Indonesia Corruption Watch (ICW) mengkritik pelimpahan kasus operasi tangkap tangan (OTT) di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ke Kepolisian.
Peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam siaran persnya yang diterima di Jakarta, Jumat mengatakan setidaknya ada dua dugaan tindak pidana korupsi yang dapat digunakan oleh KPK.
Pertama, dugaan tindak pidana korupsi berupa pemerasan atau pungutan liar yang dilakukan oleh Rektor Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Komarudin.
"Pasal 2 angka 7 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 menjelaskan bahwa Pimpinan Perguruan Tinggi Negeri dikategorikan sebagai penyelenggara negara. Tentu dikaitkan dengan Pasal 11 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 maka KPK berwenang untuk menangani perkara korupsi yang melibatkan penyelenggara negara," ujar Kurnia.
Terlebih lagi, kata dia, Pasal 12 huruf e Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 secara tegas mengatakan bahwa penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan orang lain secara melawan hukum dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu atau membayar dapat dijerat dengan maksimal hukuman 20 tahun penjara dan denda sebesar Rp1 miliar.
"Kasus dengan model pemerasan seperti ini bukan kali pertama ditangani oleh KPK. Pada 2013 yang lalu, lembaga antirasuah ini pun pernah menjerat Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kantor Wilayah Dirjen Pajak Pargono Riyadi. Saat itu ia diduga melakukan pemerasan terhadap wajib pajak, Asep Hendro, sebesar Rp125 juta," tuturnya.
Kedua, lanjut dia, dugaan tindak pidana suap yang dilakukan oleh Rektor UNJ.
"Tentu dugaan ini akan semakin terang benderang ketika KPK dapat membongkar latar belakang pemberian uang kepada pegawai Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Apakah hanya sekadar pemberian THR atau lebih dari itu?," ungkap Kurnia.
Hal itu diatur dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 yang berbunyi setiap orang yang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri dengan maksud supaya pegawai negeri tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya dapat dihukum maksimal 5 tahun penjara.
"Untuk itu, karena dalam hal ini pemberi suap diduga adalah rektor yang notabene menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 merupakan penyelenggara negara maka sudah barang tentu KPK dapat mengusut lebih lanjut perkara ini. Atas dasar argumentasi itu, lalu apa yang mendasari KPK memilih untuk tidak menangani perkara tersebut?" kata dia.
Menurut dia, penting untuk ditegaskan bahwa menilai sebuah perkara tidak cukup hanya dengan melihat jumlah uang sebagai barang bukti yang diamankan.
"Memang secara nilai jumlah itu tergolong kecil hanya sebesar Rp55 juta. Namun, pertanyaan lebih mendalamnya yang harus digali oleh penegak hukum adalah apakah pemberian ini merupakan kali pertama atau sebelumnya pernah juga dilakukan?" ujar Kurnia.
Ia pun menyatakan dalam siaran pers yang dibuat oleh Deputi Penindakan KPK Karyoto soal OTT di Kemendikbud itu dengan sangat mudah masyarakat dapat menemukan poin kejanggalannya.
"Misal, dalam siaran pers tersebut dikatakan bahwa belum ditemukan unsur pelaku yang berasal dari penyelenggara negara," ujar Kurnia.
Hal tersebut, kata dia, cukup mengundang tanda tanya bagi masyarakat karena sejak awal dalam siaran pers tersebut telah menyebutkan Rektor UNJ mempunyai inisiatif melalui Kabag Kepegawaian UNJ Dwi Achmad Noor untuk mengumpulkan uang THR kepada Dekan Fakultas dan lembaga di UNJ agar nantinya bisa diserahkan ke pegawai Kemendikbud.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2020
Peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam siaran persnya yang diterima di Jakarta, Jumat mengatakan setidaknya ada dua dugaan tindak pidana korupsi yang dapat digunakan oleh KPK.
Pertama, dugaan tindak pidana korupsi berupa pemerasan atau pungutan liar yang dilakukan oleh Rektor Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Komarudin.
"Pasal 2 angka 7 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 menjelaskan bahwa Pimpinan Perguruan Tinggi Negeri dikategorikan sebagai penyelenggara negara. Tentu dikaitkan dengan Pasal 11 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 maka KPK berwenang untuk menangani perkara korupsi yang melibatkan penyelenggara negara," ujar Kurnia.
Terlebih lagi, kata dia, Pasal 12 huruf e Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 secara tegas mengatakan bahwa penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan orang lain secara melawan hukum dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu atau membayar dapat dijerat dengan maksimal hukuman 20 tahun penjara dan denda sebesar Rp1 miliar.
"Kasus dengan model pemerasan seperti ini bukan kali pertama ditangani oleh KPK. Pada 2013 yang lalu, lembaga antirasuah ini pun pernah menjerat Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kantor Wilayah Dirjen Pajak Pargono Riyadi. Saat itu ia diduga melakukan pemerasan terhadap wajib pajak, Asep Hendro, sebesar Rp125 juta," tuturnya.
Kedua, lanjut dia, dugaan tindak pidana suap yang dilakukan oleh Rektor UNJ.
"Tentu dugaan ini akan semakin terang benderang ketika KPK dapat membongkar latar belakang pemberian uang kepada pegawai Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Apakah hanya sekadar pemberian THR atau lebih dari itu?," ungkap Kurnia.
Hal itu diatur dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 yang berbunyi setiap orang yang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri dengan maksud supaya pegawai negeri tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya dapat dihukum maksimal 5 tahun penjara.
"Untuk itu, karena dalam hal ini pemberi suap diduga adalah rektor yang notabene menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 merupakan penyelenggara negara maka sudah barang tentu KPK dapat mengusut lebih lanjut perkara ini. Atas dasar argumentasi itu, lalu apa yang mendasari KPK memilih untuk tidak menangani perkara tersebut?" kata dia.
Menurut dia, penting untuk ditegaskan bahwa menilai sebuah perkara tidak cukup hanya dengan melihat jumlah uang sebagai barang bukti yang diamankan.
"Memang secara nilai jumlah itu tergolong kecil hanya sebesar Rp55 juta. Namun, pertanyaan lebih mendalamnya yang harus digali oleh penegak hukum adalah apakah pemberian ini merupakan kali pertama atau sebelumnya pernah juga dilakukan?" ujar Kurnia.
Ia pun menyatakan dalam siaran pers yang dibuat oleh Deputi Penindakan KPK Karyoto soal OTT di Kemendikbud itu dengan sangat mudah masyarakat dapat menemukan poin kejanggalannya.
"Misal, dalam siaran pers tersebut dikatakan bahwa belum ditemukan unsur pelaku yang berasal dari penyelenggara negara," ujar Kurnia.
Hal tersebut, kata dia, cukup mengundang tanda tanya bagi masyarakat karena sejak awal dalam siaran pers tersebut telah menyebutkan Rektor UNJ mempunyai inisiatif melalui Kabag Kepegawaian UNJ Dwi Achmad Noor untuk mengumpulkan uang THR kepada Dekan Fakultas dan lembaga di UNJ agar nantinya bisa diserahkan ke pegawai Kemendikbud.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2020