramayu masuk dalam 5 APBD terbesar di Indonesia yaitu Rp2,01 triliun namun sayangnya hanya sebesar 12 persen yaitu Rp240 miliar untuk anggaran kesehatan atau Rp9.381 per kapita per bulan dan Rp923 miliar untuk anggaran pendidikan atau Rp72.275 per murid per bulan.

Jumlah itu jauh lebih rendah dibanding dengan gaji 50 orang anggota DPRD yang mendapat Rp580 juta per tahun atau bisa dikatakan biaya 1 orang anggota DPRD dapat membantu 116 orang miskin di Indramayu.

Begitu juga yang terjadi di kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat. Bupatinya adalah Suhardi Duka yang merupakan ketua Partai Demokrat Sulbar sedangkan saudara-saudaranya yaitu Jalaluddin Duka menjadi Kepala Dinas Pertambangan Mamuju dan kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Mamju yaitu Saleha Duka, sedangkan anak Suhadi yaitu Suraidah Suhardi menjadi ketua DPRD kabupaten Mamuju periode 2014-2019.

Dilihat dari postur anggaran, APBD Mamuju mencapai Rp735 miliar namun hanya 8 persen yaitu Rp59 miliar ditujukan untuk kesehatan dan 27 persen yaitu Rp198 miliar untuk biaya pendidikan. Sehingga pemerintah hanya menyediakan Rp79.708 per murid per bulan untuk biaya pendidikan dan Rp7.024 per kapita untuk biaya kesehatan.

Jumlah tersebut hanya setengah dari belanja pegawai yang mencapai Rp382 miliar.

Bahkan gaji anggota DPRD Mamuju mencapai Rp592,18 juta orang per tahun untuk 34 orang anggota DPRD.

"Ada pembiaran kesenjangan di sini, bahkan masyarakat sipil pun minim pengawasan karena organisasi masyarakat sipil di daerah hanya di bidang religi, budaya dan pemberdayaan saja," tambah Lenny.

Pada akhirnya masyarakat masih menunggu apakah 555 anggota DPR yang dipilih rakyat berpihak pada rakyat agar tetap bisa memilih pemimpin daerahnya atau tangan hakim konstitusi yang menentukan siapa yang berhak memilih pemimpin daerah.

Pewarta: Oleh Desca Lidya Natalia

Editor : Aprionis


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2014